Wayang Krucil Kiai Bonto, Budaya Falsafah Jawa di Tanah Blitar
- April 21, 2022
- 8:39 pm

Secara istilah, wayang krucil memiliki makna sebuah kesenian yang berasal dari bahan kulit dan berukuran cukup kecil. Mempunyai ukuran yang lebih kecil dibanding dengan wayang-wayang lain, merupakan asal usul penyebutan wayang krucil ini. Didalam perkembangannya, wayang ini menggunakan kayu berbentuk pipih atau dua dimensi.
Di daerah Jawa Tengah khususnya, wayang krucil ini sekilas memiliki bentuk yang tak jauh berbeda dengan wayang gedog. Termasuk dalam halnya benda yang melekat pada tokoh-tokohnya, seperti memakai dodot rapekan, membawa keris, serta menggunakan sebuah tutup kepala yang biasa disebut dengan tekes atau kipas.
Sementara di Jawa Timur, wayang krucil ini banyak menggunakan tokoh-tokoh yang kurang lebih menyerupai tokoh di pewayangan jenis wayang kulit purwa. Dimana, tokoh-tokoh yang digunakan nampak seperti raja-raja bermahkota yang tengah memakai praba. Praba sendiri merupakan sebuah baju atau aksesoris kerajaan.

Umumnya, cerita atau lakon pada wayang krucil ini lebih sering menceritakan tentang kisah di zaman Panji Kudalaleyan di tanah Padjajaran hingga zaman Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya. Namun, juga tidak menutup kemungkinan jika wayang krucil juga memakai cerita wayang purwa serta wayang menak, bahkan dari babad tanah Kawa sekalipun.
Selama pagelaran wayang krucil ini biasanya akan diiringi beberapa alat musik tradisional, dengan alunan nada yang cukup sederhana. Penggunaan gamelan saat pagelaran berlangsung akan melahirkan laras dengan slendro dengan irama playon bangomati atau juga biasa disebut srepegan. Tak hanya gamelan, wayang krucil ini kerapkali juga diiringi gendhing-gendhing berukuran besar.
Selain itu, banyak sumber sejarah yang menyebutkan bahwa tokoh yang biasanya dimainkan dalam pagelaran wayang krucil ini mempunyai banyak jenis. Diantaranya seperti damarwulan, menakjingga, layangseta, logender, ronggolawe, anjasmara, prabu brawijaya, panjiwulung serta klana candrageni.
Kesenian wayang krucil ini secara umum banyak tersebar dan berkembang di sepanjang daerah aliran sungai Brantas dan Bengawan Solo mulai dari Jawa Timur yang meliputi wilayah Malang, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk, Ngawi, Bojonegoro, serta Blora di Jawa Tengah. Sedangkan pola persebarannya, wayang krucil ini banyak tumbuh di lingkungan agraris.
Namun, para sejarahwan banyak menemui perbedaan pendapat tentang kemunculan wayang krucil ini. Beberapa ada yang mengaitkan bahwa keberadaan wayang krucil ini berhubungan dengan kedatangan Islam di Nusantara khususnya di pulau Jawa, yang tak lain sebagai hasil akulturasi antara wayang kulit purwa dengan kebudayaan Islam yang tengah berkembang kala itu.
Peradaban Wayang Krucil
Perjalanan wayang krucil dari masa ke masa memang tidak banyak mengalami perubahan. Di awal-awal Islam masuk ke tanah Jawa, Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga dipercaya sebagai sang inspirator sekaligus kreator yang telah melahirkan wayang krucil ini sebagai media dakwah menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa.
Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa kemunculan wayang krucil diciptakan saat masa pemerintahan Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit, dimana masa-masa itu adalah fase peralihan dari pengaruh keyakinan Hindu dan Budha ke fase-fase Islam. Dan saat itulah peran wayang krucil mulai terlihat.
Selain itu, ada yang beranggapan jika wayang krucil ini muncul saat masa pemerintahan Pangeran Pekik tahun 1700 di Surabaya. Pangeran Pekik sendiri merupakan seorang ahli ulama dan ahli fiqih yang tak lain merupakan adik ipar dari Sultan Mataram.
Kala itu, Pangeran Pekik mendapatkan sebuah mandat dari Sultan Agung Mataram Islam untuk melakukan perluasan wilayah kawasan Giri Kedaton pada tahun 1635 yang pada masa itu banyak masyarakatnya belum menganut keyakinan agama Islam. Saat itulah, Pangeran Pekik menggunakan media wayang krucil sebagai media dakwahnya.
Pada pagelaran wayang krucil yang dilaksanakan pun bukan tanpa makna dan nilai. Biasanya dalam pertunjukan, wayang ini selalu penuh sarat akan cerita sejarah, petuah, kisah perjalanan seorang tokoh hingga perjuangan-perjuangan tentang merebut atau mempertahankan kekuasaan khususnya di tanah Jawa.
Seperti halnya, wayang krucil yang cukup banyak mengambil kisah Panji sebagai tokoh utama yang secara umum menceritakan tentang perjalanan Raden Panji mencari Sekartaji hingga masa-masa berdirinya Kerajaan Kediri. Ada juga wayang krucil yang mengisahkan berdirinya Kerajaan Majapahit hingga berdirinya Kerajaan Demak.
Tak hanya itu, wayang krucil versi lain juga beberapa mengambil kisah dari sumber Serat Menak yang menceritakan tentang perjalanan Wong Agung Menak atau Nabi Ibrahim selama berdakwah menyebarkan ajaran Islam. Serta, versi wayang krucil yang mengambil cerita dari pengembangan tokoh atau lakon seperti Sawunggaling, Trunojoyo, dan Pangeran Diponegoro.
Pada zaman dulu, wayang krucil ini sering digelar pada waktu siang hari. Tentunya bukan tanpa alasan, bagi masyarakat Jawa sendiri pertunjukan yang digelar pada siang hari selalu identik dengan sebuah ritual, biasanya digelar sebelum waktu Ashar atau tenggelamnya waktu matahari.
Namun tak bisa dipungkiri, pementasan wayang krucil memang selalu identik dengan ritual-ritual dan bahkan membutuhkan syarat-syarat khusus. Hingga akhirnya, wayang ini mendapat pandangan negatif atau orang Jawa menyebutnya sebagai “malati”, bahkan dipercaya bisa menimbulkan keburukan bagi pemilik hajat apabila ada sesajen yang kurang lengkap.
Hal itu ditambah dengan lokasi pagelaran wayang krucil yang biasanya ditempatkan di punden desa. Seperti yang telah diketahui, bahwa punden desa identik dengan suasana mistis yang sangat kental karena merupakan area pemakaman para leluhur desa yang dianggap sakral atau keramat.
Penilaian masyarakat yang terlanjur memandang negatif, menjadikan wayang krucil ini jarang dipagelarkan. Bahkan, hingga kini wayang tersebut hanya dipentaskan di waktu-waktu tertentu seperti saat gebyak syawal, suroan, bersih desa, nadzar atau kaul serta permintaan hajat yang dianggap penting oleh si penanggap.
Kisah Wayang Krucil Kiai Bonto
Pada dasarnya, penyebutan lakon cerita serta perjalanan sejarah wayang krucil di setiap wilayah memiliki banyak perbedaan. Namun kurang lebih memiliki beberapa kesamaan tanpa merubah atau menghilangkan unsur nilai yang terkandung di wayangnya itu sendiri. Sebagian besar lakon wayang krucil juga banyak yang menceritakan tentan budaya dan perkembangan Islam di Jawa.
Begitu halnya dengan wayang krucil yang berkembang di Kabupaten Blitar, hingga tradisi wayang ini dibuatkan sebuah acara khusus untuk melakukan penghormatan kepada seseorang yang dianggap penting di daerah tersebut. Tentunya orang itu tak lepas dari peran wayang krucil.
Mungkin bagi warga Blitar, ritual jamasan Kiai Pradah sudah tidak asing lagi didengar. Namun, adakah yang menyadari bahwa ritual ini sebenarnya dibungkus dengan tradisi lain yakni tradisi siraman Kiai Bonto.
Kiai Bonto sendiri tak lain merupakan sebuah wayang krucil yang terbuat dari berkualitas tinggi. Jika dilihat sekilas, wayang ini mempunyai bentuk yang mirip dengan wayang Togog, salah satu jenis wayang diantara lima tokoh punakawan di dunia pewayangan.
Disebut sebagai tradisi satu paket dengan Kiai Pradah sebenarnya bukan tanpa alasan, pasalnya wayang krucil merupakan kedua benda yang diyakini merupakan peninggalan dari Kerajaan Mataram yakni Sunan Prabu Amangkurat III atau lebih dikenal dengan Raden Mas Sutikno.
Konon, sampainya dua benda tersebut di wilayah Blitar selatan bermula dari sang Prabu yang kala itu melarikan diri ke arah timur selatan Jawa. Dua benda itu di bawa Prabu disebabkan karena adanya perang saudara dengan saudaranya sendiri yakni Pangeran Puger.
Di awal-awal penemuannya, gong Kiai Pradah ini ditemukan di daerah Lodoyo yang kini menjadi Kecamatan Sutojayan. Lalu, Kiai Bonto ditemukan di aera yang bernama Dusun Pakel Desa Kebonsari Kecamatan Kademangan. Melihat dari jaraknya, sebenarnya tidak terlalu jauh, yakni hanya berjarak 25 Km ke arat barat Lodoyo.
Wayang yang konon berjumlah tiga buah saat ditemukan ini dijamasi setiap tanggal 12 Maulud atau bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tentunya digelar bersamaan dengan tradisi Kiai Pradah yang kemudian sebagai ritual Grebeg Maulud.
Biasanya malam sebelum jamasan Kiai Bonto, akan dilakukan prosesi ziarah di makam Raden Suwartiningsih sambil menggelar jidoran atau terbangan dengan melantunkan shalawat nabi dan yasinan. Barulah keesokan harinya, digelar prosesi yang diawali dari membawa kotak tempat menyimpan wayang krucil peninggalan Prabu Agung Sunan Probo dan Raden Ayu Mayangsari ke pesarean Raden Ayu Suwartiningih.
Selain itu, acara ritual ini juga dilengkapi dengan ritual nyekar lalu dilanjutkan dengan mengkirap wayang kayu Kiai Bonto menuju tempat siraman yang lokasinya tidak jauh dari pesarean. Ketiga wayang itupun segera dimandikan oleh juru kunci atau seseouh desa setempat, namun sebelumnya wayang-wayang ini ditaburi kembang setaman untuk disucikan.
Gunungan tumpeng yang telah disiapkan sebagai salah satu bagian dari acara langsung menjadi rebutan warga yang menonton. Tak hanya tumpeng, air bekas jamasan wayang krucil pun tak lepas dari incaran warga. Mereka percaya, bahwa air jamasan ini bisa mendatangkan berkah dan keselamatan.
Tradisi yang kini diwarisi secara turun-temurun tersebut nyatanya menyimpan banyak kisah sejarah Kerajaan Mataram. Dimana, ritual yang berjalan dari tutur sekian ratus tahun ini merupakan kisah dari Sunan Prabu yang kala itu meninggalkan sekotak wayang krucil di suatu tempat, yang kini tempat tersebut bernama Dusun Pakel.
Tepat di lokasi itulah, sang Sunan Prabu dan istrinya yakni Raden Ayu Mayangsari kehilangan putri mereka yang bernama Raden Ayu Suwartiningsih. Naasnya, sang putri meninggal sesaat tak lama setelah dilahirkan. Itulah mengapa, ziarah makam Raden Ayu Suwartiningsih menjadi salah satu bagian dari ritual siraman ini.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan