Warna-warni Ekspresi Mardusari, Pesinden Agung Mangkunegaran
- Januari 8, 2023
- 11:45 am

SANTRI KERTONYONO – Namanya Mardusari. Di lingkungan Mangkunegaran, perempuan bersuara merdu itu dikenal sebagai tokoh kesenian. Sebagai seniwati karawitan Jawa gagrak Surakarta, Mardusari adalah seorang empu. Sebuah kedudukan yang begitu menjulang.
Pada masa Pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), Mardusari memiliki nama yang moncer. Namanya membumbung tinggi seiring kejayaan Mangkunegaran. Yakni masa di mana beragam kesenian berkembang pesat di masyarakat. Mulai seni sastra, vocal, tari, hingga pedalangan.
Mardusari memang tidak sendiri. Terdapat juga sejumlah seniman ternama lain. Harjosasmoyo, Mangun Diryo, Mintolaras (Yati), Kunto Laras (Sriyati), Tambang Laras (Sri Tini), Wasito Laras (Sepan), dan Samsikin.
Namun yang paling populer tetap Jaekem, yakni nama kecil Mardusari. Mardusari tak hanya dikenal sebagai seorang pengerawit sekaligus penari yang handal. Ia juga kesohor sebagai pelantun tembang Jawa (pesinden) yang apik. Termasuk terampil dalam seni batik.
“Keahlian Nyi Tumenggung Mardusari bahkan tak hanya diakui oleh lembaga pemerintahan dan masyarakat umum tetapi juga dari para praktisi seni hingga keluarga istana,” kata Darmasti dalam jurnal Kidung Kandhasanyata Sebagai Ekspresi Estetik Pesinden Wanita Mardusari.
Mardusari memiliki bakat seni sejak lahir. Berkembangnya bakat menari dan menyinden itu mendapat pengaruh kuat dari lingkungan keluarga yang memang berlatar sebagai pegiat seni. Tradisi keluarga seniman itu turut membentuk kepribadian Mardusari.
“Mardusari selalu aktif dalam pertunjukan langendriyan dan gemar mengikuti klenengan yang diselenggarakan oleh Istana Mangkunegaran,” ungkap Darmasti dalam jurnal Nyi Bei Mardusari dalam Langendriyan Mangkunegaran: Sebuah Tinjauan Mengenai Kualitas Kepenarian Silang Karakter.
“Saat mementaskan langendriyan, ia berperan sebagai Dayun, Ratu Kencanasari, dan Menak Jingga,” tambahnya.
Mardusari ternyata bukan hanya seorang penari. Kemampuannya pada kesusasteraan Jawa juga dahsyat. Cakepan wangsalan dan purwakanthi bentuk rujak-rujakan merupakan sebagian dari karyanya
Kidung Kandhasanyata Sebagai Refleksi Diri
Kidung Kandhasanyata adalah sastra kidung hasil refleksi atas semua peristiwa yang terjadi. Nilai yang terkandung berasal dari perjalanan hidup sang seniman. Kendati demikian ada bagian naskah yang menyajikan cakepan hasil karya sastra seniman lain.
Kidung Kandhasanyata memuat karya Mardusari yang berwujud cakepan. Kemampuan seni yang sudah ia geluti sejak tahun 1925. Diantaranya seperti Pupuh Asmarandana yang terdiri dari 24 pada, dengan urutan 8 pupuh lain.
Hasil karya sastra sang maestro Mardusari pada tahun 1950-an berjumlah 8 (delapan) Pupuh. Sedangkan Wangsalan sindhenan dan rujak-rujakan Mardusari yang termuat pada 22 Oktober 1988 terdiri dari 3 (tiga) Cakepan Kinanthi dan 1 (satu) Cakepan Megatruh.
Sementara karya sastra lain yang merupakan hasil penyempurnaan, juga dimasukkan ke dalam Kidung Kandhasanyata. Karya tersebut merupakan teks gerongan karya Mangkunegara IV.
Total keseluruhan dari gerongan ini berjumlah 8 (delapan) teks. Di antaranya gerongan Ketawang Langengita Slendro Sanga (7 pada), gerongan Ketawang Walagita Pelog Nem (8 pada), dan gerongan Ketawang Rajaswala Slendro Sanga (4 pada).
Wangsalan sindhenan yang terkandung dalam Kidung Kandhasanyata karya Mardusari kaya akan nilai pendidikan karakter. Jika ditelisik lebih dalam akan ditemukan lebih banyak nilai keimanan, kesabaran dalam menghadapi cobaan, menghindari iri hati, serta menjaga tali persaudaraan.
”Peran pendidikan melalui pemahaman karya sastra Kidung Kandhasanyata inilah menjadi sangat penting dalam hal kaitannya dengan karakter bangsa,” ujar Mambaul Khasanah, Suyanto, dan Sudiyanto dalam jurnal Nilai Pendidikan Karakter pada Wangsalan Sindhenan Karya Nyi Bei Mardusari.
Berbagai buah pikiran Mardusari yang tertuang dalam Kidung Kandhasanyata alhasil mampu menjadi jembatan awal untuk memahami persoalan-persoalan yang termaktub dalam karawitan Jawa.
Selain itu juga merupakan tanggapan kritis kaum perempuan melalui karya sastra. Penciptaan tembang dipengaruhi faktor eksternal di mana dipandang sebagai pernyataan kritis atas nama emansipasi dan kesetaraan.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden