Warisan Adiluhung Masyarakat Jawa Melalui Ngelmu Rasa
- Oktober 25, 2022
- 7:57 pm

SANTRI KERTONYONO – Bagi masyarakat Jawa yang sangat menghormati warisan budaya dari leluhur, tentu cukup mudah memaknai berbagai hal dengan petuah-petuah serta kebiasaan yang telah mandarah daging dan di wariskan secara turun-temurun, terlebih warisan ilmu rasa, hati, dan mengolah perasaan manusia.
Sebuah rasa banyak diartikan sebagai bagian penting dan terdalam di tubuh manusia yang selalu menunjukkan kebenaran. Rasa yang dimaksud tak hanya terbatas pada rasa-rasa yang menunjukkan kebahagiaan, termasuk juga rasa sakit, atau lebih luas lagi dalam rasa yang bisa merasai hidup (urip).
Jika ditelisik lebih dalam, masyarakat Jawa akan lebih sering menyebut makna tau arti dengan kalimat suroso atau suraos yang merupakankrama-inggil dari kata rasa. Namun, pada beberapa manuskrip kesusastraan seperti serat atau suluk, tak jarang istilah surasa berkembang dalam istilah lain sepertiwirasa, wiraos, dan sawirasa.
Istilah-istilah itu bisa ditemui pada Kitab Bonang yang menyebut istilah wirasa-ning usul suluk. Istilah lain juga bisa ditemukan di beberapa serat, seperti salah satunya pada isilah di Serat Cebolek yang menggunakan kata rasa-ning kawi.

Hal itulah yang akhirnya membuat konsep olah rasa, rasa-pangrasa, rumangsa dan ilmu rasa menjadi sebuah kosakata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa. Konsep ini seakan ingin menarik jiwa manusia untuk kembali menggorek rasa dan sejati dalam tubuh itu sendiri.
Menurut Irfan Afifi dalam bukunya “Saya, Jawa, dan Islam” (2019), kebenaran-kebenaran lainnya dalam mengolah rasa juga meliputi kebenaran dalam beragama, yang sebenarnya selalu memiliki makna “pemahaman akan sebuah kebenaran” agama tertentu.
Sang empu ilmu dinilai tidak mau atau bahkan belum siap menerima sebuah perbedaan dari sudut pandang kebenaran uang mental di diri orang lain, atau biasa disebut masih terbelenggu dengan jaring egotisme diri kramadangsa.
Itu berarti masuk dalam kondisi “durung Jawa” atau “ora dunung”, yang bermakna belum mengerti atau belum dewasa dalam menyikapi suatu hal. Karena umumnya, konsep kebenaran di dalam tradisi Jawa sedikit banyak selalu berkaitan dengan bangun moralitas atau etikanya secara utuh.
Kebenaran atau pencapaian pengetahuan selalu mempersyaratkan kedewasaan dan kematangan karakter di dalamnya. Warisan leluhur berupa sebuah idiom “ngelmu iki kelakone kanthi laku” sebenarnya mempunyai makna pencapaian pengetahuan (ngelmu) yang merupakan oleh diri atau laku yang dimiliki oleh seseorang saat akan menuju kematangan secara material ataupun kedewasaan.
Sebagian bait-bait dalam Wedhatama seakan juga mengingatkan bahwa semua ilmu memang harus dimula dari olah diir yang dilakukan secara sungguh-sungguh (laku, lekase lawan kas), seperti halnya tekad keras untuk mengukuhkan diri (tegese kas nyantosani) untuk terus mengolah budi (setya budya) dalam melawan nafsu.
Ngelmu dan Olah Diri
Ilmu (ngelmu) memang seharusnya selalu berbanding lurus dengan laku olah diri yang tak pernah Lelah belajar dalam menuju kedewasaan, kematangan, serta keluhuran kemanusiaannya. Pada puncaknya nanti, proses itu akan berujung pada kematangan rohaninya.
Sementara dalam menangkap “kenyataan yang terkesan berjenjang naik, kata “rasa” sering diartikan sebagai inti, yang juga sepadan dengan kata “galih” yang sama-sama memiliki makna inti atau hati. Alhasil, kata “rasa” ini menjadi wujud kemanusiaan dalam menangkap dan memberikan “rasa” kebenaran dalam hidup.
Atau dalam istilah lain, selama proses menangkap lukita-nya alam, yakni sebuah susunan huruf yang membentuk suatu kesatuan ayat melalui rasa. Sebuah Sasmita dan pasemon inilah yang merupakan pertanda samar agung dari Sang “Kebenaran Hidup”. Rasa iku rasul, wiijile rasa-ning urip.
Tak mengherankan apabila dalam sebuah percakapan yang ingin menimbang-nimbang pendapat atau masalah tertentu, orang akan diminta dengan perkataan “manga dipun penggalih” (galih) atau ‘mangga dipun raosaken piyambak” (rasa), yang berarti “silahkan dipertimbangkan (dengan rasa)”.
Di dalam menjalani kehidupan, sangatlah tidak mungkin seseorang itu bisa sepenuhnya mengandalkan akal. Tidak untuk merendahkan, namun setiap olah diri selalu memiliki porsi atau isti’dad -nya masing-masing. Begitu pula dalam menilai kehidupan, kita diharuskan menerika secara utuh bagian dari diri semata-mata untuk menyelaraskan “gerak rasa”-Nya.
Lelakon dalam hidup dianggap sedang berjalan menuju sesuatu dalam sebuah gerak teleologis berarah, sangkan paraning dumadi. Lelaku atau perjalanan hidup sebenarnya tidaklah berjalan diluar, melainkan perjalanan yang menuju ke dalam.
Sebuah perjalanan untuk mengolah bagian dalam dari diri manusia agar mempunyai wujud yang semakin berkualitas (maujud) untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Wujud. Sebuah “perjalanan” yang kurang lebih dapat mengolah empat bagian penting dalam diri.
Yang pertama yakni berfungsi untuk mengendalikan keinginan (karsa) egotis yang berpotensi merusak diri, menajamkan pikiran (cipta) dengan cara menepis jebakan pamrih yang ada di dalam diri, menjernihkan hati dari kealpaan akan tujuan hidup atau jiwa.
Dengan begitu, poin keempat ini adalah tentang “rasa” (rasa) terdalam, yang sedikit demi sedikit bisa menjadi cermin untuk melihat kebenaran “alam” atau “jagat” atau bahkan fitrah hidup itu sendiri.
Sedangkan, rasa terdalam yang sering dipahami sebagai sebuah “misteri” mempunyai istilah “rahsa” atau “rahasia” diri. Oleh karena itu, kata “rahsa” disini mempunyai makna yang sepadan dengan arti “sirr” dalam Bahasa suluk tasawuf yang sering di alih-lafalkan menjadi kata “rasa”.
Dari keterangan tersebut, sekaligus menjelaskan bahwa pada proses awal Islamisasi di pulau Jawa khususnya, penggunaan kata “dzauq” yang lebih sering di artikan sebagai wujud rasa sebagai komponen diri yang bertugas untuk menyerap kebenaran belum terlalu familiar. Penggunaan kata “sirr” dianggap lebih masuk akal.
”Rasa” dalam Sastra Jawa
Jika di telisik lebih dalam, terdapat sebuah paragraf di Primbon Attasadur Adam Makna (2009), khususnya saat menerangkan “wirayat jati” ihwal bab “gegelaran kahananing pengeran” atau keberadaan Tuhan, akan nampak sebuah kalimat yang bahkan di atributkan sebagai hadis qudsi Nabi.
“Al insanu sirri, wa ana sirruhu”, menariknya primbon tersebut menerjemahkan bait-bait hadis itu dengan arti “Sejatine menungsa iku rahsa-ningsung, lan ingsung (Allah) iku rahsa-ning menungsa.” Yang berarti “Manusia itu rahasia-Ku (Allah), dan Aku itu rahasianya manusia.”
Di dalam perkataan nabi tersemat kata “sirr” yang merupakan bahas Arab dengan memiliki makna harfiah sebagai “rahasia”, namun diterjemahkan di primbon dengan menggunakan makna “rasa” atau “rahsa”.
Bait-bait kutipan itu juga bisa ditemukan di Serat Wirid , karya besar dari sosok Ranggawarsita. Terutama pada bagian yang menjelaskan tentang ihwal “gelaran kahananing Dat”, persis literal seperti pada terjemahan perkataan Kanjeng Nabi sebelumnya.
Namun, dalam Serat Tuhfah (basaning tuhfah) yang tak lain merupakan manuskrip berbahasa Jawa sama seperti yang ditemukan oleh A. H. Jhons, di bagian pupuh kedua bait ke Sembilan ditemukan afirmasi ihwal permainan kata “rahsa” dan “rasa” yang saling ditukar. “Manungsa rahsa-ningwang, pani(ng)sun rasa-ne iku”.
Tak mengherankan apabila masyarakat Jawa begitu sering mendengar istilah “Jawa iku panggone rasa”, yang bermakna kebudayaan Jawa selalu meletakkan kata “rasa” pada tempat yang cukup tinggi. Sama halnya dengan adigium “Jawa itu nggone semu”, pada kebudayaan ini juga dianggap sebagai tempatnya hal yang samar dan tersembunyi.
Oleh sebab itu, konsep yang menjelaskan tentang “olah rasa”, “rasa-pangrasa”, “rumangsa” atau “ilmu rasa” menjadi sebuah kosakata yang sangat familiar. Sekaligus menjadi pengingat akan “jati diri” yakni Ketika laku olah diri mengenali “ra(h)sa” terdalamnya merupakan pertaruhan yang berujung pada pertemuan jati diri.
Urip mung saderma nglakoni, butuh kesabaran untuk bisa melatih “kepekaan rasa” atas lapisan samar dari hidup. Mengindahkan diri yakni akhlak utama / budhi luhung, kebenaran hidup dan misteri-misterinya, kesamaran dan keghaiban perlahan akan tersingkap.
Meminjam istilah dalam Wedhatama, “wis bisa nuksmeng pasang semu, pasemoning hebing kang Maha Suci”, atau telah berhasil menunggalkan pertanda samara tau pasemon dalam diri maupun pada semesta, sebuah pasemon agung keghaiban Yang Maha Suci.
Baca juga
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang