Umat dan Bangsa, Titik Temu Gus Miek-Gus Dur
- Januari 19, 2022
- 6:11 pm

KH Hamim Tohari Djazuli atau Gus Miek dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan dua tokoh pembaharu dalam kehidupan keberislaman di Tanah Air. Meski cakupan wilayah perjuangan berbeda, namun pergulatan antara keduanya pada era delapan puluhan seakan menegaskan adanya titik temu dalam pemikiran.
Pandangan dan sikap Gus Miek dalam keislaman lebih bersifat pribadi sesuai dengan cakupan wilayah perjuangannya yang menekankan pada aspek keumatan. Baik itu pribadi sendiri, pribadi dengan orang di sekelilingnya, masyarakat, maupun lembaga pemerintahan.
Seseorang dituntut untuk meletakkan prinsip mawas diri sendiri, mawas diri orang lain, dan mawas diri dalam kemasyarakatan. Dari sini, kemudian timbul sikap untuk selalu mengoreksi diri tanpa pernah mengoreksi orang lain, yang dimanifestasikan dengan menumbuhkan sikap kemesraan dan penghormatan pada wilayah peribadatan masing-masing.
Dalam buku Leadership Secret of Gus Dur – Gus Miek (2010), karya M.N. Ibad disebutkan bahwa nilai utama yang diajarkan Gus Miek dalam mawas diri dan orang lain adalah jangan pernah menjustifikasi orang lain sebagai yang salah, lemah dan ahli neraka. Dan jangan menjustifikasi diri sebagai yang benar dan ahli surga.

Sebab masing-masing orang memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki orang lain, yang bisa jadi jauh lebih hebat potensinya bila mendapat kesempatan. Maka, siapa pun orangnya, apa pun profesinya, bagaimana pun kelakuannya, meskipun ia seorang bromocorah dan pelaku kemaksiatan sekalipun, pasti memiliki potensi kebaikan, potensi perjuangan, dan potensi jadi ahli surga.
Di sinilah pentingnya membina hubungan yang erat dan penuh kemesraan sehingga bisa bersama-sama menuju kebaikan dengan caranya masing-masing. Dengan demikian, diharapkan yang muncul kemudian adalah kesadaran dan kebersamaan untuk bersama-sama menuju kebaikan.
Sementara itu, pandangan keislaman dan sikap Gus Dur, seperti dijelaskan dalam buku tersebut, mencakup wilayah pribadi masyarakat, kelompok agama, etnis atau suku bangsa, kelompok politik, kelompok tatanan pemerintahan, kehidupan berkebangsaan, dan lain-lain.
Keislaman Gus Dur lebih menekankan sikap rahmatan lil’alamin, yakni membawa kebaikan dan kedamaian kepada orang lain, masyarakat lain, kelompok agama lain, suku lain, berbagai tatanan keilmuan dan profesi lain, serta bangsa lain.
Dari penekanan ini, kemudian muncul sikap kasih sayang (rahmat) dan mengesampingkan sinisme yang disebabkan oleh “merasa yang paling benar”, “merasa kuat”, dan lain sebagainya. Sikap kasih sayang ini adalah garis pembatas agar kita tidak melakukan sesuatu yang membuat sakit hati suatu suku, agama, atau kelompok, serta mengekang keinginan untuk menguasai atau menindas.
Dari penekanan prinsip rahmatan lil’alamin ini, keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahapan keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardhi (wakil Tuhan di bumi). Ketika semua sudah mampu memiliki prinsip kasih sayang (rahmat) kepada semuanya, barulah ia siap menjadi khalifah pada dimensinya masing-masing.
Sebagai khalifah (kepanjangan tangan Tuhan), ia harus bisa memanifestasikan semua sifat-sifat Tuhan (Asmaul Husna) dalam semua tindakan di muka bumi ini. Tindakan itu baik dalam tataran kehidupan manusia secara pribadi, lingkungan, kehidupan keluarga, masyarakat, suku, agama, maupun negara dan bangsa. Dengan prinsip rahmah dan khalifah ini, setiap tindakan apa pun akan selalu diwarnai kasih sayang dan tujuan kebaikan.
Bila pandangan Gus Miek dan Gus Dur dipadukan, maka setiap pribadi akan memiliki sikap mawas diri tanpa pernah memiliki waktu untuk mengusik kekurangan orang lain. Dengan penuh kasih sayang, ia tidak akan melakukan sikap atau tindakan yang membuat orang lain sakit hati (seperti menghujat dan menindas pelaku maksiat, melainkan mendekatinya untuk menyadarkannya), sesuai dengan wilayahnya masing-masing, baik sebagai pribadi, keluarga, pemimpin masyarakat, pejabat pemerintah, maupun dalam pergaulan dunia.
Bila menghujat itu menyakitkan yang dihujat, maka hal itu tidak ia lakukan; bila manipulasi, baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah, itu menyakitkan masyarakat atau rakyat, maka hal itu tidak akan ia lakukan; bila korupsi itu menyakitkna rakyat, maka ia tidak melakukannya; bila tidak memiliki keahlian tertentu lalu berebut posisi dapat menyakiti orang yang memiliki keahlian itu, maka tidak dilakukan. Dan seterusnya. Sebab semua itu tidak mencerminkan kasih sayang (rahmatan lil’alamin).
Kemudian dengan prinsip sebagai khalifah fil ardhi, maka segala tindakan selalu akan dilandasi niatan tulus dan kasih sayang, didasari kedamaian dan demi kesejahteraan (rahmat), sebagaimana nilai-nilai Asmaul Husna dalam mencapai keharmonisan kehidupan di bumi ini. Selalu ada jalan untuk mencapai tujuan, demikian prinsip Gus Miek, dan semua bisa dikompromikan, demikian prinsip Gus Dur.
Sebagai khalifah, maka setiap pribadi harus bersikap terbuka pada semua kepentingan dan keberbedaan berbagai sendi kehidupan yang ada di muka bumi. Dengan keterbukaan untuk berdialog dengan semua sendi kehidupan tersebut diharapkan tercapai titik temu jalan kebersamaan untuk meningkatkannya menuju tingkatan ideal.
Salah satu tugas utama dari setiap orang yang berpegang pada prinsip khalifah ini adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).
Selanjutnya, bila perpaduan pandangan Gus Miek dan Gus Dur mampu dimanifestasikan oleh para generasi penerus bangsa terutama umat Islam, maka akan tercapai sebuah kehidupan yang dinamis, harmonis, dan bermartabat di negeri ini. Tidak akan lagi terdengar, misal, kerusuhan, kekerasan, penyerangan, hujat menghujat, orang mengeluh karena dirugikan, tidak dengar lagi hiruk pikuk keserakahan politik, kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Baca juga
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden