Tradisi Sekaten: Kemeriahan Orang Jawa Rayakan Maulid Nabi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Sekaten

-Grebeg Maulud atau Sekaten bermula dari gagasan Wali Songo dalam mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa pada abad 15 Masehi. Peringatan Sekaten kini menjadi tradisi bagi orang Jawa untuk merayakan hari kelahiran Rasulullah atau Maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah.

Antara Grebeg Maulud dan Sekaten punya makna berbeda namun bisa dikaitkan dalam bingkai tradisi dan keagamaan. Asal kata grebeg atau garebeg adalah gumrebeg yang berarti “riuh” atau “ramai”. Makna gumrebeg kemudian diperluas menjadi “perayaan” atau “keramaian”. Dengan demikian, arti grebeg atau garebeg berkaitan dengan keramaian yang diadakan untuk merayakan hari-hari besar.

Adapun makna Sekaten dapat ditinjau dari dua konteks. Dalam konteks tradisi atau kebudayaan, seperti yang diungkapkan Supanto melalui buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta (1991), asal istilah Sekaten adalah Sakati yang merupakan nama perangkat gamelan milik kraton.

Sedangkan dalam konteks keagamaan, tepatnya syiar Islam, dikutip dari buku Apa Istimewanya Yogya (2007) yang ditulis Jawahir Thontowi, Sekaten berasal dari istilah syahadatain dan terkait dengan proses Islamisasi yang dirintis Wali Songo di Jawa, bermula dari Kesultanan Demak pada abad ke-15 M.

Asal-Usul Sekaten Atau Grebeg Maulud di Jawa

Dinukil dari buku Nilai Budaya dan Filosofi Upacara Sekaten di Yogyakarta (2010), perayaan Sekaten merupakan upaya Wali Songo dalam menjalankan syiar Islam kepada masyarakat Jawa, bermula dari lingkungan wilayah Kesultanan Demak, dengan memanfaatkan tradisi yang sudah ada sebelumnya.

Awalnya, peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. dilakukan dengan mengadakan pengajian akbar di halaman depan Masjid Agung Demak dan dihadiri oleh para wali. Namun, tidak banyak masyarakat yang antusias untuk berpartisipasi mengikuti acara ini.

Salah satu anggota Wali Songo, Sunan Kalijaga, kemudian berpikir, mencari cara agar peringatan Maulid Nabi bisa menarik minat lebih banyak orang sekaligus sebagai ajang dakwah untuk semakin memasyarakatkan agama Islam di kalangan rakyat yang kala itu masih banyak memeluk ajaran leluhur.

Sunan Kalijaga kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur tradisi yang sudah sejak lama dikenal oleh orang Jawa dalam peringatan Maulid Nabi. Maka, tulis Achmad Chodjim dalam buku bertajuk Sunan Kalijaga (2013), dilakukan terobosan untuk memeriahkan acara Maulid Nabi, misalnya dengan menampilkan seni budaya Jawa seperti gamelan dan tari-tarian.

Pada hari peringatan Maulid Nabi, ditabuh gamelan agar warga yang tinggal di sekitar masjid tertarik. Halaman depan masjid juga dipercantik dengan berbagai hiasan yang menarik. Strategi ini membuahkan hasil. Orang-orang yang mendengar bunyi tetabuhan pun berdatangan ke Masjid Agung Demak, tempat digelarnya acara Maulid Nabi.

Sebelum masuk ke kompleks masjid, ada tata cara khusus. Orang-orang melewati gapura dan dibimbing mengucapkan kalimat syahadat, lalu dituntun untuk bersuci. Masyarakat sekitar yang sudah amat tertarik dengan kemeriahan di depan masjid pun dengan suka rela melakukan rangkaian proses tersebut.

Setelah banyak orang yang hadir di halaman depan Masjid Demak, dikutip dari buku Mengungkap Perjalanan Sunan Kalijaga (2010) karya Jhony Hady Saputra, para wali bergantian naik podium. Para ulama awal perintis penyebaran Islam di Jawa itu menyampaikan ceramah dengan bahasa yang mudah dipahami. Hadirin pun dengan senang hati mendengarkan nasihat para wali tersebut.

Perkembangan Sekaten dalam Peringatan Maulid Nabi

Tradisi Sekaten untuk memperingati Maulid Nabi atau Grebeg Maulud yang bermula sejak era Wali Songo pada abad ke-15 Masehi di Kesultanan Demak terus dijalankan dari zaman ke zaman. Kerajaan-kerajaan turunan Demak atau Wangsa Mataram melanjutkan tradisi ini dengan segala bentuk perkembangannya.

Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar Kesultanan Mataram Islam, juga meneruskan tradisi Sekaten atau Grebeg Maulud. Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) mencatat, Sultan Agung mengundang rakyat Mataram berkumpul di alun-alun kraton untuk bersama-sama memeriahkan Maulid Nabi.

Setelah Kesultanan Mataram Islam runtuh pada 1755 hingga akhirnya memunculkan kerajaan-kerajaan turunannya yang berada di Surakarta dan Yogyakarta, tradisi Sekaten, termasuk untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad, terus dilestarikan bahkan hingga saat ini.

Banyak nilai spiritual dan kosmologi Jawa yang terkandung dalam perayaan Sekaten, juga Grebeg Maulud. Salah satu ciri khasnya adalah keberadaan Gunungan yang disusun dari berbagai macam hasil bumi dan nantinya diperebutkan beramai-ramai oleh masyarakat sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia yang telah diberikan.

Gunungan sudah hadir sejak zaman Kesultanan Mataram Islam dan menjadi ajang mediasi antara raja atau sultan sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama dengan rakyatnya. Mark R. Woodward dalam Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004), menyebutkan, sultan/raja diyakini mencapai kesatuan dengan Tuhan, juga dengan rakyat.

Dikutip dari catatan bertajuk “Upacara Tradisional Sekaten” yang ditulis oleh Ernawati Purwaningsih dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta, Gunungan menjadi acara puncak atau tahapan terakhir dalam upacara Grebeg Maulud di Kesultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.

Gunungan yang menjadi inti dari tradisi Sekaten atau Grebeg Mulud untuk memperingati Maulid Nabi melambangkan alam dan seisinya, kesuburan, kemakmuran, serta tentu saja kehidupan yang mencakup hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya atau umat dengan Tuhan pencipta alam semesta.[]

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI