Tradisi Majang Tarub, Kisah Ki Ageng Meramaikan Pernikahan Putranya
- Desember 14, 2022
- 6:33 pm

SANTRI KERTONYONO – Pernikahan bagi masyarakat Jawa adalah prosesi sakral nan agung. Keindahan di setiap acara pernikahan mengandung nilai adat yang kental akan filosofi tinggi. Dalam prosesi pernikahan juga tersimpan pesan untuk mempelai, yang itu menjadi bekal mengarungi bahtera rumah tangga.
Salah satu tradisi pernikahan masyarakat Jawa yang masih dipegang erat adalah pemasangan tarub atau majang tarub. Pemasangan tarub yang sarat makna ini bermula saat Islam masuk tanah Jawa. Hal itu terlihat jelas adanya pengaruh bahasa Arab yang dipakai.
Secara etimologis Arab terdapat kata Ta’aruf, yang jika diucapkan dengan dialek Jawa kental berubah menjadi Tarub. Tarub berarti kegiatan silaturahmi dalam rangka perjodohan. Jika terdapat kecocokan maka berlanjut pada jenjang pernikahan.
“Tarub juga bisa diartikan sebagai akronim dari bahasa Jawa yakni “ditata supaya murup” dengan arti ditata atau diatur agar bersinar,” tulis Endang Setyaningsih dalam jurnal “Tarub dan Perlengkapannya Sarat dengan Makna dan Filosofi (2015).
Di masa lalu, tarub dibuat oleh para tetangga atau sanak saudara. Sesuatu yang menyerupai bangunan dengan bambu wulung sebagai tiang dan anyaman daun kelapa hijau menjadi atapnya. Proses pembuatan dilakukan secara gotong royong.

Dalam perkembangannya, Tarub pernikahan mengalami perubahan. Agar tradisi Jawa tetap lestari, budaya memasang tarub atau majang tarub masih dipertahankan. Begitu juga dengan bahannya, tetap menggunakan anyaman daun kelapa atau bleketepe dengan tuwuhan pada bagian pintu masuk acara.
Secara umum Tarub terbuat dari daun kelapa berhias janur kuning. Sementara tuwuhan-nya meliputi beberapa hasil bumi seperti janur, dan pisang raja ayu atau madu sebanyak dua tandan sebagai filosofi dari kedua mempelai agar bisa mengarungi kehidupan rumah tangga dengan manis.
Tuwuhan lainnya juga meliputi sepasang tebu arjuna atau tebu wulung sekaligus daun, sepasang cengkir gading yang merupakan kepanjangan dari bahasa Jawa kencenge piker. Kemudian ditambah daun randu dan pari sewuli, godhong opo-opo, daun beringin, daun kluwih, daun alang-alang, serta daun kemuning.
Kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan
Tradisi Tarub konon berawal dari kisah pertemuan Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan, yakni salah satu dari tujuh bidadari yang turun ke bumi untuk mandi di Telaga Nirmala.
Joko Tarub yang tengah melamun di tepi telaga terkejut oleh bunyi gemuruh serta pancaran cahaya yang bersumber dari tujuh bidadari. Joko Tarub terpana. Ia lantas berinisiatif mencuri salah satu selendang sang bidadari. Harapannya pemilik selendang bisa menjadi pasangan hidupnya.
Joko Tarub menyembunyikan selendang di sebuah lumbung padi. Karena tak berselendang, Dewi Nawangwulan tak bisa kembali ke kayangan. Joko Tarub kemudian mempersuntingnya sebagai istri.
Di desa, kabar kecantikan Dewi Nawangwulan tersiar dengan cepat. Kecantikan di atas rata-rata itu menjadi buah bibir warga desa. Sementara sebagai orangtua dari Jaka Tarub, Ki Ageng ingin menggelar slametan untuk memeriahkan acara pernikahan anaknya.
Namun, ia sadar rumah yang ia tinggali hanyalah kediaman kecil yang tak mampu menampung banyak tamu. Ki Ageng lantas menambah atap rumahnya dengan anyaman daun kelapa dan janur kuning. Ia tak ingin tamunya kecewa.
Tarub yang dipasang dibuat atas gotong royong sanak saudara dan tetangga. Sejak itu istilah Tarub mulai dikenal. Dengan adanya Tarub seluruh tamu duduk nyaman meskipun berada di luar rumah.
Pada masa Kerajaan Islam di tanah Jawa, Tarub merupakan tradisi membuat bleketepe atau anyaman daun kelapa untuk dijadikan atap atau payon, yakni sebuah peneduh yang dipasang di halaman rumah.
Hal tersebut merupakan ajaran atau wewarah Ki Ageng Tarub, salah satu sosok leluhur raja-raja Mataram saat menggelar hajat pernikahan anaknya yakni Raden Bondan kejawen dengan Dewi Nawangasih.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan