Tiga Kitab Jawa Kuno dengan Ajaran Islam dan Ramalan Masa Depan
- Maret 8, 2022
- 11:55 pm

Kehebatan Jawa sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia tidak hanya terlihat pada peninggalan kebudayaan, budaya serta bahasanya. Lebih dari itu, kehebatan pulau Jawa di masa lalu sangat terlihat dari warisan keilmuannya berupa kitab-kitab yang telah menjadi karya sastra hebat saat ini.
Karya-karya tersebut bahkan mencakup banyak genre, diantaranya seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik atau babad, serta kitab-kitab keagamaan lainnya. Biasanya, karya-karya sastra tersebut diwariskan dalam bentuk manuskrip atau prasasti yang kini jumlahnya ada puluhan bahkan ratusan jumlahnya.
Dimana, kitab-kitab berbahasa Jawa kuno tersebut ditulis oleh para pujangga yang secara tidak langsung juga membuktikan betapa Jawa memiliki kekayaan intelektual dan literasi yang sangat menarik. Tentunya, hal itu merupakan bahan materi hangat bagi para peneiliti untuk mengorek lebih dalam warisan kekayaan sastra Jawa.
Peninggalan warisan berupa karya sastra merupakan suatu peradaban yang terbilang sangat besar. Hal itu dikarenakan adanya budaya baca dan tulis yang sangat penting, hingga sebuah karya sastra tak ubahnya harta benda yang layak untuk dijaga dan dilestarikan.

Tak mengherankan, apabila karya-karya tersebut hingga saat ini masih digunakan masyarakat sebagai pedoman dan pegangan hidup. Kitab yang diturunkan secara turun-temurun ini secara tersirat maupun tersurat mengandung pesan yang juga bersumber dari ajaran agama Islam. Tentu bisa dikatakan bahwa selama proses penyebaran Islam juga turut melibatkan karya-karya literasi dari para intelektual Jawa pada masa itu.
Namun, melihat kondisi saat ini yang terbilang karya sastra di Indonesia mengalami pasang surut. Bisa dibilang masih proses merangkak, tetapi terkadang juga berhenti mendadak karena berkurangnya minat baca tulis khususnya pada generasi muda. Padahal dengan membaca dan menulis, secara tidak langsung melindungi dan ikut melestarikan budaya baca di Indonesia.
Dari sekian banyaknya karya sastra Jawa kuno, tentunya ada beberapa karya sastra yang banyak diteliti karena mengangkat materi bahasan yang unik dan sangat edukatif. Selain, karya-karya yang menyuguhkan bahasan tentang ilmu kehidupan, tak jarang beberapa karya sastra Jawa kuno juga terdapat pesan agama yang tersirat.
Serat Centhini
Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga ini adalah salah satu karya sastra terbesar dalam Kesusastraan Jawa Baru. Dimana, didalam serat Centhini ini banyak berisikan segala macam ilmu pengetahuan bahkan kebudayaan Jawa. Serat Centhini ini disampaikan dalam bentuk sebuah tembang atau suluk.
Menurut juru tulis resmi dari Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII yakni R. M. A Sumahatmaka, serat Centhini digubah atas kehendak dan perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom putra dari Sunan Pakubuwana IV yang kala itu bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V di Surakarta.
Kala itu, Sangkala serat Centhini berbunyi tentang paksa suci sabda ji yang mempunyai arti tahun 1742 atau tahun 1814 Masehi. Merujuk pada tahun tersebut bisa dipastikan bawah serat Centhini berada dalam masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V.
Apabila dilihat dari catatan sejarah tentang naik tahtanya seorang raja, Pakubuwana IV mulai bertahta sekitar tahun 1741 pada penanggalan kalender Jawa. sedangkan Pakubuwana V diketahui mulai bertahta pada tahun 1748 pada penanggalan kalender Jawa.
Sementara, kitab Jatiswara yang bersangkala jati tunggal swara raja dengan menunjukkan 1711 tahun Jawa (Hal ini menandakan masih di zaman pemerintahan Sunan Pakubuwana III) merupakan kitab yang digunakan sebagai kitab sumber dari serat Centhini. Namun. Hingga saat ini belum diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara tersebut.
Sedangkan menurut Kamil Hamid Baidawi dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Jawa : Menelusuri Geneologi Islam di Jawa” (2020) menunjukkan bahwa serat Centhini ini ditulis pada kisaran abad ke-19 oleh tiga abdi Keraton Kasunanan Surakarta. Masing-masing yakni Kiai Yasadipura, Kiai Ranggasutrasno serta Raden Ngabehi Sastradipura.
Secara umum, serat Centhini tersebut banyak membicarakan tentang Syekh Amongraga sebagai salah satu keturunan dari Sunan Giri. Dimana, ia melarikan diri tak lama setelah Keraton Giri diserang oleh tentara Sultan Agung yang kala itu dibantu Pangeran Pekik dari Surakarta. Dalam pelariannya itu, Syekh Amongraga bersembunyi dari satu pesantren ke pesantren lain sambil mempelajari Islam.
Meskipun banyak mengutip tentang kitab-kitab yang menjadi kepustakaan agama Islam, tetapi serat Centhini juga memberikan cerminan tentang dunia batin masyarakat Jawa seperti ilmu kebatinan, benda-benda pusaka, seni karawitan, tari-tarian, horoskop, pertanian hingga cerita-cerita kuno yang pernah dikenal. Itulah mengapa, hingga saat ini serat Centhini menjadi sebagai salah satu serat yang paling banyak disebut dalam kitab-kitab klasik yang masih di pelajari di beberapa pondok pesantren.
Kitab Jangka Jayabaya
Kitab yang lebih dikenal dengan sebutan kitab ramalan Jayabaya ini tak lain merupakan salah satu waisan tradisi Jawa yang dipercaya ditulis oleh Jayabaya, seorang raja dari kerajaan Kediri. Raja Jayabaya memerintah pada kisaran tahun 1135 hingga 1157 Masehi. Dibawah pemerintahannya tersebut, kerajaan Kediri mengalami perkembangan yang sangat cepat dan pesat.
Ramalan ini sangat terkenal di masyarakat Jawa hingga dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga pada masa itu. Namun, beberapa peneliti masih berbeda pendapat mengenai siapa sebenarnya yang menulis kitab tersebut.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa kitab yang berisikan ramalan Prabu Jayabaya tersebut sebenarnya bukan murni ramalan dari beliau. Hal itu merujuk dari sumber ramalan yang berasal dari kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapen atau Sunan Giri ke-3 yang dikumpulan pada tahun Saka 1540 atau 1615 Masehi. Dimana, kitab itu memiliki selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton yang berisikan tentang sejarah Majapahit dan Singasari.
Beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa, kitab Jangka Jayabaya yang pertama dan dianggap sebagai kitab asli adalah buah karya dari Pangeran Wijil I dari Kadilangu yang dikarang pada tahun 1741 hingga 1743 Masehi. Pujangga yang masih keturunan Sunan Kalijaga ini juga menguasai wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, Demak.
Beberapa isi ramalan kitab Jayabaya yang terkenal diantaranya seperti “Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran (kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda)”, “Tanah Jawa kalungan wesi (pulau Jawa berkalung besi)”, “Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang (perahu berjalan di angkasa)”, “Pasar ilang kumandhang (pasar kehilangan suara)”, serta “Sekilan bumi dipajeki (sejengkal tanah dikenai pajak)”.
Karena kitab ini berisi ramalan Jayabaya tentang masa depan Nusantara, maka tak mengherankan apabila banyak masyarakat yang terus mengkaji kitab ini. Bahkan, beberapa ada yang percaya bahwa banyaknya bencana yang terjadi Indonesia sebenarnya sudah pernah diramalkan oleh Jayabaya beberapa abad yang lalu.
Serat Kalatidha
Raden Ngabehi Rangga Warsita adalah sosok pengarang karya sastra berbahasa Jawa yakni serat Kalatidha berupa tembang Macapat. Salah satu karya sastra yang sangat ternama ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Karena kepopulerannya, banyak masyarakat Jawa yang masih hafal paling tidak satu bait pada syair ini.
Diketahui, serat Kalatidha hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom dan kesuluruhan serat tersebut ditulis dengan menggunakan aksara Jawa atau yang lebih dikenal Hanacaraka gagrak Surakarta.
Serat Kalatidha sendiri terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing yakni bagian pertama adalah bait 1 sampai 6 yang berisikan tentang kondisi dan keadaan masa Rangga Warsita, bagian kedua adalah bait 7 yang menceritakan tentang sebuah ketekadan dan sebuah bahan intropeksi diri dan yang terakhir bagian ketiga yakni bait 8 sampai 12 yang berisi sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat.
Secara harfiah, Kalatidha berarti zaman gila atau zaman edan sama seperti apa yang ditulis oleh Rangga Warsita. Konon, serat Kalatidha merupakan syair yang ditulis oleh Rangga Warsita sesaat setelah pangkatnya tidak dinaikan seperti yang ia harapkan sebelumnya. Kala itu, Rangga Warsita mengganggap bahwa zaman dimana ia hidup merupakan zaman gila yang ditandai dengan banyaknya krisis yang terjadi.
Kala itu, Rangga Warsita tak lain merupakan seorang pujangga kerajaan di keraton Kasunanan Surakarta. Pasalnya, ia adalah pujangga panutup atau berarti sebagai pujangga terakhir. Dimana, setelah itu sudah tidak ada “pujangga kerajaan” lagi.
Dalam serat Kalitadha terdapat bait yang hingga kini sangat familiar di telinga masyarakat Jawa, tepatnya bait tersebut berada di bait ke-7 serat Kalitadha. Amanat syair itu bisa diringkas menjadi satu bait yang berbunyi :
“Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu édan nora tahan, yén tan milu anglakoni, boya kaduman mélik, kaliren wekasanipun, dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang éling lawan waspada. (Berada pada zaman gila, serba salah dalam bertindak. Ikut-ikutan gila tidak tahan, tetapi kalau tidak mengikuti arus, tidak kebagian, (lalu) jatuh miskin pada akhirnya. Tetapi Allah maha adil. Sebahagia-bahagianya orang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada)”.
Selain itu, serat Kalitadha dianggap tidak berbeda jauh degan kitab Jayabaya, yakni sama-sama berisikan beberapa ramalan tentang masa depan Nusantara. Selebihnya, serat Kalitadha ini berisi tentang nasihat-nasihat kebijaksanaan seperti halnya norma-norma kehidupan yang harus dipatuhi.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden