Tercatat Cagar Budaya, Begini Kisah Masjid Sewulan yang Berusia 282 Tahun
- April 8, 2022
- 9:57 am

Di suasana bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, banyak umat muslim yang berbondong-bondong mengerjakan hal baik dan amal ibadah demi mengharap ridho dan pahala dari Allah SWT. Mulai dari mengaji, bersedekah hingga semakin rajin membersihkan masjid karena akan sering digunakan untuk melaksanakan sholat tarawih.
Masjid yang pada hari-hari biasa hanya dikunjungi oleh beberapa orang, kini tiba-tiba menjadi ramai hiruk pikuk semua kalangan masyarakat. Tidak hanya digunakan sebagai tempat sholat, tetapi juga mengaji, belajar bahkan berkumpul sekedar untuk sahur atau berbuka puasa bersama jamaah masjid.
Berbicara perihal tempat ibadah umat muslim ini memang tidak singkat, ratusan bahkan ribuan masjid telah banyak berdiri di seluruh pelosok Indonesia. Mulai dari desa, kecamatan hingga kabupaten kota sudah tak terhitung lagi jumlah masjidnya. Banyaknya masjid yang berdiri menghasilkan suara adzan yang saling bersaut-sautan nan indahnya.

Masjid yang berdiri pun tidak asal dibangun, beberapa diantaranya memiliki kisah dan sejarah yang kental akan pelajaran hidup. Selain itu, ada masjid yang begitu mencolok gaya arsitektur bangunannya, bahan material yang digunakan, lokasi tempat masjid itu berdiri, serta menceritakan perjuangan seseorang selama mendirikan masjid tersebut.
Seperti salah satunya kisah sebuah masjid yang berdiri di Kabupaten Madiun Jawa Timur ini yang menarik apabila dikupas satu per satu cerita sejarahnya. Masjid itu bernama Masjid Sewulan yang tercatat sebagai cagar budaya sekaligus menjadi lokasi wisata religi bagi masyarakat sekitar bahkan pendatang dari luar kota.
Masjid kuno yang berlokasi di Desa Sewulan Kecamatan Dagangan Kabupaten Madiun ini memag tampak sederhana bila dibandingkan dengan masjid-masjid yang banyak berdiri sekarang ini. Arsitektur bangunan masjid ini nampak seperti rumah joglo, begitu kental dengan arsitektur Jawa layaknya masjid kuno yang berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Menurut beberapa informan, masjid ini tak pernah dirubah sedikitpun dalam segi arsitektur bangunannya. Semuanya masih asli dan sama seperti pertama kali masjid ini dibangun oleh Raden Mas Bagus Harun atau lebih dikenal dengan Kiai Ageng Basyariyah pada tahun 1740 Masehi atau 1160 Hijriah. Meskipun ada renovasi, tapi tak sampai mengubah bentuk asli masjid tersebut.
Saat memasuki kawasan masjid, pengunjung akan disuguhkan sebuah gapura pintu masuk juga pohon sawo yang usianya sudah cukup tua. Pada bagian depan masjid terdapat tiga buah kolam yang digunakan untuk bersuci, masing-masing dua kolam di sebelah kanan dan kiri yang digunakan untuk mandi serta satu kolam untuk berwudhu sekaligus menjadi pintu masuk masjid.
Bukan tanpa alasan, keberadaan ketiga kolam tersebut pun memiliki peran dan fungsinya masing-masing tentunya juga mengandung pesan moral dibaliknya. Terlebih kolam yang berada tepat di pintu masuk, pengunjung yang hendak masjid dianjurkan untuk mencuci kakinya terlebih dahulu sambil berdzikir. Selain itu, tiga kolam tersebut tak lain juga merupakan ciri masjid Sewulan.
Kembali ke seni arsitektur bangunannya, jika dilihat masjid ini memiliki atap berbentuk piramida yang berundak tiga. Lagi-lagi, undak tiga memiliki makna dalam islam yang berarti Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini ditopang oleh empat tiang penyangga yang secara tersirat merupakan kiasan dari level perjalanan spiritual dalam Islam yakni syariat, tarekat, hakekat dan makrifat.
Tanah Hadiah dari Keraton Kartasura
Sang pendiri masjid yakni Kiai Ageng Basyariyah ini adalah putra dari Dugel Kesambi atau Pangeran (Ki) Ageng Nolojoyo, seorang adipati Ponorogo pada akhir abad ke-17 Masehi yang kala itu berada di bawah naungan Kerajaan Mataram.

Meskipun diasuh di tengah-tengah keluarga berketurunan ningrat, Kiai Ageng tumbuh menjadi pemuda yang lebih banyak menghabiskan masa mudanya dengan menjadi santri dan menimba ilmu keagamaan kepada salah satu Kiai di Ponorogo.
Bahkan tidak hanya terbatas belajar mengenai ilmu syariat dan ilmu tauhid, Kiai Ageng muda juga memperdalam ilmunya dengan memperdalam ilmu tasawuf khususnya ajaran tarekat Naqsabandiyah, Syaththariyah dan Akmaliyah. Selama berguru, Kiai Ageng dikenal sebagai murid yang teladan, alim, cerdas dan tawadhu’.
Banyak masyarakat mengidentikkan masjid ini sebagai masjid yang tidak bisa dilepaskan dari simbol bulan suci Ramadhan. Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, masjid ini konon dibangun pada saat bulan puasa yang memiliki satu malam mulia yakni malam seribu bulan atau kini lebih dikenal dengan sebutan Lailatul Qadar.
Karena dibangun saat bulan suci, maka masjid ini diberi nama Sewulan yang terdiri dari kata “sewu” dengan makna seribu dan “wulan” yang bermakna bulan dalam penyebutan bahasa Jawa. masjid yang didirikan oleh Kiai Ageng Basyariyah ini tak lain merupakan keturunan ke -13 dari Prabu Brawijaya V.
Kala itu, Kiai Ageng diberi hadiah berupa sebidang tanah perdikan atau tanah bebas pajak oleh Paku Buwono II di Kartosuro dikarenakan berhasil merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak tentara Tionghoa. Tanah seluas 1.000 hektare ini akhirnya digunakan untuk mendirikan sebuah masjid.
Berdasarkan cerita rakyat yang beredar, dahulu pada masa pemerintahan Kasunanan Paku Buwono II di Kartasura terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang berdarah Tionghoa terhadap kekuasaan penjajah Belanda di bawah kepemimpinan Tai Wan Sui yang akhirnya memicu peperangan hebat, lalu pemberontakan itu dikenal dengan istilah pemberontakan Pacinan.
Ditengah suasana carut marut peperangan, Kasunanan Paku Buwono II langsung meminta pertolongan kepada Kiai Hasan Besari di Tegalsari. Namun begitu mengejutkannya ketika Kiai Hasan Besari malah mengirimkan seorang santrinya yakni Bagus Harun atau Kiai Ageng. Tak disangka, santri kesayangan Kiai Hasan ini akhirnya berhasil memenangkan pertempuran.
Karena kehebatannya itulah, Paku Buwono II berniat untuk mengangkat Kiai Ageng menjadi Adipati Banten, namun sayangnya tawaran Paku Buwono itu ditolak. Pasalnya, setelah pemberontakan Kiai Ageng ingin kembali dan mengabdi kepada gurunya yang berada di Ponorogo. Sebagai gantinya, akhirnya Paku Buwono II memberikan songsong (payung kerajaan) yang menjadi simbol tanah perdikan.
Sejak saat itulah, setelah mendapat hadiah tanah dan dibangun sebuah masjid, Desa Sewulan mendapatkan kemerdekaan penuh dan secara turun temurun dipimpin oleh sosok ulama keturunan Bagus Harun atau Kiai Ageng Basyariyah.
Konon, sosok ulama yang merupakan murid Kiai Ageng Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo ini membuang payungnya ke tanah untuk menentukan di titik mana ia harus mendirikan masjid sebelum pembangunan masjid dimulai. Akhirnya, salah satu kerangka dari payung tersebut ditemukan dan dimulailah pembangunan masjdi tepat dimana kerangka payung itu berada.
Tak terlepas dari peran seorang Kiai Ageng yang bertugas untuk menyebarkan agama Islam, masjid itu pun juga mempunyai fungsi sebagai sarana mengenalkan Islam kepada masyarakat Jawa khususnya masyarakat Madiun serta melakukan syiar islam agar masyarakat memahami pentingnya beribadah kepada Allah SWT.
Hingga akhir hayatnya, Kiai Ageng memutuskan untuk menetap dan bahkan juga membangun pesantren di Sewulan. Makam Kiai Ageng sendiri berada di kompleks makam Sewulan tepat di sebelah barat Masjid Agung Sewulan. Di area tersebut, makam Kiai Ageng diapit oleh putrinya yakni Nyai Muhammad Santri dan menantunya yang bernama Kiai Muhammad Santri.

Kenangan Masa Kecil Gus Dur
Sebelumnya tak banyak masyarakat yang tahu tentang silsilah keturunan Kiai Ageng, bagi mereka kompleks masjid dan makam yang berada di satu aera ini hanya terbatas wisata religi dan cagar budaya yang dirawat oleh pemerintah setempat. Tapi setelah kedatangan Presiden RI ke 4 Alm. KH. Abdurrahman Wahid untuk berziarah bak membalikkan suasana.
Tak sedikit yang merasa penasaran, siapakah sebenarnya Kiai Ageng? Apakah masih mempunyai hubungan kerabat dengan Gus Dur? Petilasan dan makam yang sebelumnya hanya dikenal milik seorang tokoh ulama penyebar Islam perlahan mulai terkuak selubung masjid kuno tersebut.
Nyatanya, beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa makam dam petilasan milik Kiai Ageng itu merupakan leluhur dari Gus Dur. Terlebih, Masjid Sewulan ini ternyata menjadi tempat penuh kenangan bagi Presiden Abdurrahman Wahid ketika masih kecil sebelum beliau memutuskan untuk berhijrah ke Jombang Jawa Timur.
Saat Gus Dus masih kecil, beliau sering datang ke Sewulan bersama ibunya, Nyai Hj. Sholehah dan menginap beberapa hari disana. Bahkan saat berusia 14 tahun, Gus Dur kerap mandi di kolam depan masjid dengan anak-anak desa lainnya, hal tersebut bak menyuguhkan suasana desa yang masih asri dan damai.
Layaknya anak laki-laki yang berusia belasan tahun, Gus Dur muda sangat suka bermain dengan teman-teman sebayanya. Beliau dikenal mudah bergaul, ramah dan senang bermain. Dengan perawakan yang gemuk dan berkacamata, Gus Dur senang memberikan instruksi saat akan memulai permainan bersama kawan-kawannya.
Diketahui, Gus Dur merupakan keturunan ketujuh dari Kiai Ageng Basyariyah. Namun tak hanya Gus Dur, beberapa informan juga menyebutkan bahwa Menteri Agama RI Maftuh Basyuni juga tercatat sebagai salah satu keturunan Kiai Ageng Basyariyah.
Saat masih menjabat sebagai Presiden RI keempat, konon Gus Dur menjadikan Masjid Sewulan sebagai salah satu tempat favorit yang wajib didatangi. Kebiasaan berziarah itupun ternyata masih terus berlanjut setelah beliau lengser, jika agenda ziarah sebelumnya untuk urusan kenegaraan maka setelah itu hanya sebatas ziarah ke makam keluarga.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang