Tembang Introspeksi dan Renungan Ronggawarsito di Zaman “Edan”
- November 1, 2022
- 7:24 pm

SANTRI KERTONYONO – Selama beberapa periode Ronggawarsito memang sangat mashyur dengan sejumlah karangan puisi-puisinya, seperti Serat Kala Tidha atau Zaman Kebutaan/Kegelapan/Kebodohan/Kesalahan, sebuah “ramalan”, kritik diri dan kritik sosial yang melebur menjadi satu.
Masih dalam karya Ronggawarsito, Wirid Sopanalaya menuliskan tiga buah tembang Sufi yang Menyusun, masing-masing membahas tentang renungan dan kematian. Serta, suatu “ramalan” yang mengantisipasi datangnya kemerdekaan masyarakatnya di tahun 1945, masuk dalam detail yang rumit hingga bab tentang kematian dirinya.
Ramalan tersebut tertuang dengan jelas pada bait puisi Sabdajati, yang menuliskan bahwa kembalinya kesejahteraan untuk orang Jawa akan datang di tahun 1877 (1945-46), dengan sebuah tanggal yang ditulis dengan menggunakan sengkalan: wiku memuji ngesti sawiji (pendeta memanjatkan doa untuk upaya manunggal).
Dalam bukunya “Jawa-Islam di Masa Kolonial” (2020), Nancy K. Florida tidak membatasi komentarnya terhadap karya Ronggawarsito Kala Tidha yang mendapat atensi cukup besar dari khalayak, bahkan tak jarang bait-baitnya disusun dan dinyanyikan secara lain dalam tembang macapat.
Mekipun sering dianggap sebagai ramalan, karya-karya tersebut mampu membentuk komentar kritis atas kondisi masyarakat saat sang penyair masih hidup, ataupun menjadi refleksi mendalam yang berkaitan dengan aturan-aturan agama Islam.

Jika dilihat lebih dalam, tepat pada bait terakhirnya, Ronggawarsito sempat mengumumkan perihal kematiannya yang sebentar lagi akan datang. Ia menggunakan kata-kata yang juga membentuk sebuah sandi asma atau sebuah perangkat sastrawi dimana sang penyair akan “menandatangani komposisinya secara akrostik melalui deretan suku kata yang terlekat dalam kata-kata di puisinya untuk melafalkan bunyi namanya.
Secara umum, Kala Tidha bukanlah karya Ronggawarsito yang terpanjang, pasalnya serat ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom yang seluruhnya ditulis dengan menggunakan aksara Jawa Hanacaraka gagrak Surakarta.
Bagian pertama pada serat tersebut menjelaskan tentang kondisi saat Ronggawarsito hidup bak seperti tanpa prinsip. Bagian kedua, ia membahas tentang ketekadan dan upaya untuk instropeksi diri. Dan pada bagian ketiga, Ronggawarsito menuliskan tentang sikap seseorang yang taat beragama.
Kala Tidha sendiri memiliki arti zaman gila atau zaman edan, menurut sejarah, serat Kala Tidha merupakan ungkapan kekecewaan Ronggawarsito yang kala itu pangkatnya tidak dinaikkan seperti yang ia harapkan sebelumnya.
Lantas, ia menggenaralisir keadaan tersebut yang dianggapnya zaman gila dengan banyaknya krisis yang terjadi. Ronggawarsito sendiri merupakan pujanggan dari Keraton Kasunanan Surakarta, sekaligus menjadi pujangga panutup atau pujangga terakhir.
Puisi-Tembang Intropkesi Kehidupan
Kekecawaan Ronggawarsito tumpah ruah dalam serat Kala Tidha miliknya. Terlebih rasa kecewanya terhadap gaya pemerintahan Pakubuwana IX yang begitu banyak dikelilingi oleh para penjilat yang hanya mengedepankan ego dan keuntungan pribadi.
Serat Kala Tidha (Sekar Anom) R. Ng. Ronggawarsito
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sarjana sujana kelu
Kalulun kala tidha
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengratdening karoban rubeda
Zaman Edan (Sinom) R. Ng. Ronggawarsito
Sekarang kemulyaan negeri
Kelihatan sudah sunyi senyap
Rusak aturan hukum
Karena tak ada teladan
Melupakan tata Susila
Yang terpelajar, yang baik terhanyut
Tersapu zaman kegelapan
Padam, tanda-tanda alam
Dunia sangsara terliput susah
Bait-bait tersebut hanyalah contoh kecil dari karya besar Ronggawarsito yang hamper merajai seluruh karya sastra Jawa. Puisi-tembang nya bahkan dinilai sebagai pernyataan sosial yang sangat sesuai, dengan nuansa-nuansa ilahi-nya mampu mengejutkan tokoh besar Indonesia selama kurang lebih 147 tahun ini. Tokoh besar itu diantaranya adalah dua presiden pertama Indonesia, masing-masing Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Tak sedikit orang Jawa yang pada akhirnya mampu meresapi isi puisi-puisi karya Ronggawarsito ini diluar kepala, atau sedikitnya mungkin hanya beberapa bait. Tepatnya pada bait ketujuh yang memang dikenal luas, sebuah bait yang dibuka dengan sebuah ungkapan “hidup di zaman edan” (Amenangi jaman edan).
Barangkali juga tidak terlalu mengejutkan jika pada zaman sekarang, banyak sekali orang Indonesia pada umumnya yang menilai bahwa zamannya sekarang juga merupakan “zaman edan”, sama dengan apa yang ditulis oleh Ronggawarsito di tahun 1873.
Dalam bait yang tidak terlalu panjang ini, Ronggawarsito meratapi suatu akhir yang dia kenal dan akui, yakni sebuah bentuk kehidupan yang munkin bisa disebut “Jawa Tradisional”. Seperti halnya mengejek sebagai kosong ambisinya sendiri, membenarkan kegunaan untuk mengingat masa lalu, menyuratkan absurditas hidup dalam waktu yang ganiil, hingga akhirnya ia mengumumkan kematiannya sendiri.

Perlu digarisbawahi, meskipun karya ini lebih diakui sebagai puisi akhir zaman, karya Ronggawarsito bisa dinilai lebih tak hanya sebagai ratapan dan rasa putus asa atas kekalahan kekuasaan Jawa tradisional. Setiap bait puisi memilik makna yang dalam, lebih dari apa yang orang tafsirkan.
Serat Kala Tidha sebuah karya besar dari Ronggawarsito bak upaya untuk merenungkan dan menghidupkan kembali potensi pribumi maupun potensi yang lainnya, melalui sebuah puisi yang bait-baitnya menggema dan tidak mudah untuk dilupakan.
Dengan karya ajaibnya, Ronggawarsito tak hanya semata-mata ingin merayakan masa lalu yang telah hilang ataupun keinginan untuk menyangkal kepentingan produktif dengan masa lalu yang sama, tau hanya sekedar mengabaikan keterputusannya waktu.
Namun, puisi ini hanya ingin memunculkan berbagai macam kemungkinan yang berbeda, semata-mata untuk menyiapkan apa yang bisa di bawa ke masa depan.
Kecerdikan Ronggawaristo dalam Karyanya
Sang Pujangga Ronggawarsito tak henti-henti memperingatkan para pembacanya melalui pengulang cerdik sebuah karya “jangka” yang ia karang di awal abad ke-19. Mungkin saja, oleh kakeknya yakni Sastranegara belum dibekukan menjadi sebuah tradisi saat masa Jawa Tradisional.
Jangka tua yang Ronggawarsito pinjam tanpa penyebutan lain ditemukan dalam bait-bait Serat Centhini. Tak lain sebuah karya puisi yang berjilid-jilid, disusun dengan apik oleh tim pujangga Keraton Surakarta pada tahun 1815. Sebuah mahakarya yang hingga kini dikenal sebagai ensiklopedia pertama Jawa.
Didalam naskah Centhini tersebut, katajangka diulang hampir dua kali dalam bentuk yang berbeda baik dalam versi asli Chentini, maupun dalam versi Ronggawarsito yang lantas di atribusikan kepada beberapa pengarang jangka di masa lalu.
Pengarang pertama yakni Ki Pujangkara, seorang guru bijak di abad ke-17 yang sempat meramal sesuatu menjelan akhir masa sempurnanya di negara Mataram saat masa Sultan Agung masih berkuasa. Ia melihat adanya kisah yang mungkin tidak akan bisa dibayangkan oleh siapapun.
Berikutnya, salah satu murid Kiai Pujangkara yang menyampaikan “jangka” kepada serombongan santri kelana. Para pencari kebenaran Islam yang kebetulan saat itu tengah datang kepadanya di sebuah situs Mataram dimana Kerajaan Kartasura kelak akan didirikan.
Dari apa yang dikisahkan di Centhini, seolah-olah para pujangga keraton menekankan adanya kebenaran Al-Qur’an bahwa satu-satunya yang tak pernah musnah adalah “kenyataan Yang Kuasa”. Dalam kutipan itu, Ronggawarsito ingin menggarisbawahi kesementaraan alam dunia.
Jangka ini tertulis cukup jelas di dalam serat Centhini, ia menjelaskan kepada rombongan kelana para pencari kebenaran Islam yang sama dengan santri kelana. Rombongan tersebut merupakan peziarah yang tiba di sebuah masjid suci yang berlokasi dekat dengan tempat yang nantinya akan menjadi Kerajaan Surakarta.
Beberapa literatur sejarah juga ada yang menyebutkan bahwa akhir hayat hidup sang Pujangga di siratkan sebagai musnahnya bentuk kehidupan atau bahwa masa Jawa Tradisional. Namun, secara bersamaan, para leluhur juga ikut meramalkan bentuk kehidupan masyarakat Jawa di masa kini.
Ronggawarsito menyusun lalu menyorongkan sebuah ingatan aktif yang tidak mengabaikan keterputusan waktu, Maupun tidak juga membiarkan orang-orang lupa akan masa lalu.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan