Syiar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin Kanjeng Jimat di Nganjuk
- November 30, 2021
- 6:16 pm

Masyarakat yang bertempat di kawasan lereng Gunung Wilis masih banyak yang tidak mengenal Islam saat Kanjeng Jimat tiba di wilayah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kanjeng Jimat menjejakkan kaki pertama kali di wilayah Berbek. Ketika itu penduduk setempat masih memegang keyakinan lama erat-erat.
Berdirinya Kesultanan Demak (1481) paska runtuhnya kekuasaan politik Kerajaan Majapahit (1478), tak membuat banyak perubahan di wilayah Nganjuk. Terutama pada lapangan sosial keagamaan serta kebudayaan.
Di wilayah pedalaman yang masih berupa hutan belantara, ritual-ritual kuno masih bertahan kuat. Kebudayaan-kebudayaan lama masih tumbuh subur. Simbol Hindu Budha masih berdiri tegak.
Begitu juga pada masa Kerajaan Pajang (1568-1587) yang lalu digantikan Kerajaan Mataram Islam. Situasi sosial keagamaan masyarakat Nganjuk masih sama. Sosrokoesoemo atau Kanjeng Jimat merupakan birokrat Kerajaan Mataram Islam. Ia juga seorang ulama yang diutus menyebarkan Islam di kawasan Nganjuk dan sekitarnya.
“Dalam syiarnya Kanjeng Jimat memadukan budaya Islam dengan pendekatan Hindu Budha,“ tutur Juru Kunci Makam Kanjeng Jimat Sutrisno menjelaskan seperti dikutip dari berbagai sumber. Kanjeng Jimat bukan seorang ulama yang gemar melakukan penaklukan. Sejak awal menjejakkan kaki, ia mengenalkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Ia juga mengedepankan tata krama yang berlaku umum di masyarakat. Sebagai tamu atau pendatang, ia tidak melupakan etika kulo nuwun. Sikap itulah yang membuat kehadirannya bukan sebagai ancaman bagi masyarakat setempat.
Dalam perjalanannya banyak penduduk yang berminat memeluk Islam. Kanjeng Jimat kemudian mendirikan sebuah masjid di wilayah Berbek yang bernama Yoni al-Mubarok (1745). Nama Yoni merujuk pada sebuah batu umpak Yoni yang bertempat di pelataran masjid. Di atas permukaan umpak Yoni, Kanjeng Jimat meletakkan jam matahari.
Kanjeng Jimat memasukkan unsur Hindu dan Budha yang lazim dijumpai pada arsitektur masa Kerajaan Majapahit. Pada langit-langit bangunan masjid bertabur hiasan ukir-ukiran. Mimbar di ruang pengimaman juga berukir serta bedug yang hingga kini masih berfungsi baik.
Pada singkelan atau sinengkelan, yakni angka tahun yang berbentuk kalimat, dipakai bahasa Jawa yang bertuliskan aksara arab. Pada sisi muka bangunan serta kanan kiri, terpahat kalimat Ratu Pandito Tata Terus (1759).
Sementara pada sisi bawah bertuliskan Ratu Nitih Buto Murti (1758). Tertulis juga kalimat Ratu Pandito Tata Terus Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirjo (1759) setelah KRT Sosrokoesoemo purna tugas pada tahun 1760 (Leno Sarosa Pandita Iku).
Sebagai bagian dari syiar Islam rahmatan lil alamin, Kanjeng Jimat masih memberi ruang sekaligus merangkul kebudayaan lama yang secara politik telah terpinggirkan.
Menantu Sultan Agung
Sejumlah sumber lisan menyebut, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sosrokoesoemo atau Kanjeng Jimat merupakan menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja kesultanan Mataram Islam (1613-1645). Sayangnya tidak ada penjelasan lebih jauh, siapa putri Sultan Agung yang diperistri Kanjeng Jimat.
Sumber lain mengatakan, Kanjeng Jimat seorang ulama asal dari Grobogan, Jawa Tengah. Kehadirannya di Nganjuk untuk menyebarkan Islam atas permintaan Pangeran Singosari.Pengeran Singosari atau dikenal Raden Santri merupakan saudara kandung Penembahan Senopati, raja pertama kesultanan Mataram Islam.
Raden Santri yang di awal Mataram Islam berdiri sempat menjadi senopati perang, menolak jabatan adipati dan memilih menyebarkan Islam di kawasan Magelang, Jawa Tengah. Raden Santri bermakam di Dusun Santren, Gunung Pring, Muntilan, Jawa Tengah. Ada sumber yang menyebut Pangeran Singosari yang dimaksud adalah Prabu Jaka, putra Amangkurat IV.
Pangeran Singosari merupakan penolak Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) hasil inisiasi Kolonial Belanda. Karena memilih melawan, bersama Raden Mas, putranya, Pangeran Singosari mengungsi ke Malang Jawa Timur. Sementara dalam penyebaran Islam, Kanjeng Jimat atau KRT Sosrokoesoemo diangkat menjadi Bupati Nganjuk yang pertama. Ia juga disebut sebagai Bupati Berbek sebelum nama Nganjuk tercatat secara administratif.
Kanjeng Jimat memerintah Kabupaten Nganjuk selama 15 tahun (1745-1760). Ia mangkat pada tahun 1766 dan dimakamkan di komplek makam Masjid Yoni al-Mubarok. Sepeninggal dirinya, pemerintahan dilanjutkan Kanjeng Raden Tumenggung Sosrodirjo, adiknya yang menjabat tahun 1760.
“Putra Kanjeng Jimat atau KRT Sosrokoesoemo II menjabat Bupati Nganjuk ketiga pada 1831-1852,” kata Juru Kunci Makam Kanjeng Jimat, Sutrisno.
Pada pintu masuk makam Kanjeng Jimat terdapat dua patung macan berwarna putih. Kedua patung berdiri tepat pada sisi kanan dan kiri pintu masuk. Konon, macan merupakan hewan peliharaan Kanjeng Jimat di masa hidupnya.
Setiap yang hendak masuk ruangan makam harus membungkukkan badan, merundukkan kepala. Sebab konstruksi pada bagian atasnya, rendah. Di lokasi makam juga dijumpai gentong kuno yang diyakini peninggalan Kanjeng Jimat.
Air di dalam gentong berasal dari sumur yang dipercaya belum pernah kering meskipun datang musim kemarau. Hingga kini makam Kanjeng Jimat tidak pernah sepi peziarah. Terutama pada malam Jumat legi dan Jumat Kliwon. Mereka datang dari mana-mana. Tidak hanya warga yang berasal dari wilayah Nganjuk, tetapi juga dari daerah eks Karesidenan Kediri lainnya.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara