Syekh Siti Jenar dalam Pergulatan Agama dan Budaya
- Desember 1, 2022
- 6:37 pm

SANTRI KERTONYONO – Syekh Siti Jenar hidup pada awal berdirinya Kerajaan Demak Bintara. Babad Sengkala dan Klenteng Sam Po Kong memang tidak mencatat secara detail. Namun eksistensi Syekh Siti Jenar dalam catatan tersebut telah memberi konteks historis di tanah Jawa.
Babad Sengkala mencatat jatuhnya Kerajaan Majapahit atas serangan Demak. Peristiwa itu berlangsung pada tahun 1483. Sementara berita Klenteng Sam Po Kong mengabarkan 1478.
Meski berbeda kurun waktu, kisah yang dituturkan sama. Raden Fatah menyerang Majapahit usai kematian Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Semasa hidup Sunan Ampel disebutkan melarang Raden Patah menyerang Majapahit.
Teks Syekh Siti Jenar menyebut saat diserang putranya (Raden Fatah) Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Singhawikramawardhana. Lalu siapa Syekh Siti Jenar?
Ada dua pandangan yang menjelaskan tentang ketokokahnnya. Yang pertama menyebutnya sebagai seorang wali. Wali diterjemahkan sebagai makhluk yang mencintai dan dicintai Allah. Seorang manusia yang telah mencapai maqam makrifat.
Pandangan yang kedua menyebut wali dalam kaitan pemerintahan seperti halnya anggota dewan wali yang lain. Adapun kata wrejit dalam bahasa Jawa yang berarti cacing, lebih diartikan sebagai simbol keberpihakan Syekh Siti Jenar kepada rakyat jelata.

Pertemuan Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging
Syekh Siti Jenar mengunjungi kediaman Ki Ageng Pengging. Keduanya terlibat percakapan serius tentang ajaran budi yang dilakoni Ki Ageng Pengging dan itu membuat Syekh Siti Jenar bahagia.
Syekh Siti Jenar melihat laku Ki Ageng Pengging memiliki kemiripan dengan ajaran Islam yang ia yakini. Berikut percakapan keduanya dalam serat Syekh Siti Jenar.
“Kyai kula langkung bingah/ Paduka mangeran budi/ ngeningken sajuga karsa/ kagyat Kyageng tanya aris/ sinten Dika kakasih/ lan ing pundi wismanipun/ umatur kag tinanya/ Kyai kula Seh Siti Bret/ Nguni bangsa sudra mangke manjing madya//
“Anta darajad sasengkan/ mangkya ingaran Wali/ sanes lawan Jeng Paduka/ run-temurun tra narpati/ pramudeng tanah Jawi/ bangsawan laluhuripun/ ing mangke temah nistha/ dhudhukuh awor lant ani/ aneng ngriki babad nandur palawija//
Artinya: Kiai, saya sungguh senang, Paduka bertuhankan budi, mengheningkan Kehendak Yang Tunggal. “Ki Ageng terkejut dan bertanya dengan manis, “siapakah Andika dan di manakah rumah Andika?”
Menjawablah yang ditanya, “Kiai, saya adalah Syek Siti Brit yang berasal dari kalangan rakyat jelata, tetapi sekarang sudah termasuk golongan terhormat. Mendapat kenaikan derajat secara tiba-tiba dengan sebutan wali.
Hal itu tentu berlainan dengan Kanjeng Paduka yang merupakan keturunan Narapati, yakni raja di tanah Jawa, bangsawan leluhur, yang menjadi nista hidup di pedukuhan bersama-sama dengan petani. Di tempat ini membuka lahan menanam palawija”.
Pertemuan keduanya tak hanya untuk bertukar pikiran, dan berbagi ilmu, tapi saling menguatkan satu sama lain atas ajaran yang dianut. Pertemuan Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging berlangsung pada masa berdirinya Kerajaan Demak.
Beberapa sumber literatur menyebutkan, pertemuan antar mereka adalah untuk saling mewedar ajaran agama masing-masing. Ki Ageng Pengging membahas tentang keyakinan Buddha yang dipeluknya, sementara Syekh Siti Jenar mewedar pemahamannya atas agama Islam yang diyakininya.
Keduanya saling memberikan pemahaman, masing-masing dari mereka pun menerimanya dengan sangat lapang. Konon, keduanya menggambarkan pemahaman ajaran yang sama. Perbedannya terletak pada lafadz yang dipakai, yakni Jawa dan Arab.
Dalam pertemuan itu Syekh Siti Jenar juga meminta Ki Ageng Pengging untuk memotong ayam betina berbulu putih sebagai ungkapan slametan. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ritual ini merupakan ungkapan syukur atas terjadinya suatu hal.
Perbincangan mereka ihwal keyakinan yang dipeluknya digambarkan begitu khidmat. Mulanya, mereka saling menguraikan ilmu di serambi sanggar, kemudian menuju ke dalam sanggar. Ketika malam semakin larut, dikisahkan mereka mulai membahas ajaran sejati.
Syekh Siti Jenar Bertukar Ilmu
Syekh Siti Jenar mengajarkan Ki Ageng Pengging ilmu ketuhanan dan kematian dalam uraiannya yang disebut “dharidhindhing dharidhindhang”, yang secara leksikal kosakata tidak mempunyai arti khusus.
Buah ajaran yang diterima Ki Ageng Pengging tertulis dalam Pupuh IV Asmaradana. Diceritakan bagaimana Ki Ageng Pengging menjadi tahu seluk beluk kemusnahan raga sejati. Bahwa manusia hakiki adalah wujud sejati yang mencicipi kodrat secara mandiri di atas diri pribadi.
Sebagai hamba, ia menjadi sukam. Sedangkan, Hyang Sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa dan kehampaan ini meliputi alam semesta, sebagaimana yang tertuang dalam teks naratif berikut ini:
“Iya janma kang hakiki/ wujud khak kiyamul kodrat/ jumeneng anane dhewe/ kawulane dadya Suksma/ Hayng Suksma dadya nyawa/ nyawa sirna manjing suwung/ wangwung ngebegi bawana//
Yang berarti, yaitu manusia hakiki, wujud sejati yang mencicipi kodrat dengan berdiri mandiri diri pribadi. Sebagai hamba, ia menjadi sukma, sedangkan Hyang Sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengn hampa dan kehampaan ini meliputi alam semesta.
Dalam bait lain mengisahkan pemahaman Ki Ageng Pengging dari buah ajaran Syekh Siti Jenar, yakni perihal adanya zat, sifat, asma, dan af’al Hayn Manon yang menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam diri pribadi. Ini berarti diri pribadi yang dimaksud adalah Tuhan, dan Tuhan adalah diri pribadi tersebut.
Selain itu, Ki Ageng Pengging juga menganggap bahwa Allah yang keberadaan-Nya dirasakan sewaktu berdzikir merupakan sebuah gagasan yang palsu. Hal ini karena hakikat adanya Allah karena berzikir merupakan bentuk nama, padahal Allah tidak bisa diumpamakan dengan suatu apapun.
Ki Ageng Pengging berpandangan Allah bukanlah seumpama permata, jenazah, apalagi suatu rahasia yang gaib. Sementara secara legal-formal, orang Jawa yang telah mengucapkan syahadat telah dianggap sah masuk agama Islam.
Ki Ageng Pengging dan Syekh Siti Jenar mengkritik pratik-praktik semacam itu. Bagi keduany beragama Islam berarti mengenal Tuhannya sekaligus memberlakukan sifat-sifat Tuhan ke dalam kehidupannya sehari-hari.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang