Syekh Bela Belu Akhirnya Mencintai Islam di Laut Selatan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Makam Syekh Bela Belu, Parangtritis, Kec. Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta /Foto: rentalmobilyogyakarta.net

Menjelang berakhirnya abad ke-15 Masehi, eksistensi Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa bagian timur terusik. Akibat berbagai faktor, orang-orang Majapahit terpaksa mencari tempat-tempat yang lebih aman, termasuk Raden Jaka Bandem. Ia menyingkir hingga ke pesisir laut selatan, memeluk Islam, lantas dikenal dengan nama baru: Syekh Bela Belu.

Beberapa referensi menuliskan bahwa Raden Jaka Bandem atau Raden Dandung adalah putra dari Brawijaya V (1474-1498 M) yang oleh Babad Tanah Jawi disebut-sebut raja terakhir Majapahit. Jika versi ini benar, maka Raden Jaka Bandem masih bersaudara dengan Raden Patah yang mendirikan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, pada 1475 M.

Dari ibu kota Majapahit, Raden Jaka Bandem berjalan ke arah barat daya, masuk-keluar hutan belantara, naik-turun gunung, menuju pesisir laut selatan, menyisir garis pantai. Akhirnya, pangeran Majapahit ini tiba di Bukit Pemancingan, tak seberapa jauh dari Parangtritis, di wilayah Bantul, Yogyakarta, sekarang.

Putra Brawijaya V Menerima Islam

Raden Jaka Bandem merasakan aman dan tenteram di Bukit Pemancingan yang terpencil, jauh dari keramaian. Ia pun menetap dan membangun padepokan kecil sembari bercocok tanam untuk menjalani hidup sehari-hari.

Lambat-laun, orang-orang mengetahui keberadaan Raden Jaka Bandem. Mereka berdatangan ke Bukit Pemancingan untuk belajar segala hal, dari bertani hingga bela diri dan ilmu kebatinan. Bukit tersebut kian ramai oleh para pengikut Raden Jaka Bandem yang turut bermukim di situ.

Tidak jauh padepokan Raden Jaka Bandem, ternyata ada pula tokoh dari Majapahit yang sudah terlebih dulu menetap di kawasan itu, yakni Ki Ageng Selohening. Ki Ageng Selohening memeluk Islam berkat Syekh Maulana Maghribi, seorang pendakwah yang diutus oleh penguasa Kesultanan Demak, Raden Patah.

Raden Jaka Bandem penasaran mengapa Ki Ageng Selohening justru menjadi mualaf. Pasalnya, salah satu penyebab kepergian orang-orang dari Majapahit, termasuk dirinya dan Ki Ageng Selohening, adalah semakin kuatnya pengaruh Islam.

Singkat cerita, Syekh Maulana Maghribi dan Raden Jaka Bandem bertemu. Tidak mudah bagi Syekh Maulana Maghribi untuk mengajak Raden Jaka Bandem menerima Islam. Setelah melakukan pendekatan yang disertai dialog panjang bahkan perdebatan alot, akhirnya Raden Jaka Bandem bersedia diislamkan yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Bela Belu.

M. Hariwijaya dalam buku Ngono Ya Ngono ning Aja Ngono: Tafsir Deskriptif Filsafat & Kearifan Jawa (2012) menuliskan, nama Bela Belu berasal dari kata babul laili, yang artinya “penjaga gerbang malam”. Sebutan itu tersemat karena setelah memeluk Islam, Raden Jaka Bandem rutin melakukan amalan dan ibadah sepanjang malam.

Efek Raden Jaka Bandem alias Syekh Bela Belu menjadi muslim cukup besar. Para pengikutnya berbondong-bondong turut memeluk Islam. Padepokan yang dipimpin Syekh Bela Belu di Bukit Pemancingan pun semakin ramai dan ajaran Islam pun kian meluas di kawasan tersebut.

Keunikan Syekh Bela Belu dan Misteri Damiaking
Syekh Bela Belu adalah sosok ulama yang unik lagi eksentrik. Banyak referensi yang mengisahkan keunikannya. Selain sering tidak tidur hingga beberapa hari, Syekh Bela Belu juga teramat gemar makan. Kebiasaan ini sempat menjadi perhatian Syekh Maulana Maghribi.

“Setiap hari kamu hanya sibuk memasak nasi dan memanjakan perut serta mulut. Apakah kamu juga menjalankan kewajiban agamamu dengan baik?” tanya Syekh Maulana Maghribi seperti dikisahkan oleh Albes Sartono dalam tulisannya di portal Harian Merapi (21 Juli 2018).

“Aku tetap menjalankan kewajiban agama dengan baik dan tertib, kiai. Makan nasiku seperti ini merupakan bagian dari cara berpuasa atau bertapaku,” jawab Syekh Bela Belu.

Memang itu yang terjadi. Walaupun mengumbar nafsu makan dan jarang tidur, Syekh Bela Belu tetap rajin bekerja, mengelola padepokan, serta menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim dengan baik, juga tidak lupa memberikan ajaran dan mengamalkan tugasnya selaku pendakwah.

Selain Syekh Bela Belu, di Bukit Pemancingan juga dikenal tokoh ulama lainnya yang bernama Syekh Damiaking. Ada yang meyakini Syekh Damiaking adalah kakak kandung Syekh Bela Belu yang juga berasal dari Majapahit.

Menurut buku Sejarah dan Legenda Desa di Temanggung, Magelang, dan Semarang (2019) yang disusun oleh Nurul Hidayah dan kawan-kawan, nama asli Syekh Damiaking adalah Raden Jaka Dander yang juga putra Raja Brawijaya V. Nama Damiaking konon juga pemberian dari Syekh Maulana Maghribi.

Mengenai awal kehadiran Syekh Damiaking di Bukit Pemancingan, Parangtritis, terdapat dua versi. Versi pertama, Raden Jaka Bandem dan Raden Jaka Dander melakukan perjalanan dari Majapahit hingga tiba di Bukit Pemancingan, kemudian belajar dan merintis kehidupan baru bersama-sama, termasuk saat memeluk Islam lalu berganti nama menjadi Syekh Bela Belu dan Syekh Damiaking.

Versi kedua, Raden Jaka Bandem dan Raden Jaka Dander melakukan perjalanan dari Majapahit ke pesisir selatan dalam waktu yang berbeda, juga melalui rute yang tidak sama pula. Raden Jaka Bandem alias Syekh Bela Belu tiba terlebih dulu di Bukit Pemancingan, baru kemudian disusul oleh Raden Jaka Dander alias Syekh Damiaking.

Terlepas dari asal-usul dan ragam versi tersebut, di Bukit Pemancingan terdapat dua makam dalam satu kompleks, yakni makam Syekh Bela Belu dan Syekh Damiaking. Ki Ageng Selohening dan Syekh Maulana Maghribi juga dimakamkan di sekitar kawasan tersebut.

Dituliskan Muhammad Sholikhin melalui buku Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa (2009), kawasan pesisir selatan Yogyakarta itu sejak lama dipandang sebagai tempat suci, dianggap keramat jauh sebelum Kesultanan Mataram Islam -yang kemudian menguasai wilayah itu- berdiri.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI