Sunan Bayat: Wali Pamungkas Pengganti Syekh Siti Jenar
- Desember 29, 2021
- 6:50 pm

Suatu hari pada 1517 Masehi, para Wali Songo bersidang di Masjid Agung Demak untuk membahas mengenai siapa yang pantas mengemban amanat sebagai wali pengganti Syekh Siti Jenar. Sunan Kalijaga menyebut satu nama: Pangeran Mangkubumi atau yang kelak dikenal sebagai Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat (Bayat).
Anggota Wali Songo memang berkurang satu orang kala itu. Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati lantaran ajarannya dianggap menyimpang. Usulan Sunan Kalijaga yang mengajukan nama Pangeran Mangkubumi tidak serta langsung disetujui oleh para Wali lainnya, bahkan tidak sedikit yang kontra dengan opsi tersebut.
Dikutip dari buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (1999) karya Abdul Baqir Zein, beberapa Wali merasa heran mengapa Sunan Kalijaga mengusulkan Pangeran Mangkubumi untuk masuk sebagai anggota Wali Songo. Pangeran Mangkubumi, yang kala itu berkedudukan sebagai bupati di Semarang, dikenal sebagai pejabat yang tamak dan teramat kikir.

Sunan Kalijaga tentu saja tidak asal mengajukan usulan. Ia sangat yakin bahwa Pangeran Mangkubumi adalah sosok yang paling tepat dan layak untuk menggantikan Syekh Siti Jenar sebagai anggota Majelis Wali Songo. Bahkan, Sunan Kalijaga meyakini bahwa Pangeran Mangkubumi kelak bakal menjadi Wali penutup, Wali pamungkas, alias Wali Songo terakhir.
Kisah Pejabat yang Tamak
Pangeran Mangkubumi kerap disebut sebagai Sunan Pandanaran II, sedangkan Sunan Pandanaran I adalah ayahnya, yakni Pangeran Made Pandan atau Ki Ageng Pandan Arang, Bupati Semarang pertama.
Terkait nama asli serta nama kecil/muda Sunan Pandanaran II selain Pangeran Mangkubumi, ada yang menyebutnya dengan nama Raden Kaji, Wahyu Hidayat, juga Pangeran Kasepuhan.
Konon, Pangeran Made Pandan adalah putra Pati Unus (1488-1521 M), menantu Raden Patah yang melanjutkan takhta Kesultanan Demak. Namun, sang putra mahkota itu tidak berminat menjadi Sultan Demak berikutnya yang lantas dijabat ipar Pati Unus, yakni Sultan Trenggana (1521-1546 M).
Pangeran Made Pandan bahkan memilih pergi dari istana untuk melakukan dakwah Islam. Ia menuju Semarang, membuka peradaban sekaligus menyiarkan ajaran Islam, hingga akhirnya menjadi bupati yang resmi ditunjuk oleh Kesultanan Demak.
Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa yang dikutip Retno Kartini Savitaningrum Imansyah untuk risetnya bertajuk “Islamisasi Jawa Bagian Selatan: Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten”, terhimpun dalam Jurnal Lektur Keagamaan (2013), Pangeran Made Pandan wafat pada 1418 Saka atau tahun 1496 Masehi.
Penerus Pangeran Made Pandan sebagai Bupati Semarang adalah Pangeran Kasepuhan atau Pangeran Mangkubumi. Awalnya, Pangeran Mangkubumi menjalankan pemerintahan di Semarang dengan baik. Namun, lama-kelamaan perangainya berubah. Ia menjadi orang yang tamak lagi pelit.
Babad Demak (1830) mengisahkan, Pangeran Mangkubumi berusaha terus memperkaya diri dan menumpuk harta-benda. Banyak orang yang berutang kepadanya dan tercekik dengan bunganya yang tinggi. Ia juga memborong barang-barang di pasar saat harga murah, menimbunnya, lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi saat harga barang-barang tersebut melambung.
Berbagai sifat dan karakter tercela yang itulah yang membuat para Wali Songo meragukan usulan Sunan Kalijaga yang menghendaki Pangeran Mangkubumi sebagai pengganti Syekh Siti Jenar. Setelah melalui perdebatan yang panjang dan alot, forum Wali meminta kepada Sunan Kalijaga untuk melakukan pendekatan terhadap Pangeran Mangkubumi.
Pertobatan Sunan Tembayat
Ada beberapa versi yang mengisahkan jalan pertobatan Pangeran Mangkubumi, salah satunya adalah penafsiran dari Babad Demak. Diceritakan, Sunan Kalijaga akhirnya pergi ke Semarang dengan menyamar sebagai pengemis.
Di depan rumah mewahnya, Pangeran Mangkubumi sedang asyik menghitung uang. Melihat ada pengemis, ia melemparkan sekeping koin. Si pengemis menolak pemberian itu, kemudian melemparkan sebongkah tanah kepada sang bupati. Betapa terkejutnya Pangeran Mangkubumi karena bongkahan tanah tersebut tiba-tiba berubah menjadi emas murni.
Versi lainnya menyebutkan, Sunan Kalijaga menemui Pangeran Mangkubumi bukan menjadi pengemis, melainkan menyamar sebagai penjual rumput. Dalam suatu momen, terjadi perdebatan antara Pangeran Mangkubumi dengan penjual rumput yang sejatinya adalah Sunan Kalijaga itu.
“Jika aku kalah kaya darimu, wahai tukang rumput, aku akan mengikutimu dan meninggalkan semua harta bendaku,” tukas Pangeran Mangkubumi.
Si penjual rumput menjawab, “Tamak sekali dirimu, Bupati. Kamu telah menjadi kaya tetapi tetap saja ingin terus menjadi kaya sampai lupa diri.”
Setelah itu, si penjual rumput ini mengambil pacul dan mencangkul tanah di depan rumah sang bupati. Tanah yang terlempar dari cangkulan itu seketika berubah menjadi bongkahan emas.
“Ambillah semaumu. Jika masih kurang banyak, kucangkulkan emas-emas itu lagi untukmu,” kata si penjual rumput.
Melihat hal tersebut, dinukil dari tulisan berjudul “ Semarang: Yang Ditanam Pangeran Made Pandan itu Telah Tumbuh Sedemikian Rupa” dalam Jurnal Adiluhung (2014), raga sang bupati terguncang, jiwanya bergetar, kedua kakinya langsung lemas, hatinya serasa dipukul dengan amat keras. Dengan terbata-bata ia bertanya kepada pria sederhana di hadapannya, “Siapa kamu sebenarnya?”
Si tukang rumput melepaskan penyamarannya. Pangeran Mangkubumi tercengang dan langsung bersimpuh. Orang di depannya itu adalah Sunan Kalijaga, guru spiritual ayahnya, Pangeran Made Pandan atau Sunan Pandanaran I.
Sang Bupati menangis dan tunduk di bawah kaki Sunan Kalijaga, memohon maaf dan menyatakan diri untuk siap insaf. Pangeran Mangkubumi mengakui bahwa ketamakan telah membutakan mata dan hatinya yang mengubahnya menjadi pejabat yang serakah.
Pangeran Mangkubumi memohon kepada Sunan Kalijaga agar diangkat menjadi muridnya. Sunan Kalijaga bersedia, tapi memberikan beberapa syarat: Pangeran Mangkubumi harus segera bertobat, meninggalkan keduniawian, menjalankan perintah agama, dan menyebarkan ajaran Islam. D.A. Rinkes dalam De Heiligen van Java (1910) menyebutkan, Pangeran Mangkubumi memenuhi seluruh persyaratan tersebut. Semua urusan kekuasaan dan kekayaan ia serahkan kepada kerabatnya.
Setelah meninggalkan seluruh hal duniawi, Pangeran Mangkubumi alias Sunan Pandanaran II berjalan jauh ke arah selatan dan akhirnya menetap di sebuah daerah perbukitan tandus yang bernama Tembayat (kini termasuk wilayah Klaten, Jawa Tengah).
Di Tembayat inilah ia memperdalam ilmu agama sekaligus berdakwah Islam. Dituliskan oleh H.J. De Graaf dan Th. G. Piguet dalam De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java (1974), Sunan Kalijaga kemudian menyematkan julukan Sunan Tembayat atau Sunan Bayat kepada Pangeran Mangkubumi.
Hingga akhirnya, Pangeran Mangkubumi alias Sunan Pandanaran II atau Sunan Tembayat diangkat menjadi anggota Wali Songo kendati tidak tercatat secara resmi. Meskipun begitu, Sunan Kalijaga menyebut Sunan Tembayat sebagai Wali Songo penutup.
Asti Musman dalam buku Sunan Bonang Wali Keramat: Karomah, Kesaktian dan Ajaran-Ajaran Hidup Sang Waliullah (2020) menuliskan, Sunan Tembayat adalah orang terakhir yang diangkat menjadi anggota Wali Songo angkatan ke-6 atau generasi pemungkas pada.
Menurut Ranggawarsita dalam Kitab Wirid Hidayat Djati, Sunan Tembayat termasuk Waliyullah yang diberi kewenangan mengajar wirid dan pelajaran ilmu kesempurnaan (tasawuf). Sunan Tembayat merupakan Waliyullah angkatan kedua dan ketiga yang hidup dalam periode akhir Kesultanan Demak hingga masa awal Kesultanan Pajang.
Sunan Pandanaran II atau Sunan Tembayat dimakamkan di perbukitan Jabalkat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dengan mewariskan banyak peninggalan baik yang bersifat fisik, keilmuan, maupun pesan-pesan yang bijak.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan