Sumbangsih Sultan Agung Membangun Peradaban Tradisi Jawa dengan Ajaran Islam
- Juni 28, 2022
- 5:56 pm

Meskipun terbilang sukses besar, proses penyebaran Islam di tanah Jawa banyak menemui jalan yang sulit. Proses yang cukup panjang, dan tantangan-tantangan yang menghadang belum lagi pihak-pihak yang menjatuhkan dan tak menginginkan keberadaan Islam bak mewarnai perjalanan Islam di Jawa.
Kedatangan Islam yang sangat santun dan menghargai karakteristik sosial masyarakat Jawa membuatnya cukup mudah diterima oleh sebagian besar warga. Secara sejarah pun, agama Islam mampu mengintegrasikan keyakinannya ke dalam pola budaya, sosial serta politik yang sebelumnya sudah ada.
Terlebih, ada beberapa hal yang patut dicontoh dari sikap-sikap para tokoh agama saat perjuangannya melakukan syiar Islam di Jawa. Yakni, bagaimana sikap mereka dengan tetap menghormati kepercayaan warga lokal yang telah mengakar kuat.
Namun, lagi-lagi perjuangan para tokoh agama ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Tak sedikit sejarawan yang menuliskan kisah perjalanan Islam selama berjuang di tanah Jawa. Jejak Islam memang tak bisa dipungkiri ada dimana-mana, seperti ingin menegaskan bahwa jauh sebelum Islam berjaya, ada orang-orang yang bahkan memeras keringatnya untuk melanjutkan perjuangan.

Salah satu jejak Islam juga tertulis jelas didalam buku legendaris “Mengislam Jawa”, hasil karya sejarawan kondang asal Australia MC Ricklefs. Bagi para penggiat sejarah, mungkin buku ini sudah tidak asing lagi. Dimana, Ricklef menggambarkan betapa sulitnya melakukan syiar Islam kepada masyarakat yang sebelumnya telah memiliki keyakinan sendiri.
Dalam tulisannya tersebut, Ricklefs turut mengisahkan sosok Sultan Agung Honyokrokusumo yang secara tidak langsung ikut menyatukan kultur keyakinan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Dukungan Sultan Agung terhadap keberadaan Islam pun terlihat dari pemilihan nama yang ia sandang.
Dimana, penyebutan nama Sultan ini bukan tanpa alasan. Keputusan Sultan Agung menyebutnya dirinya sebagai Sultan merupakan nama yang dimintanya dari seorang “Syarif” Makkah yang tak lain merupakan orang yang diberi kekuasaan oleh Sultan Turki Ottoman untuk mengurus segala keperluan di tanah suci.
Bisa diambil garis merah, jika Sultan Agung ini ingin berlindung dibalik nama besar Turki pada waktu itu. Konon, hal itu sudah dilakukan oleh Sunan Agung sejak awal berdirinya Kerajaan Demak. Hal tersebut cukup terlihat menonjol pada gelar Sultan oleh Pangeran Rangsang yang tak lain merupakan nama muda dari Sultan Agung, Ia sudah tak menggunakan gelar seperti Raja Majapahit yang biasanya disebut Susuhunan.
Andil Sultan Agung dalam Islamisasi di Jawa
Campur tangan Sultan Agung tak hanya berhenti disitu, ada beberapa literatur sejarah yang menyebutkan bahwa Sultan Agung juga mempunyai andil besar dalam proses Islamisasi di tanah Jawa. Dimana, ia melakukan peleburan terhadap penanggalan Jawa yang sebelumnya banyak mendapat pengaruh dari sistem India.
Peleburan itupun akhirnya menghasilkan penanggalan Islam atau Hijriah. Lantas, nama dan jumlah hari dalam penanggalan Jawa yang sebelumnya berjumlah lima, kini berubah menjadi tujuh. Terlepas dari itu semua, cukup banyak keberhasilan dan peradaban yang telah dibangun semasa pemerintahan Sultan Agung.
Selain itu, Sultan Agung juga berhasil menyesuaikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan ajaran Hindu dan ajaran Islam. Hal itu nampak pada tradisi grebeg yang telah banyak disesuaikan dengan hari Raya Idul Fitri serta kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sejak saat itulah, mulai dikenal dengan istilah garebeg puasa atau grebeg Mulud. Namun, ada pula pembuatan tahun saka dan kitab, serta filsafat Sastra Gendhing yang konon juga merupakan hasil karya dari Sultan Agung. Bisa dikatakan bahwa puncak kebesaran berada pada masa pemerintahan Sultan Agung di tahun 1627.
Pada masa tersebut, Sultan Agung juga meneruskan para pendahulunya dengan tetap meletakkan dasar perkembangan Mataram Islam serta memberikan pengajaran dan pendidikan kepada rakyatnya. Sehingga pada masa pemerintahannya bisa terlihat bahwa Sultan Agung memberikan kedudukan yang terhormat bagi beberapa ulama.
Jabatan yang diberikan oleh Sultan Agung diantaranya seperti Pejabat Anggota Dewan Parampara atau Penasehat Tinggi Kerajaan. Disamping itu juga terdapat pada struktur pemerintahan kerajaan dengan didirikannya Lembaga Mahkamah Agama Islam, beberapa gelar raja-raja di Mataram Islam meliputi Raja Pandita, selain sebagai penguasa tetapi juga sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Agama Islam.
Keberhasilan Sultan Agung juga nampak pada bidang kebudayaan yakni dengan merubah perhitungan peredaran matahari ke perhitungan perhitungan bulan. Bahkan, banyak yang menyebutkan bahwa Sultan Agung telah berhasil menorehkan tinta mas pada masa pemerintahannya.
Sementara, di lingkungan Kerajaan Mataram sendiri, Sultan Agung mengatur penggunaan bahasa Bagongan yang wajib dipakai oleh para bangsawan dan pejabat semata-mata untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Kebijakan ini bentuk agar dapat terciptanya rasa persatuan diantara penghuni istana.
Secara umum, dinasti Mataram mulai berkuasa sekitar abad ke 17. Raja terbesarnya dari era Majapahit yakni Sultan Agung yang berhasil mempertemukan dan mendamaikan keraton dan tradisi-tradisi Islam. Selama memerintah pun, Sultan Agung tak serta merta memutus begitu saja hubungan mistisnya dengan penguasa rohani yang diyakini oleh masyarakat, masyarakat Jawa Tengah khususnya, tak lain Ratu Pantai Selatan.
Terlepas dari hal itu, ia juga tak gentar sama sekali dalam menegakkan komitmen secara tegas demi menjadikan kerajaannya menjadi lebih Islami. Namun, Sultan Agung tetap tidak mengesampingkan kebudayaan dan tradisi yang telah mengakar sebelumnya.
Dilansir dari Republika, tepat pada tahun 1633, Sultan Agung diketahui tengah melakukan ziarah ke Tembayat, yakni tempat dimana ditemukannya makam Sunan Bayat, yang kala itu dipandang sebagai wali yang memperkenalkan Islam di wilayah Kerajaan Mataram.
Diketahui, kompleks makamnya dahulu telah menjadi sebuah pusat perlawanan terhadap pemerintahannya yang akhirnya berhasil ia singkirkan. Kala itu, Sultan sering mengajarinya ilmu-ilmu mistik rahasia yang menjadikan kekuasaan Bayat masih berhubungan dengan monarki Mataram hingga kini.
Hal yang paling diingat dari sosok Sultan Agung adalah saat ia berhasil berdamai dengan keluarga bangsawan dari Surabaya. Sebelumnya bangsawan tersebut tak lain adalah penentang terbesar Sultan Agung saat ia mulai menikahkan salah satu adik perempuannya dengan salah satu adik perempuannya dengan salah satu pangeran asal Surabaya yang kala itu masih tersisa.
Jika digali secara mendalam, sosok pangeran ini secara latar belakang dan asal-usulnya masih merupakan keturunan salah seorang wali yang paling senior. Namun, informasi terkait kabar tersebut masih terus dibuktikan oleh para sejarawan melalui beberapa dokumen dan naskah-naskah kuno.
Usaha Sultan Agung Memperkenalkan Karya-Karya Islam
Keberadaan sosok pangeran asal Surabaya ini ternyata membawa keuntungan bagi Sultan Agung. Melalui pengeran inilah, Sultan Agung mulai memperluas langkahnya dengan memperkenalkan karya-karya literatur besar yang banyak terinspirasi dari ajaran Islam khazanah literatur istana yang dipercaya memiliki kekuatan magis.
Dari sekin karya yang tersimpan, terdapat salah satu kitab berjudul Usulbiyah. Banyak yang menyakini bahwa siapapun yang membaca atau menulisnya maka ia setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam, melakukan ziarah ke Mekkah, memberi amal sedekah, serta dianggap seperti sedang pergi berjihad.
Selain itu, dalam karya tersebut Nabi Muhammad SAW juga digambarkan tengah mengenakan sebuah mahkota yang terbuat dari emas yang konon berasal Majapahit. Secara tidak langsung, hal itu menunjukkan sebuah kenyataan bahwa ada simbol-simbol yang mempersatukan kekuasaan besar yakni Islam dan Jawa.
Namun, rekonsilasi antara identitas Islamik dan tradisi kerajaan Jawa yang kala itu digagas ioleh Sultan Agung tidak dilanjutkan dengan besarnya antusiasme yang sama dengan para penerusnya. Naasnya, selama beberapa tahun berjalan terjadi banyak pemberontakan yang menggunakan nama Islam.
Perang-perang pecah di beberapa daerah di Pulau Jawa, dinasti yang sempat terkepung itu akhirnya berpaling ke perusahaan dagang milik Hindia Belanda untuk mendapatkan bantuan militer. Namun, rekonsiliasi kedua keraton Mataram dan kesadaran Islamik terjadi lagi pada masa kekuasaan Pakubuwana II.
Terlepas dari tragedi-tragedi yang terjadi di lingkungan keraton, ada beberapa upaya yang telah dibuat oleh pihak keraton agar menjadikan masyarakat lebih saleh dan taat dalam berlajar agama Islam. Dimana, masyarakat diperintah untuk lebih rajin ke masjid dan beribadah di hari Jumat.
Judi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hukum istana dan pencurian akan dihukum dengan tangan yang harus dipotong. Namun begitulah doktrin pra Islam, beberapa karya sastra dan praktik lain masih tetap dipertahankan di lingkungan istana. Dan kini pun mulai sepenuhnya dipahami sebagai praktik yang Islami.
Sementara, sikap para bangsawan lain yang tetap mengonsumsi anggur ataupun minuman bir dari Eropa terkesan masih dibiarkan meskipun dalam teorinya sudah ada pelarangan.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang