Sucikan Tanah Jawa, Sosok Syekh Subakir Jalin Perjanjian dengan Sabdo Palon

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Ilustrasi Sabdo Palon /Foto: kumparan.com

santrikertonyonoKehadiran Wali Songo diyakini banyak membuka pintu kemudahan bagi para tokoh-tokoh agama generasi selanjutnya untuk melanjutkan tongkat estafet dalam memberikan pencerahan agama bagi masyarakat. Mengingat, bukan perjuangan yang mudah bagi Wali Songo untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara khususnya di pulau Jawa.

Masyarakat Jawa yang kala itu masih berpegang kuat pada keyakinan nenek moyang yakni animisme serta dinamisme, belum lagi kehadiran agama Hindu dan Budha yang notabene banyak memiliki kesamaan dengan keyakinan nenek moyang Jawa yang begitu menyakini dan menghormati roh, leluhur, dewa-dewi serta makhluk ghaib pemilik alam semesta.

Namun, perjuangan dalam menyebarkan agama Islam nyatanya tak hanya terjadi di era Wali Songo. Banyak ahli sejarah yang menyebutkan bahwa, sudah banyak tokoh-tokoh agama sebelum era Wali Songo yang sudah membuka jalan dalam syiar Islam di tanah Jawa. Secara literatur, kisah mereka memang tidak tersohor seperti kisah Wali Songo.

Salah satu tokoh agama yang dipercaya sebagai penyebar Islam sebelum masa Wali Songo adalah Syekh Subakir. Syekh Subakir sendiri merupakan seorang ulama dari Persia yang kala itu diutus oleh Sultan Muhammad I dari Kekaisaran Ottoman di Turki pada tahun 1404 M untuk menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Namun tak sendiri, Syekh Subakir melakukan syiar Islam bersama sang paman yakni Maulana Malik Ibrahim.

Sosok Syekh Subakir tak hanya dikenal sebagai penyebar agama Islam yang handal, terlebih saat melakukan pendekatan kepada masyarakat saat ingin memperkenalkan keyakinannya tersebut. Selain itu, ia juga dikenal memiliki kekuatan yang sangat besar hingga mampu mengusir para lelembut dan roh-roh jahat yang mendiami pulau itu.

Disisi lain, sosok Syekh Subakir ternyata seorang pengusaha yang sukses ia bahhkan memiliki punya banyak kelebihan seperti ahli rukyah dan juga ahli ramalan. Kelebihan-kelebihan itulah yang dikaitkan-kaitkan oleh masyarakat dengan kekuatan Syekh Subakir yang mampu membuat banyak bangsa jin menjadi sungkan hingga menyingkir ke daerah lain, seperti Alas Rohan, Gunung Merapi hingga Laut Selatan.

Masyarakat banyak yang percaya bahwa dahulu tanah Jawa adalah hamparan hutan yang lebat dan luas, konon banyak makhluk halus atau jin yang mendiami hutan-hutan tersebut. Semenjak kedatangan Syekh Subakir, jin-jin itu pergi dan hilang begitu saja. Hal itu menjadi salah satu alasan masyarakat menyebut Syekh Subakir yang telah mensucikan tanah Jawa.

Beberapa sejarawan percaya bahwa Syekh Subakir untuk pertama kalinya datang ke Nusantara dengan singgah ke Tanjung Awar-Awar, Desa Tasikharjo, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban dengan menggunakan kapal-kapal besar. Sebenarnya, kedatangan Syekh Subakir ke tanah Jawa konon untuk menggantikan para utusan dari Turki yang gagal mensyiarkan Islam karena keangkeran pulau Jawa.

Dengan kesolehannya, Syekh Subakir akhirnya mampu mengislamkan sebagian besar masyarakat Jawa dengan berbagai pendekatan yang humanis. Terlebih, kala itu masyarakat Jawa begitu sangat fanatik dengan keyakinan leluhur seperti animisme, dinamisme serta keyakinan Hindu dan Budha. Memang bukan perkara yang mudah, tapi nyatanya Syekh Subakir berhasil menjalankan misinya dalam menancapkan Islam di Jawa.

Menurut beberapa cerita yang berkembang di masyarakat pun, kecerdasan dan kemampuan Syekh Subakir dipercaya sebagai pengantar kesuksesan para Wali Songo serta tokoh agama selanjutnya dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dan sekitarnya, bak menjadi pembuka jalan bagi para penyiar Islam untuk meneruskan tongkat estafet Islamisasi di Nusantara.

Syekh-Subakir
Lukisan Syekh Subakir /Foto: boombastis.com

Ratusan Utusan Khilafah Berpulang

Banyak literatur sejarah yang semakin menyakinkan bahwa Syekh Subakir adalah penyebar Islam pertama di tanah Jawa sebelum kedatangan Wali Songo. Namun, tidak diketahui secara pasti bagaimana penampilan Syekh Subakir saat pertama kali menginjakkan kaki di Jawa. Beberapa orang berpendapat bahwa Syekh Subakir memakai baju gamis lengkap dengan di kepala namun ada juga yang mengatakan bahwa ia meniru cara berpakaian orang Jawa.

Meskipun, tidak diketahui pasti, hanya cerita turun temurun atau cerita tuturlah yang selama ini menjadi pegangan masyarakat bahwa Syekh Subakir merupakan tokoh ulama pertama yang telah singgah ke Jawa jauh sebelum kedatangan Wali Songo. Uniknya, sebelum melakukan syiar Islam, Syekh Subakir bak meminta izin atau “kulo nuwun” terlebih dahulu kepada penguasa tanah Jawa.

Jika ditelisik lebih dalam lagi, bisa ditemukan salah satu fakta yang menyebutkan ternyata Syekh Subakir bukanlah utusan pertama dari Khalifah Baghdad. Dimana, jauh sebelum kehadiran Syekh Subakir, ternyata Khalifah sudah pernah mengirimkan beberapa utusan untuk menyebarkan agama Islam di Jawa, namun nyatanya gagal.

Saat utusan-utusan Khalifah mulai tiba di Jawa sudah banyak penolakan yang terjadi. Para utusan ini bahkan dianggap pengganggu dan pengacau kesakralan Jawa yang harus segera diusir. Kedatangan para utusan yang dianggap tidak sesuai dengan kultur orang Jawa ini membuat banyak masyarakat merasa terusik, mereka bahkan merasa terganggu dengan kedatangan orang-orang utusan dari Baghdad tersebut.

Karena kehidupan mereka seperti tengah diusik oleh orang asing, tak menunggu lama para penduduk Jawa sekaligus penunggu seperti roh-roh tanah Jawa lantas memangsa bahkan menghabisi para utusan. Tak tanggung-tanggung, orang-orang yang kental akan kepercayaan kepada leluhur dan makhluk ghaib tiba-tiba seperti gelap mata. Para utusan ini sebagian lari kocar-kacir pergi menyelamatkan diri.

Sementara, jika dillihat dalam Babad Walisana atau biasa disebut dengan Babad para Wali yang disandarkan pada sebuah karya milik Sunan Giri II, dimana R. Tanoyo pernah menjelaskan bahwa usaha Islamisasi pernah dilakukan oleh Sultan al-Gabah dari negeri Rum atau Turki Usmani. Kala itu, Sultan berusaha dengan mengirimkan sebanyak 20 ribu keluarga Muslim ke pulau Jawa.

Karena pada saat itu pulau Jawa masih dipenuhi dengan hutan yang lebat dengan para lelembut didalamnya membuat utusan-utusan Sultan banyak yang tewas terbunuh. Hingga akhirnya, dari 20 ribu keluarga Muslim yang di kirim Sultan ke Jawa hanya tersisa 200 keluarga yang dinyatakan selamat. Tak pelak, hal itupun membuat Sultan al-Gabah geram.

Lantas, Sultan segera mengirim ulama, syuhada bahkan beberapa orang sakti untuk membinasakan para penunggu, jin, hingga siluman yang mendiami tanah Jawa. Diantara ulama sakti itulah, Syekh Subakir hadir untuk ikut menetralkan kondisi Jawa yang kala itu masih kental akan sosok-sosok ghaib, yang merasa terganggu apabila ada orang asing yang menginjakkan kaki di wilayah kuasanya.

Kedatangan Syekh Subakir ke Jawa bukan dengan tangan kosong, ia membawa sebuah batu hitam yang konon bisa membuat makhluk ghaib bergejolak dan pergi. Tak menunggu lama, sambil terus melakukan syiar Islam, Syekh Subakir menancapkan batu tersebut yang konon berada di tengah-tengah pulau Jawa, tepatnya di Gunung Tidar, Magelang Jawa Tengah. Bahkan, beberapa sumber ada yang menyebutkan bahwa batu hitam itu ternyata tertanam di seluruh penjuru Nusantara.

Konon, kekuatan ghaib yang muncul dari batu hitam tersebut bisa menimbulkan efek rasa tak nyaman bagi para makhluk ghaib itu sendiri. Perlahan namun pasti, para makhluk ghaib yang telah lama mendiami tanah Jawa akan mengamuk dan pergi. Namun, Syekh Subakir yang telah dikenal dengan kesolehannya itu dengan mudah meredam amukan mereka.

Bagi masyarakat Jawa sendiri, sosok Syekh Subakir merupakan tokoh ulama yang sengaja menancapkan batu hitam atau paku berisi Rajah Kalacakra di ujung puncak Gunung Tidar guna mengusir segala balak dan marabahaya baik dari manusia maupun gangguan dari makhluk halus. Sementara, juga terdapat Tugu Puseran Bumi yang di percaya terletak di titik tengah Pulau Jawa, berada di tengah tanah lapang yang terhampar luar diatas Gunung Tidar.

syekh-subakir
Makam Syekh Subakir, Magersari, Kec. Magelang Sel., Kota Magelang, Jawa Tengah /Foto: Googlemap-Nararya Rida

Perjanjian dengan Sabdo Palon

Keberadaan Syekh Subakir yang menancapkan batu hitam di puncak Gunung Tidar nampaknya tidak hanya mengusik makhluk ghaib hingga mereka merasa kepanasan, tetapi juga mengusik Ki Semar Badrayana alias Sabdo Palon, sosok Sang Danyang Tanah Jawa yang konon sudah 9.000 tahun bersemayam di puncak Gunung Tidar.

Karena batu yang di tancapkan oleh Syekh Subakir membawa hawa panas di area gunung, maka keluarlah Sabdo Palon dari tempat persembunyiannya, tak menunggu lama Sabdo Palon lekas berhadapan dengan Syekh Subakir dan menanyakan tentang maksud serta tujuan Syekh Subakir menancapkan batu itu. Dialog antara mereka berdua pun terjadi, namun tak selang berapa lama terjadi perdebatan hingga adu kesaktian.

Selama adu kesaktian berlangsung, Sabdo Palon mengakui bahwa Syekh Subakir ternyata bukan orang biasa. Ia begitu kuat dan tak terkalahkan. Akhirnya, Sabdo Palon menawarkan sebuah perundingan kepada Syekh Subakir. Dimana, Sabdo Palon mengizinkan Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di Jawa dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi.

Namun, jika syarat-syarat itu tidak bisa dipenuhi oleh Syekh Subakir maka Sabdo Palon akan mengancam membuat kekacauan atau tidak goro-goro di masa mendatang. Mendengar hal tersebut, Syekh Subakir langsung menyanggupi syarat-syarat yang diajukan oleh Sabdo Palon. Beberapa literatur sejarah menyebutkan ada 4 poin perjanjian yang dilakukan antar keduanya.

Perjanjian poin yang pertama yakni jangan ada pemaksaan agama atau kepercayaan, jika hendak membuat atau mendirikan bangunan tempat pemujaan atau ibadah maka harus dibuat dengan gaya arsitektur Hindu-Jawa meskipun nantinya diisi oleh kaum Muslim, Jika mendirikan Kerajaan Islam, maka ratunya harus memiliki campuran Hindu dan Islam serta poin terakhir jangan menjadikan orang Jawa seperti orang Arab, orang Jawa harus tetap berkepribadian bak orang Jawa.

Disisi lain, empat poin tersebut merupakan perjanjian antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon yang kisahnya di wariskan cara turun temurun melalui tutur cerita dari generasi ke generasi. Hingga sekarang kisah tersebut sangat populer di tengah-tengah masyarakat Jawa.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI