Sejarah Hari Santri Nasional

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Salah Satu Banner Memperingati Hari Santri 2021 dengan Tema "Santri Siaga Jiwa Raga" /Foto: kabartrenggalek.com

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menetapkan setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional sejak tahun 2015 silam. Penetapan ini tentunya memiliki latar belakang, alasan, pertimbangan, dan dasar yang jelas. Kaum santri memang sangat berperan dalam setiap fase perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bahkan hingga kini dan nanti.

Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional merujuk peristiwa bersejarah yang terjadi pada 22 Oktober 1945. Pada tanggal inilah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Islam terbesar di tanah air yakni Nahdlatul Ulama (NU), menyerukan fatwa mengenai Resolusi Jihad untuk mengadang ambisi Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.

Bangsa Indonesia sejatinya telah menyatakan kemerdekaan dengan proklamasi yang dibacakan Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945. Hanya berselang beberapa pekan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI itu, pasukan Sekutu memasuki wilayah Indonesia untuk melucuti senjata para prajurit Jepang yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II.

Kedatangan Sekutu ternyata diboncengi oleh Belanda yang saat itu memakai kedok bernama  Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA). Belanda ingin menguasai kembali wilayah Indonesia yang sebelumnya telah mereka jajah selama lebih dari tiga abad sebelum jatuh ke tangan Jepang sejak tahun 1942.

Ambisi Belanda dengan dukungan dari Sekutu itulah yang membuat Kiai Haji Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.

Resolusi Jihad Mempertahankan Kemerdekaan RI

Dalam buku Fatwa & Resolusi Jihad (2017) tulisan Agus Sunyoto diungkapkan bahwa apa yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari, bermula pada tanggal 14 Oktober 1945. Saat itu Sukarno yang menghadapi kabar akan ditangkap Sekutu bersama Hatta, telah mengutus seseorang untuk datang ke Pesantren Tebuireng. Bung Karno ingin mendapatkan fatwa tentang bagaimana hukum umat Islam membela tanah air dari serangan musuh.

Masih dalam buku Fatwa & Resolusi Jihad (2017) dikisahkan, di tengah kesiapan warga Surabaya menyambut pendaratan pasukan Sekutu,  tanggal 21 Oktober Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengundang konsul NU se Jawa dan Madura. Para Kiai pun berkumpul di Kantor PBNU di Jalan Bubutan V/2 Surabaya, Jawa Timur.

Dalam forum itu KH Hasyim Asyari kemudian mengulas tentang pokok kaidah kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan kemerdekaan. Pidato KH Hasyim Asyari disampaikan dalam bahasa Arab.

Baca juga: Siraman Gong Kiai Pradah, Cara Orang Blitar Rayakan Maulid Nabi 

Pidato Kiai Hasyim Asyari berisi tentang kewajiban umat Islam dalam 3 hal. Pertama, hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekan adalah fardhu ‘ain bagi tiap orang muslim, meskipun orang fakir; Kedua, hukum orang meninggal dalam perang melawan NICA dan komplotannya adalah masti syahid; Ketiga, hukum untuk orang memecah persatuan wajib dibunuh. Petikan fatwa yang disampaikan oleh KH Hasyim Asyari itu adalah:

“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja…”

Pokok kaidah kewajiban umat Islam itulah yang menjadi amanat Rais Akbar PBNU KH Hasyim Asyari yang disampaikan pada pagi hari di tanggal 22 Oktober 1945. Waktu itu pleno akbar dipimpin oleh KH Wahab Chasbullah.

Fatwa Jihad Fii Sabilillah itu kemudian langsung diserukan kepada umat Islam. PBNU juga menyampaikan hasil rapat itu kepada pemerintah Indoenesia. Seketika fatwa itu mengguncang Surabaya, fatwa disebar dengan cara disampaikan dari masjid satu ke masjid yang lain, dari satu mushola satu ke mushola lainnya, bahkan kabar itu menyebar di pasar-pasar.

Resolusi Jihad ternyata ampuh memantik semangat kaum santri untuk turut berjuang mengusir bangsa-bangsa asing dari tanah air demi tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia. Peran kaum santri ini terlihat dalam peristiwa heroik yang dikenal sebagai Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Perjuangan kaum santri mengusir penjajah pada tanggal 10 November 1945 yang  mengilhami pemerintah untuk menetapkan sebagai sebagai Hari Pahlawan.

Usai Pertempuran 10 November 1945, para tokoh dan ulama Nahdlatul Ulama terus menyuarakan Resolusi Jihad di berbagai kesempatan. Salah satunya seperti yang dilantangkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari di depan peserta Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah, tanggal 26-29 Maret 1946.

“Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan!” tandas KH. Hasyim Asy’ari saat itu, dinukil dari buku Jihad Membela Nusantara: Nahdlatul Ulama Menghadapi Islam Radikal dan Neo-Liberalisme (2007).

Andil kaum santri yang berasal dari pola pendidikan Islam ala Jawa atau Islam Nusantara teramat besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di rangkaian periode selanjutnya, kalangan santri selalu mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari zaman ke zaman dan turut mengambil peran penting dalam upaya memajukan negara.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI