Riwayat Wayang Kulit dalam Sejarah Syiar Islam di Jawa

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Pertunjukan wayang kulit (1900-1940) di nDalem Sompilan 12, Ngasem, Yogyakarta. Peringatan 15 tahun naik tahta Hamengku Buwono VIII /Foto: luk.staff.ugm.ac.id

Sejarah syiar dan penyebaran agama Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari gebrakan Wali Songo serta para ulama awal dengan berbagai macam media dakwahnya. Salah satu “senjata” paling ampuh dalam memasyarakatkan ajaran Islam di Jawa pada masa-masa awal (abad ke-15 Masehi) adalah wayang kulit.

Dikutip dari buku Sejarah Wali Songo (2019) karya Zulham Farobi, para Wali menyebarkan agama Islam di Jawa melalui pendekatan budaya. Metode ini dilakukan termasuk dengan cara menyerap seni dan budaya lokal, seperti wayang, tembang, gamelan, bahkan upacara adat, yang dipadukan dengan ajaran Islam.

Prinsip dakwah yang diterapkan para Wali adalah merangkul, bukan memukul. Kebiasaan atau tradisi masyarakat yang sudah ada sebelumnya tidak lantas dilarang atau dilawan. Sebaliknya, para Wali dengan luwes memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam berbagai adat lama itu sehingga akan lebih mudah diterima dan menimbulkan efek yang luar biasa.

Sejarah Wayang di Jawa Masa Pra-Islam

Ada yang berpendapat bahwa wayang berasal dari India, seperti halnya Hindu-Buddha yang kemudian hadir di Nusantara dan sempat menjadi agama mayoritas di Jawa. Namun, pendapat ini diragukan karena orang India tidak punya tradisi tentang pertunjukan wayang seperti yang kemudian dikenal di Nusantara.

Lakon dan karakter tokoh dalam pementasan wayang memang diambil dari kisah Mahabharata atau Ramayana, dua epos legendaris dari India kuno. Di Nusantara atau Jawa khususnya, pada perkembangannya dimunculkan sejumlah tokoh atau karakter di luar cerita pakem dua epos tersebut, Punakawan misalnya.

Yang lebih dapat diterima barangkali adalah bahwa wayang merupakan tradisi Hindu yang sudah berasimilasi di Jawa, bukan produk kebudayaan India. Selain itu, banyak ilmuwan atau sejarawan yang meyakini bahwa wayang merupakan budaya asli Nusantara.

Dikutip dari buku Pokok-Pokok Antropologi Budaya (2017) suntingan Tapi Omas Ihromi, secara historis, wayang berfungsi untuk melukiskan cerita yang diangkat dari literatur Hindu.

Sedangkan Sumarsam dalam Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018) mengungkapkan, figur manusia laiknya karakter wayang sudah tergambar pada relief dinding candi Jawa kuno, seperti di Borobudur (abad ke-9 M) atau Prambanan (abad ke-10).

Namun, ada yang meyakini pula bahwa wayang merupakan produk asli kearifan lokal yang sudah ada jauh sebelum agama Hindu-Buddha masuk ke Nusantara. Konsep dan tema cerita wayang dalam hal ini tentunya dengan wayang era Hindu yang menukil kisah serta tokoh dari Mahabharata atau Ramayana.

Menurut beberapa sumber, seperti tertulis dalam Kebudayaan, Ideologi, Revitalisasi dan Digitalisasi Seni Pertunjukan Jawa dalam Gawai (2020) yang disusun oleh Ekawati Marhaenny Dukut, wayang dalam bentuk yang sangat sederhana bahkan sudah dikenal sejak zaman prasejarah di Nusantara.

Sejarawan asal Belanda, Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905), bahkan memasukkan wayang dalam unsur-unsur kebudayaan asli atau local genius Nusantara sebelum masuknya pengaruh budaya India alias Hindu-Buddha.

Oleh para penyebar dan pemuka agama Hindu di Nusantara, wayang kemudian disisipi dengan cerita-cerita dari tradisi mereka, seperti kisah Mahabharata dan Ramayana dari India. Strategi seperti ini pula yang nantinya diterapkan oleh Wali Songo dalam upaya menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.

Jika bisa disimpulkan, wayang merupakan produk budaya asli Nusantara yang kemudian dijadikan media dakwah dan penyebaran agama, sejak masa Hindu-Buddha dan berlanjut pada era Islam, khususnya di tanah Jawa.

Strategi Dakwah Wali Songo Lewat Wayang

Wali Songo amat paham bahwa wayang merupakan bagian dari tradisi Hindu yang telah sekian lama mengakar dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Di sisi lain, para Wali juga berpikir rasional, bahwa nyaris mustahil mencabut paksa wayang dan kebiasaan lainnya dari kehidupan masyarakat begitu saja, terlebih dalam upaya mengenalkan Islam.

Justru dengan wayang itulah misi syiar Islam dapat dilakukan dengan relatif mudah dan efektif karena pertunjukan wayang amat digemari oleh rakyat kebanyakan. Selain itu, wayang juga bisa menjadi alat komunikasi sekaligus sarana edukasi dengan masyarakat.

R.M. Ismunandar dalam Wayang: Asal -Usul dan Jenisnya (1994) mengungkapkan, para Wali menggelar forum khusus untuk membahas persoalan wayang ini. Rapat tersebut menghasilkan keputusan dan kebijakan baru, yaitu membesut, mengubah, dan menyempurnakan wayang dengan memasukkan unsur-unsur Islam.

Maka, dirumuskanlah pakem baru dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam lakon, karakter, serta pertunjukan wayang. Para Wali kemudian memakai wayang kulit sebagai peraga dakwah dengan lakon atau cerita yang sudah disisipi ajaran Islam, begitu pula dengan tembang-tembang yang dimainkan serta gamelan pengiringnya.

Karakter Pandawa Lima, misalnya, pun dipersonifikasikan secara Islami, yakni sebagai simbol Rukun Islam yang juga berjumlah lima. Pandawa yang terdiri dari Yudhistira, Bima, Arjuna, serta Nakula dan Sadewa merupakan karakter utama Mahabharata yang kerap dijadikan lakon dalam pertunjukan wayang.

Yudhistira alias Puntadewa menjadi perlambang Rukun Islam pertama: syahadat. Yudhistira memiliki pusaka sakti bernama Jamus Kalimasada. Nah., “kalimasada” kemudian dimaknai sebagai “kalimat syahadat”.

Pandawa kedua, yakni Bima atau Werkudara yang berbadan kokoh, tinggi, besar, dijadikan sebagai simbol Rukun Islam kedua yakni salat. Salat adalah tiang agama seperti halnya Bima yang kekar dan menjadi penopang bagi keluarganya.

Zakat sebagai Rukun Islam ketiga dipersonifikasikan dengan Pandawa ketiga yakni Arjuna atau Janaka. Arjuna digambarkan sosok yang welas asih serta suka menolong orang yang membutuhkan. Zakat dalam Islam adalah perwujudan apa yang dilakukan oleh Arjuna itu.

Pandawa keempat dan kelima, yaitu Nakula dan Sadewa, dilambangkan puasa zakat dan haji. Dalam pementasan wayang, Nakula-Sadewa muncul pada saat-saat tertentu saja, seperti halnya puasa Ramadan atau puasa sunah lainnya dan menunaikan haji ke tanah suci bila mampu sebagai penyempurna Rukun Islam.

Sebenarnya masih banyak detail strategi yang diterapkan Wali Songo untuk menjadikan wayang sebagai media dakwah yang efektif sekaligus menyenangkan. Bukan hanya wayang kulit, para Wali bahkan menciptakan jenis wayang sendiri yang memang khusus digunakan sebagai sarana syiar Islam.

Para Wali pun sering berperan menjadi dalang dalam pertunjukan wayang, terutama Sunan Kalijaga, untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat lewat seni. Selain itu, perangkat gamelan maupun berbagai tembang pengiringnya yang diciptakan atau digubah oleh para Wali juga disisipkan ajaran Islam.

Berkat taktik jitu melalui pendekatan budaya, termasuk dengan memodifikasi wayang, gamelan, tembang, dan lainnya, proses Islamisasi di Jawa berjalan relatif lancar dan efektif. Hasilnya pun luar biasa karena semakin banyak orang yang kemudian memeluk agama Islam dengan senang hati.

“Sunan (Kalijaga) betul-betul menghargai budaya. Rukun Islam dan Iman diperkenalkan dengan menggunakan budaya Jawa. Wayang kulit digunakan sebagai sarana untuk berdakwah. Seni musik (gamelan) dan seni tari semakin hidup,” tulis Achmad Chodjim dalam Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (2013).

“Dengan menghormati budaya itulah Sunan Kalijaga berhasil mengajak orang Jawa untuk memeluk Islam. Tak perlu ada pemaksaan dalam mengajak orang untuk pindah agama. Cukuplah budaya itu sendiri yang bicara. Itulah kearifan Sunan Kalijaga,” tambahnya.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI