Ritual Dekahan Akulturasi Dua Budaya yang Masih Dilestarikan
- Maret 9, 2022
- 6:38 pm

Masyarakat Jawa pada umumnya memang tidak akan bisa lepas dari budaya dan tradisi leluhur yang sudah mendarah daging di tubuh. Terlepas dari apa keyakinan yang dianut, Islam, Hindu ataupun Budha, keyakinan masyarakat akan keberadaan leluhur sudah diakui. Hal itu merujuk pada keyakinan animisme dan dinamisme yang sudah dianut masyarakat jauh sebelum agama mulai masuk ke pulau Jawa.
Karena kuatnya keyakinan masyarakat dengan adanya leluhur atau penjaga bumi, membuat keyakinan atau agama baru yang hendak masuk tak bisa leluasa disebarluaskan. Bagi masyarakat Jawa, keyakinan yang mereka anut adalah keyakinan yang benar. Saat mereka memberikan sesaji atau penghormatan kepada leluhur tak lain merupakan hubungan timbal balik, dimana leluhur juga telah menjaga mereka dari marabahaya.
Bagi agama baru seperti Hindu dan Islam yang tiba-tiba hadir dan masuk dalam kehidupan masyarakat Jawa, tentunya butuh waktu dan proses yang sangat panjang hingga sebuah agama baru ini bisa diterima oleh masyarakat. Dengan ketentuan, masyarakat bisa sukarela dan menyambut keyakinan baru tanpa ada paksaan dan kekerasan.

Sebagai contoh, para ulama melakukan syiar Islam dengan cara melakukan akulturasi pada budaya atau tradisi yang sudah melekat pada masyarakat yang dimasuki unsur-unsur Islam. Dengan begitu, masyarakat tidak akan kaget dan merasa dipaksa menerima agama baru. Dengan proses dan menjunjung toleransi yang tinggi, akhirnya agama Islam bisa diterima tanpa banyak merubah kepercayaan yang di anut oleh masyarakat Jawa sebelumnya.
Hasil dari akulturasi budaya dan agama itupun terjadi hingga melahirkan tradisi baru yang bisa dinikmati hingga sekarang. Bahkan, beberapa tradisi sengaja dilestarikan dengan cara menggelar upacara adat secara rutin pada tanggal atau bulan-bulan tertentu. Selain merupakan bentuk warisan sejarah, upacara adat juga dilakukan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT.
Menurut Muhammad Solikin dalam bukunya yang berjudul “Ritual & Tradisi Islam Jawa” (2010), sebagian dari adanya upakara atau sesaji-sesaji yang kini diaktualisasi oleh masyarakat Jawa mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa dan Islam-Jawa yang menyatu dalam wacana aktual mistik.
Ritual Dekahan
Bagi masyarakat Jawa, istilah ritual Dekahan tentunya sudah tak asing lagi. Ritual Dekahan sendiri merupakan wujud kebudayaan yang hingga kini dilestarikan secara turun temurun. Secara prosesi, sebenarnya ritual Dekahan tidak berbeda jauh dengan ritual-ritual Jawa lainnya seperti Suranan, Muludan dan Syawalan.
Menurut artikel yang ditulis oleh Irma Wandira dengan judul “Tradisi Dekahan yang Masih Melekat di Masyarakat Srihardono” (2021), esensi ritual Dekahan adalah memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Dimana, ritual ni merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang yang patut dilestarikan.
Secara istilah, Dekahan berasal dari kata sedekah atau shadoqah yang dihilangkan awalan “se” dan mendapat akhiran “an” sehingga menjadi kata Dekahan yang memiliki arti memberikan sebagian harta yang dimiliki. Jika dilihat, ada beberapa nilai agama yang juga ikut terkandung dalam istilah Dekahan ini seperti meyakini bahwa segala sesuatu yang telah didapatkan merupakan berkat dari Allah SWT.
Ritual Dekahan ini secara umum sudah menjadi kegiatan rutin bagi masyarakat Jawa. bagi masyarakat Jawa, ritual ini merupakan salah satu jalan serta digunakan sebagai simbol penghormatan terhadap bumi yang telah memberikan sumber kehidupan kepada manusia.
Menurut cerita yang beredar, nenek moyang dulu menganggap bahwa tanah merupakan pahlawan yang mempunyai jasa besar bagi keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Karena jasa yang besar itulah, wajib bagi manusia untuk menggelar ritual Dekahan sebagai bentuk ungkapan terimakasih dan penghargaan kepada tanah atau bumi.
Dengan ritual Dekahan tersebut bisa menjadi simbol paling dominan bagi para petani untuk menunjukkan rasa kasih sayang mereka kepada bumi. Sehingga, tanah yang mereka pijak tidak akan marah atau bahkan memberikan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Diharapkan, ritual Dekahan ini bisa menjadikan masyarakat hidup berdampingan damai dengan tanah.
Meskipun ritual Dekahan identik ini dengan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat agraris ya memenuhi kebutuhannya dengan bercocok tanam, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ritual ini juga digelar oleh masyarakat nelayan. Tentunya dengan tujuan yang sama, yakni wujud syukur kepada Allah SWT.
Oleh masyarakat Jawa, moment ritual Dekahan ini sebagai tempat untuk berkumpul dan saling bertukar pikiran satu dengan yang lainnya. Warga desa yang erta dengan sikap gotong royong dan saling membantu bisa menambah solidaritas antar warga sehingga dapat membentuk sebuah keharmonisan.
Secara umum, tujuan dari digelarnya ritual Dekahan ini adalah memohon keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat. Bagi masyarakat Jawa, ritual Dekahan ini dilakukan untuk “menyelameti” atau “menyedekahi” sawah atau ladang yang dimiliki. Karena pada dasarnya, semua rezeki yang bersumber dari Allah SWT. Selain itu, ritual Dekahan juga dipercaya bisa mendatangkan kebaikan bagi tanah yang telah “diselameti”.
Melestarikan ritual Dekahan ini ada bukan tanpa tujuan, pasalnya kegiatan ini digelar untuk mengingatkan manusia agar senantiasa mengingat dan tak lupa dengan asal usulnya. Karena tak menutup kemungkinan ketika manusia semakin jauh melangkahkan kaki dari asalnya, maka ia akan semakin rentan untuk melupakan tradisi dan budaya yang dibentuk oleh leluhurnya.
Prosesi Ritual Dekahan
Dalam penentuan hari ritual Dekahan, biasanya masyarakat mencari kesepakatan hari yang rata-rata jatuh pada hari saat setelah panen selesai. Saat ritual atau tradisi itu berlangsung, masyarakat akan merayakannya dengan cara membuat tumpeng dan berkumpul bersama di suatu tempat yang telah ditentukan oleh sesepuh kampung, biasanya tempat yang dipilih yakni di balai desa.
Biasanya, ritual Dekahan ini dimulai dengan pertanda bunyi-bunyian dari kentongan. Dimana, kentongan tersebut akan ditabuh dengan kode dara muluk atau berkepanjangan. Saat kentongan sudah mengeluarkan suara, masyarakat akan berhamburan keluar dari rumah dengan makanan dan minuman.
Setelah itu, masyarakat akan membawa tumpeng tersebut ke balai desa dan akan didoakan oleh sesepuh desa atau orang yang dituakan. Setelah di doakan, tumpeng tersebut akan di santap bersama-sama oleh masyarakat yang hadir. Namun juga ada masyarakat yang sengaja membawa pulang sedikit potongan tumpeng itu untuk dibawa pulang dan dikonsumsi bersama keluarga.
Diketahui, makanan yang menjadi makanan pokok dalam tumpeng tidak terlepas dari nasi tumpeng dan ayam panggang. Sedangkan yang lain hanya sebagai tambahan seperti halnya minuman, buah-buahan dan lauk-pauk, serta tidak menjadi prioritas utama.
Jika dilihat dari segi etimologi, ritual Dekahan ini merupakan tradisi yang tidak berbeda jauh dengan Kenduri. Dimana, ritual ini identik dengan sarana ritual yang biasanya berwujud makanan besekan seperti ketan, kolak dan kue apem. Selain itu, ketiga adonan jenis makanan tersebut dimasukkan kedalam wadah yang biasanya disebut dengan takir.
Selain tumpeng dan ayam sebagai makanan utama, sebagai pelengkap sarana ritual Dekahan juga turut disediakan pisang, bunga ritual Dekahan yang digelar di beberapa tempat masih menggunakan kemenyan. Masyarakat percaya, bahwa bawaan yang disajikan merupakan landasan untuk memanjatkan doa.
Selain untuk di konsumsi sendiri, makanan yang telah didoakan oleh sesepuh juga akan dibagi-bagikan ke beberapa tetangga dekat sebagai ungkapan solidaritas dan kekeluargaan terhadap sesama. Tidak hanya kepada tetangga, makanan itu juga di ater-ater atau dibagikan kepada sanak saudara agar sama-sama mendapat keberkahannya.
Selain itu, ada prosesi ziarah makam yang biasanya dilakukan di makam leluhur atau tokoh besar yang telah banyak berjasa bagi penyebaran Islam pada masa lalu. biasanya, masyarakat di suatu daerah memiliki satu daerah lokasi ziarah masing-masing. Tidak hanya ziarah makam, ada prosesi bersih makam yang juga dilakukan secara bergotong-royong bersama warga desa.
Pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an dan tahlil tak lupa dipanjatkan sebagai wujud permohonan agar kegiatan yang digelar mendapat ridho dan perlindungan dari Allah SWT. Do’a-do’a yang dilangitkan pun juga ditujukan kepada leluhur yang telah “mbabat alas” hingga suatu desa itu bisa terbentuk, dengan suasana yang harmonis dan selalu dilingkupi kemakmuran.
Meskipun begitu, tak menutup kemungkinan bahwa masih ada beberapa daerah yang menggunakan kemenyan, kembang limo rupo, dan beras kuning sebagai media sesajen. Hal tersebut digunakan untuk penghantar doa kepada roh nenek moyang yang dipercaya hadir dan berkenan menerima sesaji yang telah disediakan.
Puncak ritual Dekahan ini biasanya ditutup dengan doa bersama yang tentunya juga dipimpin oleh sesepuh desa. Namun, jika ditelisik lebih dalam terdapat keunikan dalam doa yang dilantukan dalam ritual Dekahan ini. Pasalnya, dalam lantunan doa tersebut ada kolaborasai antara lantunan kalimat-kalimat Jawa yang dipadukan dengan doa-doa bernuansa Islami.
Baca juga
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan