Reog Bulkiyo dan Kisah Pasukan Elit Pangeran Diponegoro yang Tersisa

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Reog Bulkiyo
Kabupaten Blitar membawakan tari Reog Bulkiyo khas Kabupaten Blitar pada Festival Karya tari tahun 2019 /Foto: disparbudpora.blitarkab.go.id

Gerakan penari Reog Bulkiyo yang selalu tampil dengan wajah tanpa ekspresi itu, tidak banyak. Pada setiap tepukan kendang, kepala penari Reog Bulkiyo yang berjumlah enam orang, menggeliat perlahan.

Kepala itu menoleh pendek-pendek, kanan- kiri mengikuti irama gamelan. Pada tiap goyangan kepala, mata para penari menyorot tajam. Pupil mata itu tiba-tiba bergerak menyudut ke atas. Menyiratkan antara lirikan mata dan naluri kewaspadaan.

Ragam gerak yang terdapat di dalam pertunjukan Reog Bulkiyo berbeda dengan gerak yang terdapat pada pertunjukan reog pada umumnya di daerah lain,“ tulis Novia Listiana dalam penelitiannya pada tahun 2012.

Reog Bulkiyo merupakan seni tradisional masyarakat Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Kemloko yang berlokasi tidak jauh dari Gunung Kelud, terkenal sebagai desa penghasil ikan hias koi.

Kemloko bersebelahan dekat dengan Candi Penataran yang merupakan candi terbesar di Propinsi Jawa Timur. Tepat di sebelah utara Kemloko terdapar petilasan Syekh Subakir yang diyakini sebagai penyebar Islam mula-mula di tanah Jawa.

Seni Reog Bulkiyo cukup sering berpentas di acara perayaan hari besar, terutama peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus dan tahun baru Islam. Pada tahun 2019 Kementrian Republik Indonesia resmi menetapkan Reog Bulkiyo Kabupaten Blitar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Novi membandingkan Reog Bulkiyo dengan Reog Kendang asal Tulungagung dan Reog Ponorogo. Terutama Reog Ponorogo yang kemasyhurannya tembus mancanegara. Ragam gerak Reog Bulkiyo, katanya terlihat lebih sederhana.

“Gerakannya (reog bulkiyo) relatif sederhana dan terdiri dari gerakan-gerakan seperti tangan, tolehan kepala, serta perpindahan langkah kaki,” tambahnya.

Reog Bulkiyo memiliki ciri tersendiri. Ragam gerak tangan, kaki dan tolehan kepala penari Reog Bulkiyo mempunyai sejumlah nama gerakan sendiri. Lincak gagak, rubuh-rubuh gedhang, untir-untir dan perang.

Setiap nama gerakan mengandung maknanya sendiri-sendiri. Misalnya gerak “rubuh-rubuh gedhang”. Rubuh sama dengan roboh, rebah, ambruk, atau tumbang. Gedhang adalah pisang.

Gerakan rubuh-rubuh gedhang merupakan gerak para penari yang merujuk pada batang pisang yang ketika roboh bersifat bersama-sama. Gerakan “rubuh gedhang” memiliki tafsir setiap manusia ibarat pohon pisang. Pada saatnya semua akan mati dan muncul tunas atau generasi baru yang menggantikan.

Dalam siklus ini semua tunduk pada ketetapan hukum yang maha kuasa. Dalam Reog Bulkiyo, penari juga memperlihatkan gerakan hormat, aba-aba dan iring-iringan prajurit militer. Gerak hormat melambangkan kemantapan diri dan kesiapan mental. Aba-aba prajurit mengandung arti kesiapan fisik, dan iring-iring berarti setiap kesiapan prajurit mengikuti pimpinannya.

Gerakan lincak gagak bermakna kelincahan sekaligus kegagahan seorang prajurit. Kemudian langkah seoran berarti uji coba terhadap ketajaman sekaligus kesaktian berang. Berang adalah senjata tajam serupa parang.

Gerak nantang melambangkan kesombongan diri atas kelebihan yang dimiliki. Termasuk merendahkan orang lain. Untir-untir mengandung makna kewaspadaan agar senantiasa terlindung dari segala cobaan, dan gerak singget bermakna hanya memohon perlindungan kepada Allah SWT.

Sedangkan gerak ngasah gaman berarti kepintaran harus senantiasa diasah terus-menerus agar tidak tumpul, gerak solah bermakna pencarian jati diri dan gerak bacokan mengandung arti mengadu kekuatan dengan berangnya masing-masing.

Pertunjukan Reog Bulkiyo merupakan pertunjukan yang diadopsi dari tafsir ambiya yang menceritakan tentang peperangan kaum Islam dan kaum Kafir,” tulis Novia Listiana dalam “Makna Simbolik Ragam Gerak Pertunjukan Reog Bulkiyo Di Desa Kemloko Nglegok Kabupaten Blitar”.

Tafsir Ambiya yang dimaksud adalah tafsir surat Al- Anbiya’ ayat 4-6 yang mengulas tentang kejahatan kaum kafir.

Kemloko, Bulkiyo dan Pasukan Diponegoro

Para penari Reog Bulkiyo selalu berjumlah enam orang. Entah dimainkan laki-laki atau perempuan, para penari selalu mengenakan baju dengan kombinasi warna merah putih yang sama.

Selembar kain atau udeng juga selalu membebat kepala para penari. Kain udeng ini diberi nama gilik bawang sebungkul yang mengandung arti peperangan melawan hawa nafsu.

Seorang penari juga membawa rontek atau bendera atau panji-panji kebesaran. Dari sumber yang dihimpun, sejarah tari Reog Bulkiyo berkaitan erat dengan riwayat para pengikut Pangeran Diponegoro yang membabat (yang pertama-tama membuka desa) Desa Kemloko.

Peristiwa itu berlangsung paska Perang Jawa (1825-1830). Adalah Raden Nganten Wiro Sentono atau Mbah Onggo Wongso, pengikut Pangeran Diponegoro yang mula-mula membuka kawasan hutan yang banyak tumbuh pohon Mloko, yang kelak sebagai rujukan nama Desa Kemloko.

Dari cerita tutur yang berkembang, Mbah Onggo Wongso merupakan dzuriyah (keturunan) Sultan Mataram. Mbah Onggo adalah putra Raden Joyo Mustopo. Dalam urutan silsilahnya, Raden Joyo Mustopo, Raden Tumenggung Nilo Srobo II, Raden Nganten Cokro Yudo, Raden Nganten Rogo Noyo, dan Raden Nganten Darmo Menggolo atau Patih Nilo Srobo I.

Patih Nilo Srobo I merupakan salah satu putra Prabu Amangkurat Agung, Raja Mataram. Mbah Onggo merupakan bagian dari pasukan elit Pangeran Diponegoro yang juga seorang ulama. Mbah Onggo Wongso datang dari Begelenan (sekarang Purworejo, Jawa Tengah). Ia tiba di Blitar bersama Mbah Ngalimo dan Mbah Kasan Rais yang juga sama-sama pasukan Diponegoro.

Paska kalah dalam perang Jawa, banyak laskar Diponegoro yang bergeser ke wilayah timur, khususnya Blitar, Kediri, Tulungagung dan sekitarnya. “Ia (Mbah Onggo Wongso) juga membawa bende dari kraton Mataram untuk memanggil prajurit perang Mataram,” demikian cerita tutur yang berkembang.

Mbah Onggo Wongso bukan tentara sembarangan. Di lingkaran pasukan perang Pangeran Diponegoro, ia merupakan bagian pasukan elit yang bernama Bulkiyo. Muhammad Yamin dalam “Diponegoro” menyebut pasukan Bulkiyo sebagai pasukan pelopor istimewa Pangeran Diponegoro.

Jumlah anggota pasukan Bulkiyo hanya 800 orang. “Diponegoro mempunyai pasukan sendiri bernama Barjumat dan dikelilingi oleh tentara pelopor istimewa (Bulkiyo) yang besarnya hanya 800 orang,” tulisnya.

Sejarawan asing Peter Carey dalam “Kuasa Ramalan, Pengeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855”, menyebut Pangeran Diponegoro mengadopsi sejumlah pangkat dan nama resimen kemiliteran Turki Usmani untuk keperluan organisasi militernya.

Diponegoro menata pasukan kawal elitnya dalam kompi-kompi dengan nama Bulkio, Turkio dan Arkio. “Nama resimen itu langsung meniru nama-nama Boluki (dari boluk, satu regu), Oturaki, dan resimen kawal para sultan Turki Usmani Janissar Ardia yang waktu itu baru saja menjalani beragam perubahan penting,” tulis Peter Carey.

Di Desa Kemloko yang diyakini berdiri tahun 1897, Mbah Onggo Wongso yang kemudian dikenal sebagai ulama, mengenalkan seni tari Reog Bulkiyo, yang sejatinya untuk mengenang pasukan elit Pangeran Diponegoro. Kesenian Reog Bulkiyo pada dasarnya seni gerak tarian perang.

Mbah Onggo meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Kemloko. Perjuangannya dilanjutkan Mbah Kasantawi putranya. Hingga kini di Desa Kemloko masih banyak terdapat rumah-rumah lawas dengan halaman berhias pohon sawo kecik dan burung perkutut sebagaimana ciri pengikut Pangeran Diponegoro.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI