Perjuangan Petani Jawa Melawan Penindasan Kaum Kolonial

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
petani-kolonial
Ilustrasi: Petugas kolonial pindah ke pedalaman Sumedang demi Preanger Stelsel -sebuah bentuk awal sistem Tanam Paksa, yang hanya berlaku di Pasundan. /Foto: Tropen museum - CC BY-SA 3.0

santrikertonyonoPerjalanan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kaya akan keanekaragaman hayati serta kekayaan alam memang tidak mudah. Indonesia yang dahulu hanyalah hamparan hutan lambat laun menjadi tanah surga yang subur dan selalu menghasilkan manfaat bagi masyarakat. Peradaban manusia dimulai ketika sawah dan ladang mulai terhampar dengan beraneka ragam tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Khususnya di tanah Jawa sendiri yang memang sudah terkenal dengan kesuburan tanahnya, hal itu menjadikan mayoritas penduduk Jawa memiliki mata pencaharian sebagai seorang petani yang mengolah sawah atau ladang. Dari mulai sayur-sayuran hingga umbi-umbian tumbuh subur, melimpah ruah dengan kualitas yang sangat bagus bahkan menjadi salah satu segmen penopang perekonomian negara.

Jika dilihat dari sudut pandang sejarah, belum diketahui secara pasti kapan pertama kali masyarakat Jawa melakukan pekerjaan bercocok tanam di sawah. Namun, banyak yang percaya bahwa Pulau Jawa adalah pulau pertama yang menerapkan sistem bekerja di sawah ini. Kurangnya bukti untuk mendukung pernyataan tersebut dituangkan oleh Denys Lombard dalam bukunya “Nusa Jawa Silang Budaya 3 : Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris” (2018).

Dalam bukunya tersebut, Denys mengatakan bahwa argumen masyarakat itu belum bisa dibuktikan akibat beberapa hal, seperti kurangnya monografi lokal, tidak adanya kesinambungan antara sumber satu dengan sumber yang lainnya serta terkait histografis Jawa yang belum dapat diterima secara pasti saat dokumen-dokumen dengan informasi terkait melimpah.

Pasalnya, perkembangan politik serta rentetan perang dalam negeri bisa diikuti dengan baik dari abad ke 16 hingga abad ke 18, namun lagi-lagi para sejarahwan hanya bisa menduga-duga dengan dasar yang kurang terkait evolusi perdesaan yang notabene itu adalah poin penting. Lalu, pada awal babad ke 19 tepatnya ketika muncul minat pada orang Eropa untuk mengeksploitasi Indonesia.

Lambat laun, sumber daya alam yang bersembunyi di bawah tanah Jawa mulai terkuak, bahkan lama kelamaan lahan garapan pertanian semakin luas. Namun sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan kualitas dan kuantitas sumber daya manusianya yang menggarap lahan tersebut. Belum lagi saat titik balik kondisi pertanian ketika Belanda datang dengan segala peraturannya.

Dalam konteks penjajahan ekonomi sumber daya alam, tentunya pengalaman dan pembelajaran bisa diambil ketika bagaimana para bangsawan serta orang-orang yang memiliki kewenangan menjalin hubungan dengan kekuasaan di zaman Cultuurstelsel pada era kedatangan Belanda dulu, tepatnya pada tahun 1720 hingga tahun 1870. Dimana saat itu Belanda tengah memberlakukan Undang-Undang Agraria yang memperbolehkan pihak swasta menggarap lahan milik Pemerintah Hindia-Belanda.

Belum lagi, kekalahan masyarakat Jawa pada Perang Diponegoro pada tahun 1825 hingga 1830. Tanah Jawa bak menyatu dengan masyarakat, di satu sisi terdapat ajang perpolitikan yang berimbas pada eksploitasi ekonomi pada sumber daya alam melalui sistem Tanam Paksa pada tahun 1830 hingga 1870 untuk mengganti biaya kerugian perang Belanda.

Sementara disisi yang lain, rentetan kejadian ini berpotensi akan menjadi lahan eksperimen politik kebudayaan yang terpecah belah karena adanya usaha menyingkirkan Islam sebagai identitas pemersatu pribumi, tak lain dengan cara menampik adanya identitas Islamnya masyarakat Jawa. Dengan begitu, dikhawatirkan akan ada pihak-pihak yang menginterupsi bahkan menggugat kekuasaan kolonial.

Tokoh Pemberontak Kaum Kolonial

Dikutip dari buku “Saya, Jawa, dan Islam” (2019) karya Irfan Hafifi, Ricklefs pernah menceritakan bahwa tepat setelah kekalahan Perang Diponegoro yang pada akhirnya hanya membuat masyarakat Jawa tunduk pada kuasa kolonial, polarisasi yang terjadi semakin terlihat jelas dan tegas. Dalam bukunya “Polarizing Javanese Society Islamic and Other Visions” (c. 1830-1930) (2007), Ricklefs mengatakan ada tiga poin penting.

Poin pertama yakni saat para priyayi dari mulai tingkat bupati hingga pejabat desa akhirnya hanya menjadi alat birokrasi yang ampuh, lagi-lagi untuk menerapkan eksploitasi pada sistem Tanam Paksa (coersed drudgery). Dimana, pada sistem ini para bangsawan pribumi akan mendapatkan keuntungan yang cukup ekonomis dari prosentase hasil tanam.

Lalu, adanya kenyataan bahwa kondisi mayoritas petani Jawa yang telah menjadi objek eksploitasi dalam penyelenggaraan sistem Tanam Paksa malah semakin mengantarkan mereka kepada jurang kemiskinan. Tidak ada lagi harmonis, mereka hidup dengan sangat terhimpit dan sengsara. Hasil padi yang seharusnya mereka nikmati malah menjadi pengenyang perut orang lain.

Selain itu, terdapat juga para pedagang yang mayoritas Islam dan telah menunaikan haji malah terlibat dalam sistem ekonomi politis. Mereka yang mayoritas tinggal di pesisir pantai dan relatif bisa terlepas dari sistem ini. Namun, konon ada peran yang layaknya dimainkan oleh saudagar dari Arab, Cina dan India. Meskipun saudagar dari India yang dikenal dengan istilah putihan ini hanya sedikit mengambil peran.

islam-nusantara
Para pemberontak petani Banten tertangkap (peristiwa ‘Geger Cilegon’ yang ditangkap VOC, tahun 1888) /Foto: kumparan.com

Maka dari itu, tidak mengherankan apabila banyak pemberontak yang muncul ke permukaan. Sekitar tahun 1879 hingga 1880-an, para kiai bahu membahu dengan tokoh desa pertanian di pedalaman Jawa. Mereka merupakan orang-orang yang cukup terlibat jauh dalam tarekat, tak lain masuk dalam bingkai identitas Islam tradisional dan sufisme Jawa yang telah mendarah daging oleh Sultan Agung maupun para Wali.

Sementara, tokoh-tokoh pemberontak kolonial perlahan mulai muncul, seperti Akhmad Ngisa dari Banyumas yang begitu bersemangat membuat datangnya “Ratu Adil” dan bertekad akan mengusir Belanda dengan bekal tarekat yang ia punya atau bekal piwulang Akmaliyah bersama para pengikut taninya. Belum lagi, Kiai Hasan Maulani, Mas Malangyuda, serta Kiai Nur Hakim di pedalaman Jawa.

Bahkan, ada juga Mas Cilik, sosok warga yang selalu menyerukan pemberontak para petani kepada Belanda dengan hanya bermodal keyakinan “ngelmu” dan “jimat” -nya di Tegal pada tahun 1864. Dimana, ia selalu menempelkan titel “Haji” saat berhadapan dengan kolonial. Namun, pada kenyataannya Mas Cilik tidak pernah sekalipun pergi ke Mekkah.

Belum.lagi pemberontakan-pemberontakan lainnya yang secara bergantian dilakukan oleh para petani dan kalangannya. Salah satunya pemberontakan yang dilakukan oleh Mas Rahmat, perjuangan Mas Rahmat tertulis apik dalam sebuah autobiografi yang telah diedit oleh Ann Kumar dengan judul “The Diary of a Javanese Muslim 1883-1886” (1985).

Mas Rahmat sendiri nyatanya mempunyai hubungan yang dekat dengan Malang-yuda atau seorang Pangeran Yogyakarta, Suryanenggala di tahun 1883. Konon, ia memperoleh seluruh kesaktiannya sesaat setelah mengunjungi beberapa makam, seperti makam para Wali Jawa-Madura, gua wingit, menjadi santri di pesantren hingga ber-tepekur di beberapa titik petilasan wingit candi kuno leluhur masyarakat Jawa.

Disisi lain, konteks masyarakat ada yang terpolarisasi hebat pasca kekalahan perang Jawa pada tahun 1825 hingga tahun 1830. Tepatnya sejak diberlakukannya Cultuurstelsel dan berganti ke Politik Etis bahkan hingga awal abad ke 20. Masyarakat Jawa mulai mengenal sistem ekonomi kapitalistik berjejaring dunia dengan skala yang sangat luas.

Tak hanya berhenti disitu, peredaran ekonomi keuangan menjadi masif, pertanian varietas baru banyak yang diimpor, terjadi kapitalisme perkebunan, pajak sewa, sistem transportasi yang bersambung di sepanjang Pulau Jawa, serta pendidikan sekolah modern Eropa yang lambat laun menggusur modus pendidikan pesantren yang berarti juga menggeser pandangan identitas Islam-Jawa.

Strata Sosial dalam Posisi Konfrontasi

Pada kenyataannya, banyak posisi priyayi yang memerankan strata sebagai mesin birokrasi kolonial, semata-mata hanya untuk mengisap keuntungan sebanyak mungkin dari hasil keringat para petani selama sistem Tanam Paksa. Ditambah para pedagang haji yang selalu menyediakan jasa “cash money” sama seperti yang dilakukan oleh beberapa pedagang dari Arab, Cina dan India.

Disisi lain, Steenbrik pernah mencatatkan bahwa di akhir abad ke 19 hingga abad ke 20, masyarakat Jawa pada umumnya akan menyadari bahwa serangkaian kebijakan kolonial semata-mata hanya memangkas, menekan, dan juga semakin menggencet kelompok Islam-Jawa atau Islam tradisional yang masih tersisa. Padahal, jika dilihat posisi mereka sudah berada di pinggiran, kehilangan sosok priyayi setelah perang Jawa.

Pada tahun-tahun tersebut, kebijakan kolonial tengah semangat-semangatnya mencurigai setiap aktivitas yang nampak mengumpulkan banyak orang atau jamaah tarekat ataupun perkumpulan doa yang melibatkan banyak orang. Larangan juga tertuju pada praktik mistik populer yang ramai terjadi di pasar, merampas buku-buku primbon atau kitab, hingga memenjarakan tokoh pengajar pesantren yang terang-terangan menentang sistem pengadilan hukum agama kolonial.

Sementara, tumbuhnya pemberontakan para petani yang mayoritas di pimpin para pemimpin lokal dengan membawa nuansa identitas Keislaman Jawa ini pada kenyataannya malah membawa fakta penting yang tersirat. Hal tersebut seperti bak menjelaskan bahwa para kawula atau lebih tepatnya rakyat kebayakan telah banyak ditinggalkan oleh para pemimpinnya.

buruh-petani-kolonial
Perburuhan era kolonial di Deli /Foto: Wikimedia Commons

Secara umum, Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825 hingga 1830 ini menandai perlawanan terakhir dari bergabungnya elemen masyarakat seperti kiai pemuka masyarakat, santri, para bangsawan/priyayi pemberontak, rakya biasa, petani, yang blandhong, penyamun, perampok, gali, hingga para pencuri yang berada dalam barisan bendera perang “sabilillah” Diponegoro melawan Belanda dalam mempertahankan harga diri terakhir bangsa Jawa.

Naasnya, sejak kekalahan perang ini, pemberontakan demi pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat dianggap tak lebih dari sebuah insiden pinggiran yang mudah ditangani oleh Belanda. Hal itu diperparah dengan pihak Keraton serta para bangsawannya seperti telah kehilangan kuasa politiknya secara paripurna. Keterkurungan mereka dalam benteng keraton hingga membuat mata rantai pengetahuan Islam terputus.

Setelah banyak hal yang terjadi bisa digarisbawahi bahwa pemberontakan para petani dan tokoh spiritual lokal ini secara tak langsung ikut mengungkap bahwa sebenarnya para tokoh masih banyak yang membenamkan diri dalam denyut keagamaan dan penderitaan masyarakat yang terus menerus melakukan perlawanan. Parahnya, ada beberapa poin ajaran warisan Belanda yang hingga kini masih dihidupkan dan berpontensi memecah belah masyarakat Jawa.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI