Perjuangan Kaum Perempuan Saat Meletusnya Perang Jawa
- November 11, 2022
- 9:49 pm

SANTRI KERTONYONO – Sosok Raden Ajeng Kartini menjadi penyelamat hak perempuan di Indonesia yang sebelumnya terpinggirkan, dianggap makhluk lemah dan tak berdaya. Kehadiran Kartini mengubah semuanya, yakni perempuan adalah makhluk kuat dan serba bisa.
Pada kisaran Agustus 1900 Kartini mengemukakan gagasannya dalam tulisan bahwa “Kami perempuan Jawa terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekehendak hati.”
Dalam tulisannya, Kartini memakai kata pronominal “kami”. Hal itu merupakan representasi banyaknya kaum perempuan Jawa yang bernasib buruk dan harus ia perjuangkan.
Batin Kartini bergolak. Banyak pertanyaan terkait kedudukan perempuan muncul di ruang batinnya. “Apa sebab seorang perempuan sampai dapat dijadikan objek kesenangan laki-laki, seakan mereka tidak mempunyai pikiran dan pendapat atau perasaan sendiri?.”
“Apa sebab kaum laki-laki sampai menganggap wanita bak sebuah ‘golek’ atau sebuah boneka, barang mati yang bisa diperlakukan semaunya. Bahkan, seolah-olah wanita itu bukan manusia?,” tambahnya.
Dari kegelisahan Kartini inilah, seorang sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben meluncurkan karyanya. Sebuah buku kecil dengan judul “Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX” menjadi sorotan penting.
Karya tulis tersebut merupakan hasil penelusuran dua sejarawan yang merasa tertarik dengan arus kuasa dan pengaruh wanita dalam beberapa bidang. Di antaranya bidang politik, pergerakan militer, penjaga tradisi dan budaya, sastra, agama, pembimbing atau pendidik anak-anak Jawa, pemelihara trah pertalian wangsa, pengusaha, hingga sebagai pengendali finansial politik.

Masa Krusial Bagi Perempuan Jawa
Dilansir dari laman resmi Yayasan Jurnal Perempuan. Carey dan Houben menilai masa-masa awal sebelum dan sesuah Perang Jawa merupakan masa krusial untuk melakukan penelusuran perubahan peran dan kuasa perempuan Jawa.
Tak sedikit perempuan Jawa yang terpengaruh kuasa kolonialisme Eropa yang kala itu didominasi kaum laki-laki patriarkis. Selain itu kuasa golongan Islam-Jawa patriarkis juga sangat dominan.
Di pinggir sebuah surat Residen Jogja Marsekal Daendels pernah menuliskan catatan yang cukup sensitif, yakni “male chauvinist” yang berarti pemujaan kejantanan. Tulisan itu menggambarkan bagaimana perempuan tidak mempunyai tempat dalam penghormatan umum dan hanya ada urusan pribadi.
Selain itu, tokoh veteran Perang Revolusi Perancis dan Perang Napoleon ini juga menyadari bahwa perempuan Jawa begitu kuat dalam menentukan arus politik dan budaya, hingga mampu mengancam hasrat kolonialisme Eropa.
Hal serupa nampak pada catatan Serah Terima Jabatan atau Memorie van Overgave. Kendati demikian ada beberapa poin penting catatan tokoh perempuan yang juga sangat berpengaruh.
Salah satu tokoh yang dimaksud adalah Ratu Ageng Tegalrejo atau Raden Ayu Serang. Sosok perempuan Jawa yang sangat berpengaruh di bidang politik militer, politik keraton, pendidikan anak raja, hingga dipercaya menjadi komandan pertama “Korps Srikandi” kesultanan. Ia juga permaisuri pertama Sultan Mangkubumi, raja pertama Jogja.
Raden Ayu Serang terkenal ahli menunggang kuda, memainkan senjata, sekaligus lihai strategi perang. Di usianya yang cukup dewasa, mantan prajurit estri ini memutuskan untuk pindah ke Tegalrejo dan menjadi pengikut tarekat Shattariyah.
Ia juga mengangkat dan mengasuh Pangeran Diponegoro sebagai anak didik terpentingnya hingga dewasa. Saat Perang Jawa meletus, perempuan ksatria sakti memimpin 400 orang pasukan untuk melawan Belanda.
Nama Raden Ayu Serang semakin dikenal berkat kesalehannya dan kegemarannya mendaras kitab-kitab agama. Ia juga merawat adat tradisional Jawa selama tinggal di Keraton.
Peran perempuan Jawa dalam Perang Jawa sangat penting. Mereka melebur dengan pasukan laki-laki tanpa ragu. Salah satu bukti perjuangan kaum perempuan itu adalah patrem, yakni senjata yang diselipkan di pinggang. Senjata itu kini disimpan sebagai salah satu koleksi museum.
Carey dan Houben menceritakan korps prajurit estri sebagai para perempuan ningrat yang terlatih dan piawai menggunakan beraneka ragam senjata, yakni mulai tameng, busur, tobak, tulup, hingga panah beracun.
Tak hanya itu. Pada masa itu ada banyak perempuan Jawa yang juga menguasai tradisi tulis menulis seperti Raden Ayu Purboyoso. Raden Ayu Purboyoso termashyur ahli menulis aksara pegon atau jawi gundul serta memiliki karya sastra Islam-Arab versi Jawa.
Para perempuan itu juga ahli menari, menyanyi hingga bermain musik. Gubernur Pantai Timur Laut Jawa pernah menuliskan sebuah catatan dalam buku hariannya saat mengunjungi Surakarta pada 31 Juli 1788.
“Prajurit perempuan menembakkan salvo “dengan teratur dan tepat sehingga membuat kita kagum” sambal “menembakkan sejata tangannya (karben kavaleri) sebanyak tiga kali dengan sangat tepat, dan diikuti dengan sebuah tembakan kecil (artiler)”.
Priyayi dan Perempuan Jawa
Peristiwa pemberontakan di Jawa tidak hanya dilakukan kaum laki-laki. Di belakang peristiwa kudeta, ada peran besar perempuan. Salah satunya adalah Ratu Kedaton dan Ratu Kencono.
Kedua perempuan itu menjadi kunci pemberontakan putranya, yakni Raden Mas Muhammad atau Pangeran Suryengologo terhadap Sultan Yogya ke-7 pada tahun 1883 di Kedu. Sayangnya, pemberontakan itu gagal.
Peristiwa yang terjadi menampik pandangan bahwa perempuan identik dengan kelemahan. Terbukti perempuan Jawa memiliki peran sentral, yakni sebagai ibu sekaligus pendidik dan pengajar.
Hal itu yang membuat perempuan Jawa memiliki posisi sebagai penjaga wali setia adat di Jawa. Sejarawan Carey dan Houben menegaskan bahwa perempuan priyayi Jawa lebih bisa menikmati kebebasan sekaligus berkesempatan bertindak.
Pada akhir Perang Jawa, mereka bahkan mampu mengambil inisiatif pribadi lebih luas. Kisah perempuan di Kadipaten Pakualaman (Sekarang masuk wilayah Kota Yogyakarta) mencerminkan hal itu.
Para perempuan memegang peranan penting dalam perekonomian serta hukum, bertani dan tak segan tampil untuk mencari keadilan. Di Jawa pada masa itu kaum perempuan terbagi atas tiga golongan, yakni perempuan Jawa dengan sebutan mbok, perempuan dengan sebutan nyonyah, dan perempuan kalangan bangsawan bergelar Raden Ayu.
Perempuan dari kelas bawah lebih banyak berurusan dengan masalah hukum. Hal itu bertolak belakang dengan berbagai sumber literatur yang lebih condong menceritakan perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan.
Perempuan kelas bawah berada dalam kondisi perekonomian yang sulit. Karenanya mereka dihadapkan pada situasi yang menguras tenaga dan fikiran untuk menyambung hidup. Mereka tak segan untuk bekerja sekalipun menjadi buruh hingga pedagang.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara