Perjalanan Transformasi Spiritual, Kisah Pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Kartini
RA Kartini /Foto: kompas.com

santrikertonyonoMasyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan Raden Ajeng Kartini, salah satu pahlawan nasional yang turut menumpahkan segala tenaga dan darahnya untuk membebaskan bangsa Indonesia dari rengkuhan penjajah. Sebagai seorang perempuan, Kartini tumbuh menjadi orang yang kuat dan berani.

Selain dikenal sebagai tokoh yang lahir dan besar di tanah Jawa, Kartini juga dikenal sebagai seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi Nusantara. Seluruh perjuangannya hanya untuk menyelamatkan perempuan dari pandangan-pandangan negatif yang kerapkali tertuju sebagai visualisasi perempuan yang dianggap lemah dan tak berdaya.

Ditengah-tengah lemahnya kondisi para kaum hawa yang di kekang oleh peraturan Pemerintah Kolonial Belanda, Kartini hadir bak lampu yang menerangi jalan gelap dengan memberikan kekuatan penuh secara mental dan fikiran kepada mereka. Kartini adalah sosok perempuan yang selalu mengadvokasikan hak-hak dan pendidikan perempuan.

Kartini tumbuh dan besar di tengah-tengah keluarga priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Seorang putri yang sangat tangguh ini merupakan anak perempuan dari Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat dan M. A. Ngasirah, semasa muda ia bahkan pernah mengenyam pendidikan sekolah di Europeesche Lagere School (ELS) untuk mengasah kemampuannya dalam berbahasa Belanda.

Saat bersekolah pun, ia dikenal sebagai murid yang rajin dan pintar. Itulah mengapa ia begitu cepat menguasai materi pelajaran di bangku sekolahnya. Ia sebenarnya sangat ingin melanjutkan studi untuk semakin keahlian dalam berbahasa Belanda, namun niat itu diurungkan Kartini yang terjebak pada peraturan bahwa kala itu perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan terlalu tinggi.

Seperti tak kekurangan akal, Kartini muda tetap gigih mempelajari bahasa Belanda dan bahkan ia mulai menulis beberapa surat kepada teman-teman korespondensinya yang mayoritas berasal dari negara Belanda. Salah satunya yakni Rosa Abendanon yang telah banyak memberikannya dukungan.

Tak hanya bahasa Belanda, Kartini juga mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap kemajuan pola pikir perempuan-perempuan Eropa yang ia baca dari banyak berita di buku, koran hingga majalah-majalah yang banyak beredar. Hal inilah yang kurang lebih mendasari Kartini untuk memajukan perempuan pribumi, karena apa yang ada didepan matanya banyak perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Peran Kartini sungguh tak kira untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, tak lain hanya agar perempuan mempunyai tempat dan kedudukan yang sama, tak lagi direndahkan apalagi sampai dipandang sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya. Tulisan-tulisannya yang begitu kuat akan makna bak amunisi yang siap menembakkan semangat kepada semua perempuan di Indonesia.

Cita-cita yang tinggi pula itu dituangkan dalam sebuah sebuah surat kepada teman dan beberapa kenalannya yang ada di Belanda. Bahkan, surat-surat tersebut diterbitkan di negeri Belanda pada tahun 1911 oleh Mr. JH. Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht, yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia salah satu sastrawan Armijn Pane tahun 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kartini dan Islam

Sosok Kartini sebagai perempuan yang memakai kebaya dengan prinsip yang kuat mungkin sudah sangat umum. Pandangan tersebut adalah pandangan mayoritas masyarakat Indonesia apabila disuruh mendeskripsikan figur pahlawan perempuan yang membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan tanah air.

Beberapa sejarahwan ada yang berpendapat bahwa konteks “Kartini” tak lain adalah masyarakat Muslim yang mungkin kala itu belum banyak tersentuh oleh gagasan pembaharuan Islam pada saat itu. Namun, semuanya berubah beberapa tahun setelah Kartini wafat pada tahun 1904.

Kurang lebih pada tahun itulah, banyak pembaharuan-pembaharuan Islam yang mulai bergema di bumi Nusantara, baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa. seperti halnya Sarikat Islam di Surabaya pada tahun 1912, Jamiat Khair tahun 1905, Sekolah Agama Adabiyah di Padang tahun 1909 dan masih banyak yang lainnya.

Dikutip dari laman Geotimes.id, Husein Ja’far Al Hadar menceritakan bahwa Kartini pernah memaksa gurunya untuk memberikan pemahaman tentang apa yang dibaca sewaktu ia mengaji. Kartini bahkan pernah melakukan protes hingga berniat untuk tidak melanjutkan studi mengajinya lagi. Lantas, sang guru mengadu ke Ibunda Kartini yang merupakan keturunan Kiai Jepara atas sikap remaja putri yang tengah kebingungan menyingkap bulir-bulir Islam dalam kajiannya.

Disisi lain, Kartini juga pernah mengirimkan beberapa surat kepada teman-temannya yang non-Muslim tentang rasa gelisah yang menyelimuti hatinya selama mengaji kepada sang Guru. Lebih tepatnya tentang apa dan bagaimana nafas Islam di Nusantara, terlebih pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Sebenarnya agamaku Islam hanya karena nenek moyangku Islam. Manakah dapat aku cinta dengan agamaku kalau aku tidak kenal, tiada boleh mengenalnya. Al-Qur’an terlalu suci, tiada boleh yang diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Orang disini membaca Al-Qur’an tapi yang dibacanya tiada ia mengerti.”

Secara tersirat, apa yang telah disampaikan oleh Kartini bisa jadi merupakan sebuah gugatan atas posisi agama yang kala itu memang tengah berada dalam kungkungan kolonialisme sebagai ajaran hukum yang terbatas dalam membangun hubungan manusia dan Tuhannya saja. Bukan agama sebagai pandang hidup, gagasan keadilan, kemanusiaan, hingga gerakan kemajuan.

RA Kartini
RA Kartini sedang membatik dengan adik-adiknya Rukmini (tengah) dan Kardinah (kiri).(/Foto: Dok Museum Pusat Jakarta/Arsip Kompas

Pada masa itu, pemerintah kolonial memang mengizinkan umat Islam untuk menjalankan ibadahnya, namun segala gerakan berbasis Islam begitu keras dilarang bahkan diharamkan. Banyak dari mereka yang membaca dan sangat mensakralkan Al-Qur’an, tapi tidak untuk dipahami apalagi dicampuradukkan dalam ranah profan.

Kegelisahan Kartini semakin memuncak ketika ia melihat sistem perkawinan yang marak terjadi, ditengah-tengah kegundahannya mengkaji agama Islam, ia terpaku pada perkara poligami. Kartini juga sempat menggugat sistem perkawinan yang dianggapnya timpang, hanya berpihak kepada lelaki. Bahkan, ia melihat secara langsung bagaimana hak-hak para istri dicerabut hingga tak tersisa.

Tak pelak, berkat guguatan-gugatannya itulah menjadi awal dari kemajuan peradaban perempuan di Indonesia. Beberapa organisasi gerakan Islam khususnya Muslimat bahkan mulai berani mengembangkan sayapnya, seperti salah satu contoh Muslimat Nahdlatul Ulama disamping Nahdlatul Ulama itu sendiri.

Pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat

Namun akhirnya kegundahan Kartini terobati sesaat ia bertemu dengan Kiai Sholeh Darat, dimana sisnisme Kartini terhadap Islam perlahan-lahan menajdi gugur. Kala itu, Kartini sangat terkesima dengan penuturan sang Kiai yang membahas tentang makna Surat Al-Fatihah yang dijelaskan dengan bahasa Jawa.

Pertemuan itu terjadi ketika Kartini tengah mengunjungi rumah pamannya yakni Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang tengah mengadakan pengajian bulanan. Dalam pengajian itu, Hadinigrat mengundang sosok Kiai Sholeh Darat yang merupakan ulama besar di Indonesia untuk memberikan ceramah agama.

Dilansir dari Republika.co.id, kala itu Kiai Sholeh Darat tengah memberikan ceramah tentang tafsir surat Al-Fatihah yang seketika membuat Kartini sangat tertegun. Nampak selama pengajian berlangsung, Kartini tak sedikitpun memalingkan wajahnya dari sosok Kiai Sholeh Darat, tak terkecuali telinganya pun juga sangat jeli dalam menangkap kata demi kata yang disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat.

Mungkin itu bisa dikatakan sebagai pemandangan yang tidak terlalu mengagetkan, pasalnya selama ini Kartini bak haus dengan kajian-kajian makna agama Islam yang belum pernah ia dapatkan dari siapapun. Selama ini, Kartini hanya bisa sekedar membaca Al-Fatihah tanpa pernah tahu makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.

Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Kartini langsung berhambur menemui Kiai Sholeh Darat selepas pengajian selesai. Pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat tak semudah itu, konon sebelumnya Kartini sempat merengek-rengek meminta sang paman untuk menemaninya bertemu Kiai Sholeh Darat. Mungkin ada sedikit rasa sungkan apabila Kartini menemuinya seorang diri.

Untuk pertama kalinya Kartini dan Kiai Sholeh Darat bertatap muka, Kartini tak segan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Lantas, ia langsung menembakkan pertanyaan kepada sang Kiai, pertanyaan yang sebenarnya cukup sederhana tapi jika dipahami memiliki makna yang mendalam. “Bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?.”

Pertanyaan yang timbul akibat dari kegelisahan Kartini dalam memaknai Islam khususnya tentang Al-Qur’an, cukup membuat Kiai Sholeh Darat tertegun. Ia mungkin bertanya-tanya dalam hati bagaimana bisa seorang remaja perempuan mempunyai pola pikir yang sangat kritis dan tajam seperti itu.

Kartini kembali mengakui bahwa baru kali inilah ia mempunyai kesempatan untuk memahami dan memaknai surat Al-Fatihah, yang tak lain merupakan ayat pertama serta induk dari Al-Qur’an. Makna-makna yang tersurat begitu sangat indah itupun tak pelak menggetarkan hati dan sanubari Kartini.

Di hadapan Kiai Sholeh Darat, Kartini kembali melanjutkan pembicaraannya. Kartini selama ini merasa heran, ia melihat dimana-mana para ulama melarang keras adanya penerjamahan serta penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Namun, disisi lain umat manusia membutuhkan Al-Qur’an sebagai bimbingan hidup dan sejahtera.

Semenjak pembicaraan itu, Kiai Sholeh Darat seperti sedang berfikir keras, ia tak berkata apapun, tak juga menyangkal pernyataan Kartini, ia hanya sekedar mengucapkan “Subhanallah”. Secara tidak langsung pun Kartini telah menggugah kesadaran Kai Sholeh Darat untuk melakukan salah satu pekerjaan besar yakni menerjemahkan Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa.

Tak menunggu lama, Kiai Sholeh Darat lekas menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Hingga pda suatu ketika, Kiai Sholeh Darat memberikan 13 juz yang telah diterjemahkan kepada Kartini sebagai hadiah perkawinan. Menerima kado tersebut, Kartini merasa itu merupakan kado yang tidak bisa dinilai oleh manusia.

Konon, surat yang diterjemahkan oleh Kiai Sholeh Darat itu adalah surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Setiap harinya, Kartini tak pernah bosan membaca dan memahami terjemahan ayat-ayat tersebut. Kata demi kata ia resapi, nampak sangat serius mempelajari makna Al-Qur’an. Namun, saat Kartini ingin belajar Al-Qura’an lebih lanjut, Kiai Sholeh Darat telah terlebih dulu berpulang.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI