Penguatan Demokrasi & Civil Society dalam Lensa Gus Dur
- Februari 5, 2022
- 12:04 am

SANTRI KERTONYONO – Pemikiran dan sepak terjang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society. Tidak berlebihan jika kemudian ada yang berpandangan Gus Dur sebagai sosok pejuang demokrasi.
Sebagaimana kebanyakan cendekiawan Muslim Indonesia yang selalu melandaskan demokrasi pada nilai-nilai Islam, maka demikian halnya Gus Dur. Ia menyebutkan Islam sebagai agama demokrasi.
Dalam buku Menyingkap Pemikiran Gus Dur & Amien Rais tentang Negara (1999) karya Ma’mun Murod Al-Brebesi, dijelaskankan sejumlah alasan di mana Gus Dur menyatakan Islam sebagai agama demokrasi.
Alasannya, pertama, Islam adalah agama hukum yang berarti ajaran Islam berlaku bagi semua orang, baik menyangkut pemegang jabatan tertinggi maupun rakyat jelata dikenakan hukum yang sama.
Kedua, Islam memiliki asas musyawarah (syura), perkara-perkara mereka dibicarakan di antara mereka melalui musyawarah. Pembahasan musyawarah, apakah nanti berujung pada voting atau tidak, itu tidak relevan. Hal terpenting menurutnya adalah adanya tradisi membahas, mengajukan pemikiran secara bebas, dan diakhiri dengan kesepakatan. Dan kesepakatan adalah musyawarah.

Ketiga, Islam selalu berpandangan untuk memperbaiki kehidupan, karenanya kehidupan manusia itu tarafnya tidak boleh statis, tetapi harus meningkat terus untuk bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Dan ini menurut Gus Dur merupakan prinsip dari demokrasi. Mengingat demokrasi pada hakekatnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki kehidupan. Karenanya Islam juga sering disebut sebagai agama islah (rekonsiliasi).
Dan keempat, sebagaimana demokrasi, Islam das sollen juga mengedepankan dan menopang prinsip-prinsip keadilan. Gus Dur mengartikan demokrasi sebagai kondisi di mana kebebasan berpendapat, ke-nyleneh-an benar-benar dijamin undang-undang. Adanya kebebasan untuk berorganisasi dan berserikat, bebas bepergian, masuk dan keluar negeri tanpa harus dikaitkan dengan masalah politik.
Berperannya kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan kekuasaan. Adanya pemisahan secara tegas dalam fungsi yang tidak boleh saling mempengaruhi di antara tiga lembaga, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selain itu, demokrasi juga menyaratkan adanya, pertama, rasa tanggung jawab pada kepentingan bersama, kedua, kemampuan menilik masa depan, dan ketiga, kesediaan berkorban bagi masa depan. Dan ini semua menurut Gus Dur, membutuhkan adanya kerelaan. Nah “kerelaan” inilah sebenarnya hakekat dari demokrasi. Jadi demokrasi adalah sesuatu yang dilakukan dengan rela.
Yang tak kalah pentingnya, masyarakat juga dituntut untuk siap berdemokrasi. Jadi bukan sebatas institusinya saja, seperti halnya lembaga legislatif dan partai politik.

Hal terpenting menurut Gus Dur, masyarakat harus memulai untuk berdemokrasi. Mengingat penyebab ketidak-demokratisan, bukan saja pemerintah tapi masyarakat juga menjadi penyebabnya. Pemerintah menurutnya, nggak mungkin bersikap tidak demokratis, kalau tidak dikasih ruang oleh rakyat.
Gus Dur menambahkan, demokrasi juga menuntut adanya kesanggupan untuk melihat masyarakat secara keseluruhan (utuh), tanpa harus dipertentangkan, baik dari sisi suku, ideologi, ras, budaya, bahasa, dan terlebih dalam hal agama. Bahwa perbedaan ideologi, ras, tingkat pendapatan ekonomi, agama, tidaklah berarti masyarakat berbeda pada prinsipnya, melainkan “hanya” pada penampilan fisik dan kepentingannya.
Dalam demokrasi juga ada kemauan untuk memberi dan menerima. Kita tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain, misalnya untuk menanggalkan keyakinan agamanya, selain masyarakat juga harus bisa memberikan tempat pada keyakinan yang bukan agama.
Dari pemahaman demokrasi ini, setidaknya ada tiga hal pokok yang menjadi concern pemikiran anak sulung KH. A Wahid Hasyim ini, pertama, pengembangan wawasan kebangsaan dengan entry point menolak segala bentuk eksklusifisme dan sektarianisme. Kedua, kegigihan dalam mengupayakan civil society yang berdaya, Dan ketiga, penghargaan terhadap pluralisme atau kemajemukan masyarakat Indonesia.
Hal lain yang menjadi concern pemikiran politik Gus Dur adalah keseriusannya mengupayakan terciptanya toleransi antarumat beragama. Kalau Islam mau dinilai sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, maka Islam harus ditempatkan hanya sebagai pemberi warna, tidak lebih dari itu.
Sebaliknya ketika Islam difungsikan sebagai satu-satunya kebenaran, maka Islam akan menjadi agama yang ekslusif dan pada tahap berikutnya akan mengganggu terciptanya toleransi antarumat beragama dalam arti sesungguhnya.
Sinyalemen Gus Dur ini, semestinya bukan hanya ditangkap bagi umat Islam saja, tapi juga bagi umat-umat agama lainnya. Artinya ketika semua umat beragama sama-sama menginginkan terciptanya toleransi antarumat beragama, maka masing-masing agama tidak seharusnya menampakkan ekslusifitas-nya, sebaliknya yang mesti ditampilkan adalah sikap inklusifitas-nya.
Menurut Gus Dur, agama dapat memberikan yang berarti bagi proses demokratisasi manakala ia berwatak “pembebasan”. Fungsi pembebasan agama atas kehidupan manusia tidak dapat dilakukan setengah-tengah, karena pada dasarnya transformasi kehidupan haruslah bersifat tuntas.
Gus Dur juga mempunyai keseriusan untuk membangun civil society yang berdaya. Keseriusan ini setidaknya ditunjukkan dengan keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926. Dengan kembali ke Khittah 1926, NU secara resmi memutuskan untuk tidak terlibat lagi dalam politik praktis, meski bukan berarti NU tidak lagi berpolitik. NU pada dasarnya tetap berpolitik, hanya saja orientasi politiknya mengalami perubahan.
Untuk menciptakan civil society yang kuat tidak segampang yang dibayangkan orang. Tahapan terpenting, yaitu terciptanya proses demokratisasi perlu dibangun terlebih dulu. Mengingat civil society hanya bisa bersemai dan berkembang dalam alam yang demokratis. Sementara untuk melakukan proses demokratisasi sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Begitu beratnya tantangan dalam upaya menciptakan iklim demokrasi, maka menurut Gus Dur, hal yang harus terus menerus dilakukan adalah upaya untuk membangun civil society, terlebih di tingkat grassroot.
Bagi Gus Dur, demokrasi di parlemen bukanlah cerminan yang sesungguhnya, karenanya harus diikuti dengan melakukan demokratisasi di lingkar civil society. Menurutnya, demokratisasi tidak bisa dilepaskan begitu saja tanpa adanya pemberdayaan civil society.
Gus Dur pun melakukan penguatan civil society melalui “kerja kultural” dan telah membuahkan hasil. Sebagaimana nama lengkapnya, Abdurrahman Ad-Dakhil di mana Ad-Dakhili mengandung pengertian sang penakluk, Gus Dur telah menjadi sosok “penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu membaca situasi yang berkembang.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara