Ngeteh, Tradisi Bangsawan Jawa yang Menyebar ke Rakyat Jelata

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
ngeteh, minum teh
Pertunjukkan 'Tradisi Minum Teh Tempoe Doeloe' pada gelaran Festival Seni Budaya Nusantara (FSBN) di pelataran dalam Museum Sejarah Jakarta /Foto: https://feryantohadi.blogspot.com/

SANTRI KERTONYONO – Orang Jawa konon sudah memiliki tradisi minum teh sejak jaman Kerajaan Majapahit. Kebiasaan itu terus terbawa hingga era kekuasaan Mataram Islam.

Tak sulit menemukan secangkir teh di atas meja masyarakat Jawa yang sedang asyik kumpul-kumpul, reriungan. Waktu yang dipilih biasanya sore atau malam hari, di mana mereka sudah lepas dari tanggung jawab pekerjaan.

Suasana pun mengalir gayeng.Kita ngeteh dulu lah”. Ungkapan itu kerap disampaikan tuan rumah dengan tujuan reriungan berlangsung lebih panjang

Meneguk teh usai bersantap seolah menjadi ritual yang tak boleh terlewatkan. Di sela menikmati teh,  biasanya muncul bumbu-bumbu yang dikemas dalam bentuk rasan-rasan.  Tema yang diangkat apa saja. Mulai masalah sosial hingga urusan politik.

Sejumlah sumber menyebut, budaya atau tradisi ngeteh sebenarnya berasal dari kebiasaan penjajah kolonial. Ngeteh bukan budaya asli nusantara. Tradisi minum teh pertama kali diperlihatkan orang-orang kulit putih.

Mereka sengaja menikmati kehangatan secangkir teh di tengah udara sejuk nusantara, sembari mempertontonkan lagak bak raja-raja Jawa. Di antara cangkir-cangkir teh, tersedia berbagai kudapan. Roti, sosis dan aneka daging yang kaya protein dan karbohidrat.

Kebiasaan minum teh merupakan budaya dari Inggris,” demikian sumber menyebutkan. Bila teh dibawa oleh Inggris, maka tradisi ngopi atau meneguk minuman kopi diperkenalkan oleh penjajah Belanda.

Tradisi ngeteh ini lantas diwarisi para elit Jawa, utamanya yang mendiami wilayah pesisir dengan penerimaan terhadap budaya asing lebih terbuka. Tak heran masyarakat pesisir lebih cepat beradaptasi dengan tradisi baru dibanding masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah lebih ke dalam hutan.

Keluarga Kartini dan Sosroningrat mulai menggandrungi kebiasaan minum teh pada jam-jam tertentu, seperti pada jam 16.00 – 17.00. Diatas meja akan tersaji cangkir, gula, susu, dan poci teh. Lengkap dengan makanan-makanan lokal atau kue-kue Belanda”.

Ngeteh tak hanya dipandang sebagai aktivitas menenggak minuman hangat. Tetap juga menjadi ruang belajar tata krama. Seperti halnya cara meminumnya selagi panas. Muncul larangan meniup, serta dianggap tak elok bila meneguk teh hingga berbunyi “sruput-sruput”.

Teh Sebagai Media Perjamuan dan Lobi

Di Solo, terutama di lingkungan kerajaan, tradisi ngeteh diyakini lebih dulu berkembang sejak jaman kolonial Belanda. Keluarga keraton menjadikan tradisi minum teh sebagai salah satu perantara berbincang dengan tamu.

Setiap acara perjamuan antar keluarga bangsawan, minuman teh tak pernah tertinggal. Di Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, tradisi minum teh telah menjadi budaya untuk menjamu kehadiran tamu kehormatan.

Pawon Kerajaan Kasunanan diperkuat pula dengan jajaran abdi dalem Jayeng yang diberi wewenang khusus untuk membuat minuman teh. Teh ini yang lantas disajikan kepada raja, kerabat raja, dan tamu,” ungkap Heru Priyatmoko dalam artikel Kepulan (Sejarah) Dapur Keraton.

Kisah yang terekam, Paku Buwana X pernah mengadakan perjamuan dengan tamu dari Thailand. Di dalamnya ada acara ngeteh bersama yang berlangsung hingga pukul 10 malam. Usai menikmati kehangan air teh, acara berlanjut makam malam di Keraton Kasunanan, lengkap dengan sajian roti bakar.

Selain menjadikan suasana lebih gayeng, tradisi ngeteh diam-diam juga menjadi salah satu media untuk memamerkan gengsi, atau selera yang tinggi keraton. Penguasa keraton selalu menggunakan piranti teh dari bahan mewah.

Khusus untuk tamu kehormatan, pihak kerajaan memakai teko porselein bertangkai emas serta cangkir-cangkir berwarna merah dengan motif yang indah.

Di luar lingkungan keraton, tradisi ngeteh ternyata juga dipakai para wali tanah Jawa dalam menyebarkan Islam. Sembari menikmati teh hangat, para wali mengenalkan apa itu ajaran Islam kepada masyarakat yang sedang didekati.

“Kebiasaan minum teh juga digunakan para wali tanah Jawa untuk melakukan pendekatan sosial budaya. Pagelaran wayang menjadi perantaranya. Di mana sebelum ataupun sesudah pagelaran wayang, mereka akan mengajak masyarakat untuk minum teh bersama,” dilansir dari lama resmi Binus University.

Dalam tradisi Kerajaan Jawa, minum teh hampir selalu disajikan di acara santap keluarga bangsawan. Tradisi yang sebelumnya tumbuh di lingkungan elit bangsawan kemudian ditiru  kaum priyayi serta wong cilik.

Dalam perjalanannya ngeteh menjadi kebiasaan umum tanpa ada pertimbangan status sosial.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI