Misteri Antara Gunung Lawu, Lauhul Mahfudz dan Magetan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
lawu,lawu gunung,Lauful Mahfudz,magetan,islam,Brawijaya,moksa,Majapahit,santrikertonyono,sejarah,tokoh,wisata
Hargo Dalem yang menjadi tujuan peziarah dan pelaku ritual di Gunung Lawu. Konon di sinilah tempat moksa-nya Raja Terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya V /Foto: KOMPAS.com

SANTRI KERTONYONO – Prabu Brawijaya V atau Raja Majapahit terakhir diyakini moksa di Gunung Lawu. Kekuasan Brawijaya berakhir seiring berdirinya kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah.

Di puncak Lawu, konon wadak atau raga Raja Majapahit itu lenyap tak berbekas (moksa). Sebuah versi menyebut, sebelum moksa, Brawijaya lebih dulu memangkas rambutnya. Brawijaya kemudian dituntun Sunan Kalijaga menjadi pemeluk Islam.

Sebelum naik ke puncak Lawu, Raja Majapahit itu berpindah keyakinan menjadi seorang muslim dengan gelar Sunan Lawu,” demikian cerita yang berkembang di masyarakat Magetan Jawa Timur.

Gunung Lawu memiliki tinggi 3.265 Mdpl. Jangkauan kaki dan lerengnya terbentang jauh, meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Magetan, sebagian Kabupaten Ngawi Jawa Timur, dan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.

Puncaknya terbagi tiga, yakni puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Di Hargo Dalem itulah, Prabu Brawijaya moksa. Bak kembang lawu, keindahan di sekitar gunung yang bernama lain Wukir Mahendra Giri itu, begitu menakjubkan.

Keindahan alam itu tak hanya dijumpai di kawasan menuju puncak, melainkan juga di wilayah lereng dan kaki gunung. Dari jarak lebih dekat, akan terlihat keelokan Telaga Sarangan, keindahan Tawangmangu, serta hutan Cemorosewu.

lawu,lawu gunung,Lauful Mahfudz,magetan,islam,Brawijaya,moksa,Majapahit,santrikertonyono,sejarah,tokoh,wisata
Tempat Ritual di Pos IV Cokro Suryo Gunung Lawu, Cemara Kandang /Foto: KOMPAS.com

Namun di luar semua itu, Gunung Lawu masih diyakini sebagian masyarakat Jawa sebagai gunung sakral. Sejak era Kerajaan Majapahit hingga masa Kerajaan Mataram Islam, Gunung Lawu dipandang sebagai kawasan suci.

Banyak tempat-tempat di sekitar Lawu yang hingga kini masih dianggap sakral. Banyak yang mengaitkan kesakralan itu dengan kekuasaan di Nusantara. Konon, Bung Karno pernah menjalani laku spiritual di Lawu, yakni sebuah tempat di sekitar Sarangan.

Bung Karno katanya pernah mengambil air untuk wudlu di dekat kawasan Sarangan,” tutur Azis salah seorang warga Kabupaten Magetan. Saat Pilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2019 lalu, Puti Guntur Soekarno yang menjadi Cawagub Jatim, sempat menapaktilasi apa yang dilakukan kakeknya.

Begitu pula dengan Presiden Soeharto, konon juga kerap melakukan laku spiritual di kawasan Lawu. Di kaki Lawu juga terdapat komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunegaran: astana Girilayu dan Astana Mangadeg.

Menurut Kiai Hunain Anasir, kata Lawu terkait dengan Lauful Mahfudz. Kiai sepuh asal Parang Kabupaten Magetan yang begitu dihormati itu menyebut Lawu dengan Lawuful Mahfudz. Alasan itu yang membuat kenapa Gunung Lawu memiliki peran penting dalam konteks kekuasaan di Nusantara.

Lawu itu Lawuhul mahfuz (baca: lauhul mahfudz),” kata Kiai Hunain Anasir atau Mbah Khunen, kepada Santri Kertonyono.

Dalam perspektif Islam, lauhul mahfudz merupakan catatan Allah SWT terkait dengan peristiwa atau kejadian di alam semesta. Secara khusus, catatan Lauhul mahfudz termasuk menyangkut perjalanan takdir manusia. Di dalam Al-Qur’an, kata lauhul mahfudz disebut 16 kali, dan utamanya muncul dalam surah al-Buruj.

Sementara secara etimologis, Lawu dalam bahasa Jawa lama mengandung arti unggul atau yang tertinggi. Serat Tantu Panggelaran menyebut Gunung Lawu memiliki nama kuno Katong.

Ahli bahasa Jawa kuno Zoetmulder mengatakan, Katong berarti dewa, rasa hormat, penghormatan atau kekaguman. Masih terkait dengan Lawu. Secara tersirat Mbah Khunen juga mengaitkan Lawu dengan pentingnya wilayah Magetan, Jawa Timur.

Keberadaan gunung Lawu di Magetan menjadikan Magetan sebagai wilayah sakral di Indonesia, khususnya di Jawa. Ia mengatakan Magetan adalah kunci nusantara. “Magetan itu penting. Kalau Magetan aman, Indonesia aman. Begitupun sebaliknya,” ungkapnya.

Magetan Pusat Kebudayaan Jawa

Magetan berasal dari kata Kamagetan atau Pameget yang dalam Jawa kuno berarti rumah atau ndalem yang besar. Peneliti asing Pigeaud dalam teks Javaanse Volksvertoningen menyebut Magetan sebagai pusat kebudayaan pada zaman kuno.

Hal itu dibuktikan dengan adanya candi dan peninggalan lain. Selain itu juga terdapat sebuah desa di lereng Lawu yang disinyalir dulunya sebagai kediaman para pertapa pada zaman Hindu Jawa.

Kediaman ini mungkin berasal dari abad ke -11 dan ditinggalkan atau lenyap pada abad ke-16,” tulis Pigeaud seperti dikutip dari catatan Antara Lawu dan Wilis.

lawu,lawu gunung,Lauful Mahfudz,magetan,islam,Brawijaya,moksa,Majapahit,santrikertonyono,sejarah,tokoh,wisata
Ritual di Cemoro Sewu gunung lawu /Foto: news.detik.com

Kuatnya kebudayaan Hindu Jawa membuat Islam yang datang seiring dengan berdirinya kesultanan Demak tidak mudah menembus wilayah Magetan. Berbagai upaya dilakukan Demak, termasuk mengutus Wali Songo melakukan syiar ke Magetan.

Selain menyebarkan agama Islam, para wali juga mengemban misi mencari salah seorang putra Majapahit yang diduga lari dan hilang di Magetan, terutama di kawasan Lawu.

Berbagai upaya menyebarkan Islam di Magetan dilakukan oleh Wali Songo. Salah satunya dengan mendirikan masjid yang kemudian dikenal sebagai masjid tiban atau masjid yang jatuh dari langit.

Dalam catatan Antara Lawu dan Wilis tertulis sedikitnya ada 10 masjid di wilayah Kecamatan Plaosan yang diyakini sebagai masjid tiban peninggalan wali songo.

Di antaranya, masjid di wilayah Plaosan. Kemudian di Dusun Klaten Desa Puntukdowo, Dusun Bulugunung Desa Bulugunung, Dusun Babar Desa Bulugunung, Dusun Bogosari Desa Bogoarum, Dusun Pandean Desa Bogoarum, Desa Nitikan, Desa Getasanyar, Dusun Genggong Desa Randugede dan Dusun Sampung Desa Sodorejo.

Masjid-masjid itu merupakan masjid kecil yang menurut masyarakat dipercaya jatuh dari langit,” demikian yang tertulis dalam Antara Lawu dan Wilis.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI