Mengulik Cikal Bakal Madiun, Benarkah Ada Peran Besar dari Kasultanan Demak Bintara?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Alun-Alun Kota Madiun Magetan
Alun-Alun Kota Madiun pada tahun 1951 /Foto: Wikipedia.com

Santrikertonyono – Kasultanan Demak Bintara yang dipimpin oleh Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Patah Jimbun Sirullah I yang bergelar Raden Patah santer terdengar sebagai cikal bakal lahirnya Kabupaten Madiun. Sebelumnya, Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak atas sokongan dan dukungan dari Wali Sanga, sebegai bentuk kelanjutan dari Kerajaan Majapahit yang telah runtuh.

Raden Patah sendiri merupakan putra dari Prabu Brawijaya V yang menikah dengan Putri Cempa bernama Ratu Ndorowati. Ia juga lebih dikenal dengan sebutan Adipati Unus dan mempunyai julukan sebagai Pangeran Sabrang Lor. Sebagai putra mahkota, ia seringkali memimpin delegasi pelayaran hingga ke laut Merah, dan singgah di Mesir dan Sudan.

Pangeran Adipati Surya Pati Unus memutuskan untuk menikahi Putri Demang Ngurawan Dolopo bernama Raden Ayu Retno Lembah pada tahun 1518. Bak tak salah memilih istri, Raden Ayu Retno Lembah dikenal mempunyai paras yang cantik dan ramah. Bahkan, ia memiliki julukan “mustikane putri tetunggule widodari”.

Pesta pernikahan digelar secara besar-besaran, banyak tamu terpandang hingga tokoh-tokoh yang datang. Panitia pernikahannya pun terdiri dari Demang Maespati, Demang Caruban, Demang Sumoroto, Demang Pilang Kenceng serta Demang Walikukun.

Suasana tumpah meriah dengan para tamu yang berdatangan. Gendhing carabalen dimainkan saat menyambut tamu kehormatan, lalu beralih ke gendhing kebo giro dengan alunan musik yang meriah. Laalu beralih lagi ke gendhing monggang untuk menghormati pejabat tinggi.

Turut mengundang para Dewan Wali Sanga yang bertindak sebagai penasehat panitia pernikahan. Para dewan ini terdiri dari Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajad, Sunan Gunung Jati, Sunan Murya, Syekh Siti Jenar serta Sunan Kalijaga.

Sebuah peradaban unggul lahir dari diplomasi pernikahan ini, Demang Ngurawan Dolopo yang kala itu sudah menginjak usia senja menyerahkan seluruh harta benda hingga takhtanya kepada sang putri, Raden Ayu Retno Lembah. Sembari Demang Ngurawan lengser keprabon madeg pendeta, Retno Lembah ditunjuk untuk menggantikan kedudukan Demang Ngurawan atas keputusan bersama.

Kawedanan Purabaya Berubah Menjadi Kabupaten Madiun

Tepat pada tanggal 24 Maret 1520, status Kademangan Dolopo dinaikkan menjadi Kawedanan. Yang sebelumnya bernama Kademangan Dolopo, lalu berubah nama menjadi Kawedanan Purabaya. Dimana Pura berarti istana, dan baya berarti pakewuh atau istana yang berguna untuk melakukan pengabdian pada bangsa dan negara.

Dilansir dari HarianForum.com, Kawedanan Purabaya dipimpin oleh Wedana Mas Ngabehi Reksogati (1520-1543) yang bekerja atas petunjuk kebijakan dari Kasultanan Demak Bintara. Lalu, pada masa kepemimpinan Mas Ngabehi Reksogati III (1557-1568) terjadi masa peralihan peningkatan status wilayah.

Mas Ngabehi Reksogati didampingi oleh Pangeran Rangga Jumena atau Pangeran Timur, putra Kanjeng Sultan Trenggono yan diangkat anak oleh Raden Ayu Retno Lembah. Semasa kecil ia di didik oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat di Jepara serta mendapatkan ilmu pemerintahan dari Kanjeng Ratu Mas Cepaka, seorang permaisuri Joko Tingkir.

Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Lekase lawan kas. Tegese kas nyantosani. Setya budya pangekese dur angkara”, ini merupakan ajaran leluhur Jawa yang selalu dipegang oleh Pangeran Timur. Puncak Gunung Lawu adalah tempat yang cukup sering ia didatangi untuk bermeditasi.

Gunung Lawu lebih dikenal sebagai tempat Prabu Brawijaya V muksa, sementara Prabu Ajisaka seorang Raja dari Medang Kamulan menyebut Gunung Lawu sebagai Giri Mahendra. Dan di Gunung Lawu inilah, Pangeran Timur mendapatkan anugerah berupa pusaka Kyai Tundhung.

Kasultanan Pajang yang kala itu dipimpin oleh Joko Tingkir kembali melanjutkan kepemimpinan Kerajaan Demak Bintara. Status Kawedanan Purabaya pun dinaikkan menjadi kabupaten berkat pembangunan di segala bidang yang dilakukan oleh Wedana Reksogati.

Tak lama setelah itu, Pangeran Timur dilantik menjadi Bupati Purabaya, pada 18 Juli 1568 atau pada hari Jumat Legi 15 Sura 1487. Pengangkatan Pangeran Timur tak lain adalah usul dari Ratu Kalinyamat dan dilantik langsung oleh Jaka Tingkir dengan upacara yang meriah.

Dibawah kepemimpinan Pangeran Timur, Purabaya mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mulai dari bidang industri mebel, irigasi semakin teratur, hingga tanaman padi yang selalu menghasilkan panen yang berlimpah. Pagelaran wayang hampir setiap amalm digelar untuk menghibur masyarakat yang letih setelah seharian bekerja.

Tahkta diserahkan Kepada Raden Ayu Retno Dumilah

Purabaya benar-benar berada di puncak kejayaannya saat di berada di tangan Pangeran Timur, namun hal itu tak bertahan lama. Saat berada di puncak takhta, Pangeran Timur memutuskan untuk lengser. Bak seperti para raja-raja yang lainnya yang menyerahkan takhta kepada putra-putrinya, begitu pula Pangeran Timur yang menyerahkan takhta kepada sang anak tercinta, Raden Ayu Retno Dumilah.

Dengan karakter lembah lembutnya, Raden Ayu Retno Dumilah akhirnya resmi memimpin Kabupaten Purabaya sejak tahun 1586.

Sebelumnya, pada tahun 1575 Bupati Retno Dumilah membangun kantor baru yang digunakan untuk memindahkan Ibukota dari Sogaten Mangunharjo ke Wonorejo Kuncen.

Pembangunannya pun tak asal-asalan. Pendopo yang akan didirikan melibatkan juru ukir Jepara yang handal dan berpengalaman, kayu jati yang digunakan langsung dari daerah Randhu Blatung Cepu, marmernya dibeli dari daerah Tulungagung.

Bupati Retno Dumilah mendulang kesuksesan di masa pemerintahannya, namanya semakin jaya dan terdengar hingga keluar kadipaten. Tak sedikit orang yang mengakui kehebatan sosok perempuan yang menjabat sebagai bupati dengan prestasi yang gemilang. Tak hanya cakap dalam pemerintahan, ia juga terkenal sakti mandraguna.

Retno Dumilah cukup sering melakukan ritual di Hutan Jogorogo, terutama pada bulan ruwah ia selalu bertapa dengan berendam di Kali Ketonggo. Berkat ritual yang sering ia lakukan inilah, Raden Ayu Retno Dumilah mendapatkan pusaka Kembang Wijoyondanu.

Para pengageng Kabupaten Purabaya dan tokoh masyarakat berkumpul, mereka saling bertukar pikiran dan pendapat untuk mempersiapkan perubahan nama Purabaya. Kabupaten Purabaya pun diusulkan untuk diubah namanya menjadi Madiyun.

Madiyun sendiri berasal dari kata mandhireng pribadi tumuju hadining kayun. Ma berarti mandiri atau berdikari. Di berasal dari kata adi atau hadi yang berarti linuwih, indah, pinunjul. Yun atau kayun berarti kehendak, sebuah gagasan, dan cita-cita yang luhur. Jadi, Madiyun adalah sebuah nama yang mengandung nilai filosofis luhur, agung terhormat dan bermartabat.

Tepat pada tanggal 16 November 1590, Kabupaten Purabaya berganti nama menjadi Kabupaten Madiun. Sedangkan bupatinya dijabat oleh Raden Mas Rangsang yang tak lain adalah anak buah dari Retno Dumilah sendiri. Pergantian bupati tersebut dikarenakan posisi Retno Dumilah yang diboyong ke Mataram untuk dijadkan garwa prameswari Panembahan Senopati.

Jika ditarik benang merahnya, para Bupati yang menjabat di Madiun selalu berhubungan dengan Keraton Mataram. Salah satunya yakni Kanjeng Ratu Mas Balitar yang merupakan garwa permaisuri Raja Mataram yang beribukota di Kartasura.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI