Mengkaji Corak Islam dan Model Pesantren di Jawa
- April 16, 2022
- 2:06 am

Secara definisi, pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan agama Islam tertua di Indonesia. Konon, tradisi pondok pesantren sebagai tempat pendidikan ini pertama kali dilakukan saat masa Sunan Maulana Malik Ibrahim, wali Allah penyebar pertama di tanah Jawa. Hingga sekarang dipercayai, keberadaan masjid-masjid tidak bisa dipisahkan dengan pondok pesantren.
Tak hanya itu, kegiatan pendidikan Islam yang semula berawal dari masjid atau surau ini juga tak bisa dilepaskan dari peran besar para wali songo yang sebelumnya telah banyak mendirikan tempat ibadah sekaligus tenpat sebagai pusat kajian dan pembelajaran agama Islam secara utuh serta mendalam.
Dikutip dari laman Historia.id, Peneliti Bidang Arkeologi Islam di Balai Arkeologi Yogyakarta menjelaskan bahwa istilah pesantren sendiri berasal dari kata santri. Dimana, dalam bahasa Sanskerta, kata santri merupakan awalan dari kata cantrik yang memiliki arti murid yang sedang belajar di padepokan.

Sementara, kata pondok berasal dari bahasa Arab yakni funduuq dengan arti asrama, penginapan atau hotel. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa pondok merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional yang didalamnya terdapat para santri tinggal bersama sambil menimba ilmu dari para guru atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai.
Para santri ini akan datang dari berbagai pelosok daerah, lalu tinggal dan bermukim di pondok pesantren tersebut. Beberapa diantara dari mereka ada yang datang untuk belajar lalu menetap dan mengabdi di pondok, ada juga yang datang hanya untuk sekedar belajar lalu pulang ke daerah tempat tinggalnya.
Keberadaan masjid yang diisebut-sebut tidak bisa dilepaskan dengan pondok pesantren ini banyak dipercayai sebagai lokasi yang sangat tepat untuk mendidik para santri guna memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Terutama dalam hal praktik ibadah sholat lima waktu, khotbah dan shalat Jumat, serta pengkajian kitab-kitab klasik yang sudah berlangsung sejak abad ke 18.
Pasalnya, kajian kitab klasik yang diberikan kepada santri ini bukan tanpa alasan. Pada masa dulu, pengkajian kitab klasik ini mempunyai manfaat besar dimana sebagai upaya menerukan tujuan utama pondok pesantren seperti sejak pertama kali didirikan, yakni mendidik dan mencetak calon ulama yang setia terhadap paham-paham Islam tradisional.
Di era sekarang, kitab klasik yang dalam dunia pesantren lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Hal itu dikarenakan kitab-kitab dulu dicetak dengan menggunakan tinta dengan warna kuning agar tulisan yang tertera lebih jelas dan lebih mencolok apabila dilihat.
Pada awal perkembangannya dahulu, para santri di Jawa ini menggunakan metode sorogan selama belajar kitab kuning. Jika dalam bahasa Jawa, istilah sorog memiliki arti menyodorkan. Maka bisa ditarik kesimpulan apabila pada masa lampau, para santri bisa menyodorkan materi lalu langsung bertatap muka dengan sang guru atau kiai.
Beberapa tokoh agama bahkan meyakini bahwa metode sorogan ini cukup efektif dalam mempelajari kitab kuning. Dimana, dalam metode ini memang diharuskan para santri harus saling berhadap-hadapan dengan gurunya agar tidak mengubah makna yang terkandung dalam kitab. Hal itu menjadi salah satu metode penting dari sistem pembelajaran sorogan.
Selain metode sorogan, para santri di Indonesia khususnya di Jawa juga mengenal sistem bandongan dalam mempelajari kitab kuning. Sistem bandongan ini lebih mengarah kepada para santri yang akan menyimak penjelasan dari ulama atau kiai. Namun, metode ini biasanya dilakukan dalam forum tertentu dengan kuantitas yang cukup besar.
Sedikitnya, 5 hingga 300 santri bisa menggunakan metode bandongan ini dengan cara mendengarkan penjelasan dari para kiai, yang biasanya mengulas tentang buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Metode ini juga dipercayai sebagai metode yang banyak digunakan pada masa awal perkembangan Islam di Nusantara.
Barulah, sekitar pada abad ke-20 muncul metode baru yang hingga kini masih digunakan. Metode ini memang kelihatannya lebih formal apabila dibandingan dengan metode-metode sebelumnya. Dimana, para santri dibagi menjadi beberapa kelas seperti layaknya jenjang madrasah atau sekolah formal.
Institusi Pendidikan Islam Tradisional Jawa
Dalam buku “Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia” (1982) karya Marwan Saridjo, para wali Allah inilah yang kemudian banyak mendirikan masjid dan pesantren sebagai pusat keagamaan sekaligus menjadi tempat untuk mencetak kader-kader muballigh guna melanjutkan visinya mensyiarkan agama Islam.
Namun, bentuk dari pondok pesantren yang kini banyak menjamur di Indonesia tidak sama dengan pondok pesantren pada masa lampu. Pada waktu itu, banyak pesantren yang didirikan dengan bentuk yang sangat sederhana.
Seperti salah satunya, pondok pesantren yang didirikan oleh Sunan Ampel atau Rahmat di daerah Kembangkuning (Surabaya). Dimana, saat pertama kali didirikan pesantren ini hanya memiliki tiga santri masing-masing Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, serta Kiai Bangkuning. Dan di pesantren inilah, Raden Paku mondok sejah usia 11 tahun.
Secara garis besar, pondok pesantren pada jaman dahulu hanyalah sebuah tempat yang digunakan untuk mengkaji agama namun kurang terorganisir. Guru atau ulama yang lalu menyediakan dirinya untuk memberikan ilmu agama kepada para santri yang datang ke pondok pesantren tersebut, baik dengan menggunakan sistem sorogan atau bandongan.

Perkembangan jaman yang lambat laun merubah beberapa aspek kehidupan pun juga turut mengubah perjalanan pondok pesantren menjadi jauh lebih meningkat. Peningkatan tersebut bisa dilihat dari bidang pembelajaran ataupun seni pondok pesantren itu sendiri, baik secara fisik maupun non fisik.
Sementara, Zubaidi Habibullah As’ari dalam bukunya yang berjudul “Moralitas Pendidikan Pesantren” (1995) pernah menyebutkan bahwa pergeseran budaya di tengah-tengah lingkungan pesantren juga terjadi pada sikap para pengelola pondok yang semula condong kepada ekstrim feudal atau sikap enggan melebur menjadi lebih loyal dan dekat dengan para santri.
Selain itu, adanya tuntuntan kehidupan pesantren untuk menyesuaikan dengan relaitas zaman yang secara tidak langsung memaksa para tokoh pesantren melakukan studi banding. Dimana, studi banding tersebut akan lebih memperdalam keilmuan mereka dengan budaya pesantren dan budaya kontemporer.
Pasalnya, keterkaitan modernitas pesantren serta budaya kaum santri secara tidak langsung mampu memperkuat karakteristik tradisi pesantren namun tetap bisa mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan dunia.
Tidak hanya berhenti disitu saja, beberapa tradisi dari pesantren pernah menyebutkan bahwa pengetahuan itu bisa dilihat dari jumlah buku yang dipelajarinya, kepada ulama ia berguru serta standar buku yang harus dikuasai oleh para santri dengan cara merujuk pada ketentuan pondok pesantren.
Dengan begitu akan sangat mudah terlihat bahwa sistem pendidikan yang dijalankan oleh pondok pesantren lebih mengutamakan terbentuknya pribadi santri yang utuh dan sesuai dengan tuntutan Islam. Namun, tanpa mengurangi arti penting dari setiap bentuk ilmu pengetahuan yang mengglobal.
Pesantren dan Kebudayaan Islam
Peran besar yang telah diberikan oleh para wali songo memang memberikan manfaat luar biasa untuk perkembangan pondok pesantren di nusantara. Metode-metode yang diajarkan pun sangat sederhana hingga mudah dipahami dan diterima masyarakat pribumi, pendekatan yang juga dilalui melalui tahap yang cukup panjang.
Strategi kebudayaan yang digunakan oleh wali songo guna menumbuhkan Islam di bumi Jawa memang sangat mudah ditebak dan dinilai. Bahkan, mereka sama sekali tidak menghilangkan unsur tradisi identitas asli pribumi, malah melanjutkan tradisi yang ada dengan ada penambahan unsur agama Islam didalamnya.
Lalu, proses pengajaran seperti itulah yang akhirnya mendarah daging dalam metode belajar di pondok pesantren. Dimana, para santri tetap belajar agama sebagai modal dan tujuan utama, namun ia tidak akan meninggalkan asal usul tempat tinggalnya yakni di Jawa sebagai salah satu pembelajaran yang harus tetap dimaknai dengan ilmu pengetahuan.
Sesuai hal dengan pernyataan Martin van Bruinessen dalam bukunya yang berjudul “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat” (2012) yang menyebutkan bahwa bukan rahasia lagi apabila banyak dari tokoh agama yang menganggap pondok pesantren merupakan bentuk definitif dari pranata pendidikan pribumi asli yang masih dikenali dan hidup hingga sekarang ini.
Jika ditelisik, pranata pendidikan Islam tradisional Jawa yang memang sudah ada sejak zaman dahulu. Terutama saat masa Islam masuk ke Jawa, dengan corak pengajarannya yang lebih condong kepada tasawuf atau mistisisme, sama seperti apa yang telah diwariskan oleh para wali di masa proses Islamisasi.
Secara garis besar, sebenarnya proses manajemen pendidikan Islam di lingkungan pondok pesantren ini bisa ditentukan dari karakteristik dari pesantren masing-masing. Dimana, setiap pesantren tentu mempunyai corak manajerial yang berbeda-beda dan tentunya bisa mempengaruhi manajerial pendidikan yang tengah dilaksanakan.
Terlepas dari itu semua, ada satu poin yang memang patut diakui dari keberadaan pesantren, yakni pada masa-masa awal penyebaran Islam juga menjadi salah satu sarana syiar Islam di tanah Jawa, hingga akhirnya berkembang menjadi sebuah tempat yang dianggap cocok untuk melakukan konsolidasi perjuangan dalam mengencarkan perlawanan kepada para penjajah Hindia Belanda.
Namun, Irfan Afifi pernah berkata dalam bukunya “Saya, Jawa, dan Islam” (2019), pesantren dengan khazanah keilmuan klasik maupun tradisi tasawuf yang menubuh dalam intitusinya sebenarnya mempunyai tantangan serius untuk menangkal gelombang purifikasi ataupun puritanisme yang seakan tengah bersemboyan “kembali pada Al-Qur’an dan Hadis”.
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan