Mengenal Ritual Jamasan Pusaka dalam Lampah Hastungkara Bumi Magetan
- Oktober 23, 2022
- 3:42 pm

SANTRI KERTONYONO – Lampah Hastungkara merupakan kegiatan yang rutin dilakukan oleh beberapa komunitas budaya di Kabupaten Magetan saat menjelang bulan Muharram atau dalam penanggalan Jawa memasuki bulan Suro.
Sebagai warisan budaya leluhur, tradisi ini disimbolkan sebagai wujud doa dan harapan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik.
Secara umum, kegiatan Lampah Hastungkara Bumi Magetan ini tak lain sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan kenikmatan, rejeki, hasil panen yang baik, sikap mawas diri, serta berharap agar tahun yang akan datang senantiasa diberkahi kondisi dan situasi yang lebih baik.
Bagi masyarakat Jawa, tahun baru dimaknai sebagai laku prihatin yang seharusnya dipenuhi dengan lantunan doa untuk memohon keberkahan dan keselamatan di masa yang akan datang. Terlebih, kegiatan ini tak bisa begitu saja dilepaskan dari bagian budaya Jawa serta warisan leluhur yang telah mandarah daging.
Kegiatan ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan ritual-ritual Jawa yang lain, yakni meliputi doa-doa yang dilakukan oleh peserta lampah di Pendapa Surya Graha. Syair-syair mocopat yang seringkali dipandu oleh seorang Romo Projo dari Abdi Yogyakarta juga turut melengkapi acara tersebut.
Sebagai salah satu orang nomor satu di Kabupaten Magetan, sosok Bupati mempunyai wewenang untuk menyerahkan pusaka kepada peserta lampah, yang selanjutnya akan di kirab dengan Lampah Hastungkara Bumi Magetan mengelilingi sebagian besar wilayah kota Magetan.
Setelah melakukan kirab, seluruh peserta lampah akan mengakhiri kegiatannya di Alun-Alun Magetan. Prosesi kegiatan dilanjutkan dengan jamasan pusaka yang dilakukan oleh sesepuh setempat, bernama Empu Daliman.
Setelahnya dilakukan dengan menyelaraskan pusaka atau sidikoro dengan melakukan doa bersama dengan seluruh peserta lampah dan masyarakat yang hadir.
Berkah rahayu berupa sego golong yang sebelumna telah didoakan lantas akan dibagi-bagikan kepada seluru peserta yang mengikuti upacara ritual ini.
Sebelum akhirnya pusaka tersebut dikembalikan lagi ke tempat penyimpanannya yang berada di gedung pusaka.
Perayaan saat akan memasuki pergantian tahun dimaknai cukup berbeda oleh beberapa orang. Jika orang-orang barat merayakannya dengan penuh suka cita hingga pesta besar-besaran.
Maka bagi orang Indonesia sendiri yang masih kental akan tradisi leluhur memaknainya dengan laku prihatin dan memanjatkan doa agar tahun depan selalu di limpahi keberkahan.
Prosesi Lampah Hastungkara
Dengan warisan budaya yang masih terus dilestarikan hingga saat ini, banyak sekali budayawan khususnya yang ada di Kabupaten Magetan berharap budaya Indonesia tetap dalam jalurnya.
Sebuah konsep kadipaten miniatur dari keraton kecil, serta sejarah kadipaten dan daerah-daerah taklukannya.
Konsep yang berawal dari sebuah tradisi Jawa yang sangat kental dan menyeluruh di semua bidang. Seperti halnya konsep-konsep dari kadipaten seperti pendopo, bangunan masjid, serta alun-alun dengan pohon beringin lengkap di belakangnya ada kauman. Kurang lebih seperti itulah konsep kadipaten Jawa.
Sementara, makna dari kirab pusaka sendiri bertujuan untuk mensucikan yang mempunyai pengertian sama untuk tahun-tahun berikutnya.
Sebagian masyarakat Jawa memiliki sanepo bahwa kita semua adalah manusia yang kotor, maka setiap pergantian tahun perlu prosesi mensucikan diri agar ke depannya bisa lebih baik.
Kegiatan Lampah Hastungkara ini sebenarnya merupakan hasil inisiatif dari para penggiat seni dan budaya yang ada di Kabupaten Magetan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha untuk melestarikan adat dan tradisi menyambut tahun baru Jawa.

Warga yang bertugas mengikuti prosesi ini secara khusus akan mengenakan pakaian adat Jawa. Bagi laki-laki, mereka akan mengenakan pakaian adat, blangkon dan juga keris yang disematkan di pinggang.
Sementara bagi perempuan, akan mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul dan kain jarik yang melilit dari pinggan hingga kaki.
Mereka akan berjalan menuju Alun-Alun Magetan sebagai tempat puncak acaranya. duduk bersila sambil mendengar macapat-macapat yang dilatunkan oleh tokoh atau sesepuh setempat. Tak hanya satu atau dua orang, terhitung hampir puluhan orang yang terlibat langsung dalam prosesi ini.
Tak hanya budayawan atau sesepuh adat yang mengikuti acara ini, mulai dari pemerintah daerah hingga masyarakat umum tumpah ruah dalam kegiatan tahunan yang rutin dilakukan di Magetan.
Tak hanya sekedar tradisi untuk menghormati leluhur, tradisi ini juga dilakukan sebagai pelindung dari segala keburukan yang bisa saja terjadi di masa yang akan datang.
Tradisi Jamasan Pusaka
Tradisi masyarakat kejawen memang tidak bisa dilepaskan dari ritual-ritual yang diyakini mampu mendatangkan hal-hal baik. Selain tradisi kungkum yang begitu dikenal sebagai prosesi kejawen setiap tanggal satu suro, juga terdapat ritual jamasan pusaka peninggalan leluhur.
Dalam budaya Jawa sendiri, tradisi seperti ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang memang bertugas untuk menghargai sekaligus merawat peninggalan para pejuang tokoh tanah Jawa. Peninggalan in pun beraneka ragam, salah satunya yakni benda pusaka.
Penghargaan itu bisa dilakukan dengan menggelar jamasan pusaka yang dimiliki, dimana jamasan pusaka ini berasal dari Bahasa Jawa Kromo Inggil yakni Jamas yang berarti cuci, mandi atau membersihkan. Sedangkan kata pusaka merupakan penyebutan untuk benda-benda yang dikeramatkan hingga benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan sakral.
Tradisi jamasan ini sangat lestari di kalangan masyarakat Jawa, bagaimana tidak? Tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan rutin dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagai salah satu penghormatan kepada leluhur, dengan membersihkan pusakanya dengan cara di cuci.
Menurut penanggalan kalender Jawa, pusaka-pusaka ini hanya khusus bisa dimandikan tepat di malam satu suro. Jamasan pusaka juga akan dibarengi dengan prosesi tirakatan di desa-desa dan berdoa besama sebagai wujud guyub rukun antar warga.
Pemilihan tanggal satu suro sebagai hari sakral jamasan pusaka juga bukan tanpa alasan. Tanggal ini dipilih karena merupakan sebuah penanda tahun baru Islam. Hal ini menunjukkan bahwa, tradisi kejawen pun bisa berjalan beriringan dengan agama.
Selain, bulan suro juga dianggap sebagai bulan yang cukup special bagi orang Jawa. Pada bulan suro ini merupakan bulan pertama dalam penanggalan kalender Jawa yang dipercayai sebagai bulan keramat, penuh dengan larangan, dan pantangan.
Oleh karena itu, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa yang selalu menghindari bulan suro ini untuk melakukan kegiatan besar seperti pernikahan. Semata-mata untuk menghindari nasib sial, apes dan tidak beruntung.
Secara umum, benda-benda pusaka yang di jamasi beraneka ragam dan hamper sama di setiap wilayahnya. Pusaka tersebut seperti keris, tombak, kereta kencana, gamelan, peninggalan-peninggalan kerajaan serta beberapa benda peralatan upacara.
Tak sedikit masyarakat Jawa yang meyakini bahwa jamasan pusakan merupakan cara untuk menghargai dan melindungi warisan peninggalan leluhur agar tetap terjaga dengan baik. Sekaligus, kembali mengingatkan bahwa ada perjuangan para pendahulu yang harus di hormati.
Dalam ritual jamasan, seluruh benda-benda pusaka akan di cuci menggunakan warangan atau sebuah larutan kimia yang biasanya berasal dari perpaduan jeruk nipis yang dicampur dengan serbuk batu warang.
Yang berhak mencuci pusaka juga bukan orang sembarangan, jamasan pusaka ini akan dilakukan oleh sesepuh adat atau tokoh setempat.
Warangan yang terbuat dari arseni ini mempunyai manfaat untuk melindungi pusaka dari karat atau kerusakan yang lain. Sebagai sentuhan terakhir, pusaka akan diolesi dengan minyak kelapa yang sebelumnya sudah di campur dengan minyak cendana.
Dengan mencuci pusaka ini, tak sedikit masyarakat Jawa yang percaya bahwa ia akan dihindarkan dari segala bentuk kesialan dan kesukaran. Karena memang tujuan dari jamasan ini adalah menghilangkan energi negativf serta pengaruh-pengaruh yang mungkin saja melekat pada pusaka itu.
Baca juga
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang