Memahami Islam Kejawen
- Maret 17, 2022
- 10:13 pm

Sejak dahulu, masyarakat Jawa sangat dikenal dengan keteguhan dan kekayaan ilmu pengetahuan baik berupa ilmu pengetahuan dalam bentuk naskah kuno ataupun ilmu pengetahuan dalam bentuk kerohanian. Kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa ini tak pelak dijadikan sebagai pegangan hidup hingga sekarang.
Seluruh kumpulan pandangan hidup sepanjang peradaban masyarakat Jawa itu di rangkum hingga menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat umum dan bisa diterapkan pada semua lini kehidupan. Ilmu-ilmu tersebut memuat ajaran universal yang selalu melekat bahkan berdampingan dengan suatu agama.
Seluruh pandangan hidup yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Suku Jawa tersebut biasanya lebih dikenal dengan penyebutan Kejawen. Meskipun Kejawen identik dengan agama atau sebuah keyakinan, namun beberapa literasi menyebutkan bahwa beberapa kitab dan naskah Jawa kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama tetapi Kejawen juga tidak bisa dilepaskan dari agama.
Tentunya, Kejawen merupakan ilmu yang tidak boleh diperdebatkan apalagi di kotak-kotakan pada unsur-unsur tertentu. Sebab, Kejawen tersebut lahir berlandaskan pada suatu ajaran agama yang dianut pada masa-masa lampau.

*Islam dan Jawa
Dalam buku yang berjudul “Sejarah Islam di Jawa Menelusuri Geneologi Islam di Jawa” (2020) karya Kamil Hamid Baidawi dijelaskan bahwa proses penyebaran agama Islam di Nusantara tepatnya di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran tasawuf dan tarekat. Maka tidak mengherankan, apabila proses penyebaran Islam disebarkan melalui cara-cara damai dan santun.
Selain itu, kesantunan tersebut kerap dijadikan sebagai sikap dasar para pendakwah dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Terlebih untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa ini sangat memungkinkan dipengaruhi oleh unsur keberadaan para da’i yang tak lain juga merupakan seorang sufi.
Keberadaan para Wali Songo juga memegang peranan sangat penting dalam proses penyebaran Islam serta perkembangan tarekat Islam di tanah Jawa. Sejak itulah, Wali Songo melanjutkan estafet perjuangan dalam menyebarkan Islam. Dimana, mereka menghadirkan Islam dengan sikap-sikap yang adaptif dan akomodatif terhadap tradisi lokal.
Tak hanya berhenti di situ saja, sisi religiusitas masyarakat Jawa yang bercorak esoterik atau sangat menghargai dimensi olah batin, menjadikan kehadiran Islam dengan ajaran-ajaran tasawufnya ini begitu mudah diterima oleh masyarakat.
Itulah alasan besar mengapa corak Islam Jawa dalam banyak hal terlihat cenderung mengedepankan wajah akomodatif jika dibandingkan Islam di negara asalnya. Derajat penerimaan budaya Jawa dengan ajaran Islam tepatnya di kalangan masyarakat Jawa tidaklah tunggal. Hal tersebut merujuk pada pernyataan Cliiford Geertz yang memetakan menjadi kelompok kultural santri, priayi, dan abangan sebagai varian dari Muslim Jawa berdasarkan simbolitas kebudayaannya.
Dengan menggunakan ketiga tipologi tersebut, Geertz seolah ingin menegaskan bahwa agama Islam di Jawa merupakan kumpulan dari ekspresi iman, doktrin, ritual dan sebagainya yang di praktekkan oleh masyarakat sesuai dengan tradisi lokal atau tempat dan waktu seiring dengan perkembangan dan penyebarannya.
Selain itu, konteks kehadiran Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa juga mengambil dari bentuk akomodasi, integrasi, menyerap dan berdialog dengan akar-akar serta budaya non-Islam, terutama pada keyakinan animisme dan hinduisme.
Menurut Ahwan Fanani dalam bukunya yang berjudul “Jejak Islam dalam Kebudayaan Islam” (2020), nilai Islam dan etika Jawa terlihat dari ajaran-ajaran agama yang kini menjadi salah satu sumber dalam pembentukan etika Jawa. Saat itu, Islam menyatu dalam kehidupan masyarakat Jawa sehingga nilai-nilai Islam bisa diserap dan di transmisikan kepada masyarakat melalui media yang bisa diterima.
Secara umum, etika Jawa tersebut telah mendapat pengaruh dari Islam namun dengan kondisi yang berbeda-beda. Pertama, ada etika Jawa yang lebih menekankan upaya penerimaan syariat Islam sebagai bentuk tata krama yang diajarkan oleh Rasulullah serta ada yang menekankan kepada ajaran leluhur dan para raja.
Islam Kejawen
Seorang ahli sastra Jawa Prof. Simuh mengemukakan bahwa munculnya paham Islam Kejawen berkaitan dengan struktur kekuasaan raja-raja Mataram. Dimana, kala itu Kerajaan Mataram menghendaki untuk mempertahankan kebudayaan dan sastra Jawa yang dipercaya merupakan fondasi berdirinya kerajaan tersebut. Sementara, pada masa tradisi Islam di Jawa yang dibawa oleh para wali diantaranya sastra dan kebudayaan hanya bisa dipertahankan apabila dipadukan dengan unsur Islam-nya itu sendiri.
Selanjutnya, dalam buku yang berjudul “Islam Kejawen” (2001) karya Mark R. Woodward, kala itu banyak dari kalangan Muslim yang berpandangan bahwa mempertahankan kebudayaan dan sastra Jawa warisan pra-Islam sama saja membuat jurang pemisah antara masyarakat pesantren dengan kejawen.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi masalah ini serta menjaga kestabilitasan politik maka pihak kerajaan menggerakkan para sastrawan Jawa untuk mempertemukan tradisi atau budaya pra-Islam (kejawen) dengan unsur Islam. Dengan begitu, hal-hal dalam Islam yang selaras dengan budaya kejawen bisa dipadukan, akhirnya lahirlah istilah Kejawen.
Tak berbeda jauh dengan pendapat yang kemukakan oleh Franz Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa” (2001), secara filosofis istilah Kejawen pada dasarnya mempunyai hubungan dengan pandangan dunia orang-orang Jawa yang menyangkut masalah-masalah agama.
Maka dari itulah, ketika dihubungkan dengan pandangan dunia Jawa atau bahkan kehidupan umat Islam di Jawa, maka kehidupan keberagamaannya dapat dipandang sebagai Islam Kejawen yang berarti Islam dalam kultur orang-orang Jawa.
Sementara itu, masyarakat Jawa juga erat kaitannya dengan ritual Selametan yang digelar untuk menciptakan keselarasan batin antara dirinya dengan realitas sehingga terciptanya keadaan yang selamat.
Ritual turun temurun selametan dipercaya merupakan pandangan orang Jawa yang menegaskan bahwa keberhasilan manusia ditentukan dari sejauh ia berhasil menyerahkan diri atau biasa disebut dengan sejauh mana ia mampu menembus sebuah realitas dengan tujuan terwujudnya suatu keadaan selamat, kedamaian dan ketenangan batin.
Esensi Islam Kejawen juga dijelaskan Alan Richardson dalam bukunya “Dictionary of Christian Theology” (1969) yang di kutip dari pernyataan Niels Mulder, dimana mentalitas Kejawen cenderung mengarah kepada sinkretisme. Sehingga istilah Islam Kejawen bisa dikatakan mempunyai basis pandangan sinkretis dan toleran.
Jika dilihat dari definisi agama, sinkretisme merupakan suatu pandangan atau sikap yang tidak pernah mempersoalkan benar atau salahnya tatanan agama. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa para pemeluk Islam Kejawen kerap memadukan unsur-unsur dari berbagai agama.
Sementara, beberapa tokoh Islam sempat mengalami perdebatan karena memandang ada unsur penyimpangan dalam tradisi Islam Kejawen. Terlepas dari hal tersebut, selama ini Islam Kejawen telah memuat pelajaran berharga dalam beberapa aspek tertentu. Dimana pelajaran berharga itu dapat menjadikan masyarakat Jawa tetap berada dalam persatuan dan kedamaian.
Hal tersebut juga diperkuat oleh artikel yang ditulis Dr. Syamsul Bakri, M. Ag dengan judul “Islam Kejawen ( Agama dalam Kesejarahan Kultur Lokal, 2016)” dimana secara sosio-kultural Islam Kejawen merupakan sub kultur dan bagian dari budaya Jawa. Sedangkan secara sub-kultural kebudayaan Jawa sendiri meliputi wilayah di tanah Jawa yakni budaya pesisiran (Pantura), Banyumasan, serta budaya Nagari Agung.
Secara harfiah, istilah Islam Kejawen berkembang pada sekelompok masyarakat sebagai bentuk dari budaya dan tradisi bekas Kerajaan Mataraman Islam yang berada di Yogyakarta. Masing-masing yakni Kasultanan dan Pakualaman maupun Surakarta yang termasuk dalam Kasunanan dan Mangkunegaran.
Jika bisa ditarik benang merahnya, Islam Kejawen merupakan agama Islam yang telah beradaptasi dengan kultur dan tradisi Nagari Agung. Setelah itu tak lama menciptakan sebuah identitas baru penggabungan antara budaya Jawa dan Islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa.
Dimana, budaya Islam Kejawen tersebut merupakan bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal. Sehingga, Islam Kejawen kerapkali dikaitkan dengan fenomena keberagaman yang kental akan unsur-unsur tradisi religius yang berbau mistis.
Terlebih setelah kerajaan eks-Mataram di Yogyakarta terpecah menjadi dua yakni masing-masing menjadi Kasultanan dan Pakualaman serta Kerajaan Surakarta menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran. Saat era itulah terjadi pergeseran dari antusiasme politik menjadi antusiasme kultural.
Sejak saat itu, Budaya Islam di Jawa lebih dikenal dengan mistisme Islam Jawa yang kental akan muatan sufistik mulai berkembang secara pesat. Selain itu, buku dan karya-karya budaya Islam juga ikut berkembang seperti buku-buku (serat) Jawa Kuno dengan bahasa Kawi dan Sansekerta.
Lalu, terdapat kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab-Melayu) serta kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab dari Timur Tengah yang mulai digubah dalam bahasa Jawa yang diadaptasi seperlunya terhadap alam pikiran masyarakat Jawa tanpa kehilangan substansinya.
Tentunya sudah banyak beredar karya-karya Islam Kejawen yang mampu memperkaya khazanah diantaranya seperti Serat Centhini yang ditulis oleh Yosodipuro II, Ronggo Sutrasno serta R. Ng. Ronggowarsito yang kala itu sangat mewarnai kesustraan Islam Kejawen.
Selain itu, juga terdapat kitab dan sastra karya para wali seperti Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Ronggowarsito, Serat Wulangreh hasil karya dari Paku Buwono IV serta Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkoenegoro IV yang tentunya turut menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dalam khazanah pemikiran dan kultur Islam Kejawen.
Baca juga
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang