Mbah Witono, Sang Pemula Pembawa Islam di Kalangbret Tulungagung
- Desember 17, 2021
- 9:12 pm

Syekh Hasan Ghozali atau Kiai Ageng Witono adalah seorang ulama yang mula-mula mengaji Islam secara mendalam di masyarakat Kalangbret, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Kerajaan Majapahit memang sudah runtuh. Digantikan Kesultanan Demak yang berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Sejak itu, agama Islam berkembang.
Kendati demikian, nilai-nilai lama Majapahit masih memiliki tempat yang kuat di daerah. Khususnya di Kalangbret, yakni sebuah wilayah yang asal-usul namanya merujuk pada peristiwa pembunuhan Adipati Kalang terhadap Pangeran Majapahit Lembu Peteng.
Perkembangan Islam terus berlanjut pada era Kerajaan Pajang hingga Kerajaan Mataram. Syekh Ghozali tidak hanya mengenalkan Islam, tapi mengkajinya lebih mendalam.
Di Kalangbret, Syekh Ghozali tinggal di lingkungan sosial di mana situasi kebatinan peninggalan Majapahit masih berpengaruh kuat. Islam memang sudah dikenal. Pemeluknya juga bermunculan di mana-mana. Namun keyakinan lama masih memberi warna yang kuat. Simbol-simbol masih berdiri tegak. Tradisi lama masih berjalan sebagai mana adanya. Nyadran, danyangan, cok bakal di sawah.

“Pengaruh Hindu dan Budha masa Majapahit di Kalangbret masih berkelindan kuat,” demikian sumber tutur menyebutkan.
Dengan pendekatan yang lembut, Syekh Ghozali mengenalkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Ia mengaji secara mendalam bagaimana Islam datang untuk memberi rahmat bagi sesama. Walhasil, masyarakat Kalangbret menerimanya. Dawuh Syekh Ghozali didengarkan.
“Syekh Hasan Ghozali kemudian mendapat panggilan Mbah Witono,” tulis sumber lisan.
Panggilan lebih lengkapnya Kiai Ageng Witono atau Kiai Naib Witono atau Kiai Mangun Witono. Konon, kata Witono merupakan akronim dari bahasa Jawa “Wiwitane ono”. Artinya yang mula-mula, atau ada yang memulai. Dalam makna lebih luas, masyarakat menganggap Syekh Ghozali sebagai yang mula-mula melakukan kajian Islam secara mendalam di Kalangbret.
Dalam Kamus Kawi-Indonesia karya Prof Drs. S Wojowasito, “Wit” berarti pokok atau pangkal. Sedangkan kata “Witono” atau “Witana” dalam bahasa Kawi bermakna tahta yang mendapat tambahan atap.
Keturunan Sunan Tembayat
Syekh Ghozali atau Mbah Witono juga seorang naib atau penghulu pada masa Kraton Surakarta. Begitu pula dengan Kiai Raden Taklim adiknya, yang bermakam di lereng Gunung Pegat, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Juga seorang penghulu. Kiai Raden Taklim seorang ulama yang banyak menurunkan para penghulu di Blitar.
Salah satu putra Kiai Raden Taklim adalah Kiai Raden Muhammad Kasiman yang dikenal sebagai leluhur pendiri Masjid Agung Kota Blitar. Lalu, bagaimana dengan silsilah dari Mbah Witono?
Mbah Witono merupakan keturunan atau generasi kesembilan dari Sunan Tembayat atau Syekh Hasan Nawawi, Klaten, Jawa Tengah. Sunan Tembayat seorang waliyullah murid Sunan Kalijaga.
“Sunan Tembayat, Panembahan Jiwo (Syekh Ishaq), Panembahan Masjid Wetan, Pangeran Sumendi I, Pangeran Sumendi II yang berada di Jetis Ponorogo, Pangeran Kabo, Pangeran Ratmojo, Kiai Ageng Donopuro, dan Kiai Ageng Witono atau Mbah Witono,” demikian silsilahnya.
Mbah Witono menikah dengan Nyai Jarakan. Dari pernikahan itu menurunkan sejumlah putra dan putri. Yang berhasil terlacak ada empat orang. Diantaranya Kiai Imam Jauhari, Gondang Tulungagung, Kiai Imam Muntaha (Mbah Muntoho) yang diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Desa Jarakan, Gondang Tulungagung, Kiai Gembrang Serang atau Kiai Ageng Nur Rahmatullah yang terkenal memiliki ilmu kanuragan pilih tanding, dan Nyai Robi’ah.
Para dzuriyah (keturunan) Mbah Witono banyak yang menyebar di wilayah Tulungagung, Blitar, Kediri dan Malang. Dzuriyah Mbah Witono di Tulungagung dan Blitar banyak yang mendirikan pondok pesantren.
Kiai Syakban yang bermakam di pesarean Mbrebesmili Santren, Bedali, Desa Purwokerto, Kecamatan Srengat, merupakan dzuriyah Mbah Witono. Kemudian juga Muhammad Asrori, pendiri Masjid Al-Asrar Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Nyai Tsamaniyah yang menikah dengan Kiai Imam Muhtar, Kerjen Srengat, KH Miftahul Huda Dermojayan Srengat dan Afifuddin Nurwijaya.
Di wilayah Blitar, keturunan Mbah Witono banyak yang menikah dengan keturunan Kiai Raden Taklim, adiknya. Dalam berjuang mengembangkan Islam, Mbah Witono berjalan bersama Syekh Hasan Mimbar, Tawangsari, Tulungagung. Syekh Hasan Mimbar merupakan karibnya yang juga banyak menurunkan dzuriyah di wilayah Tulungagung, Blitar, Kediri dan Malang.
Mbah Witono juga selalu berkoordinasi dengan para dzuriyah Sunan Tembayat yang bertempat tinggal di Lodoyo, Blitar Selatan. Yakni keluarga Raden Setro Manggolo atau Syekh Abu Naim Fathullah dan keluarga Raden Ragil Siddiq atau Eyang Siddiq. Raden Setro Manggolo dan Raden Ragil Siddiq bermakam di sebelah barat Makam Sentono, Lodoyo Blitar.
Saat tutup usia Mbah Witono dikembumikan di Kalangbret Tulungagung. Makam Mbah Witono berada di area masjid Tiban Al-Istimrar. Sejumlah sumber menyebutkan, lokasi makam Mbah Witono dulunya merupakan tanah kosong dengan pepohonan besar. Pendirian bangunan masjid Tiban Al-Istimrar di area makam dilakukan oleh generasi Islam sesudah Mbah Witono mangkat.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara