Maling Aguno dan Maling Gentiri, Sebuah Kisah Wali Berandal Jawa

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
makam-maling-aguno
Sebuah makam di dusun Prambutan yang diyakini merupakan makam Maling Aguno /Foto: travellersblitar.com

santrikertonyonoSiapa sebenarnya Maling Aguno, sampai sekarang masih menjadi misteri. Sebuah situs kuno di atas tebing kawasan Gunung Pegat Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar Jawa Timur, diyakini sebagai kuburnya meski ada sebagian yang menyebutnya petilasan.

Situs itu berupa gundukan tanah. Di atasnya bertumpuk bebatuan candi dengan posisi tak beraturan. “Saya pertama kali ziarah ke makam Maling Aguno saat madrasah tsanawiyah (setingkat SMP). Bentuknya dari dulu seperti itu,” tutur Tatok (52), warga Desa Kalipucung, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar.

Tanpa ada papan petunjuk atau sejenisnya, lokasi situs Maling Aguno terkesan tersembunyi. Jalan setapak tanah yang sewaktu-waktu berubah licin saat hujan mengguyur, menjadi akses satu-satunya. Sebuah cungkup makam berbentuk terbuka, berdiri memayungi. Lantainya berlapis keramik warna merah.

Informasinya, pembangunan cungkup situs Maling Aguno berasal dari swadaya para peziarah yang meyakini sosok Maling Aguno benar-benar ada. Tatok termasuk salah satu orang yang percaya Maling Aguno bukan tokoh fiksi. Dalam cerita tutur menyebutkan, Maling Aguno sebagai berandal budiman.

Nama Maling Aguno harum, terutama bagi rakyat jelata. Kenapa demikian?. “Karena yang disatroni hanya orang-orang kaya,” kata Tatok. Orang kaya yang dimaksud adalah para kaki tangan Kompeni Belanda. Mereka yang memperoleh kekayaan dengan jalan menindas rakyat.

Oleh Maling Aguno, harta mereka dikuras dan dibagi-bagikan kepada rakyat jelata yang membutuhkan. “Sepak terjang tokoh ini seperti Berandal Lokajaya di Tuban, atau Robin Hood dalam legenda rakyat Inggris,” katanya.

Kompeni Belanda pun terusik. Mereka kemudian mencoba menghentikan sepak terjang Maling Aguno, namun selalu gagal. Setiap hendak dikepung, Maling Aguno tiba-tiba menghilang. Konon, Maling Aguno mampu menerobos rumah hanya melalui ventilasi yang tersorot cahaya.

Lalu dalam satu kedipan mata, tubuhnya bisa berpindah tempat dalam waktu yang cepat. “Katanya asal ada cahaya, ia bisa menerobos masuk lewat mana saja,” tambahnya. Pada medio tahun 80-90 an kata Tatok, banyak seniman ludruk yang mementaskan lakon Maling Aguno di Blitar.

Masyarakat menyukai kisah ini. Menurut Tatok, Maling Aguno merupakan simbol perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang tidak berpihak dan hukum yang tak adil. “Dan setiap jaman tentu ada Maling Aguno. Hanya saja cara yang dilakukan berbeda-beda,” katanya.

Yoni-dan-Kala-Candi-Pertapan
Yoni dan Kala Candi Pertapan di Gunung Pegat /Foto: travellersblitar.com

Bandit Sosial Pelawan Kekuasaan Lalim

Kisah Maling Aguno tak hanya dimiliki masyarakat Blitar. Warga Kediri yang bersebelahan dengan Blitar juga memiliki cerita berandal budimannya. Sebuah situs di ketinggian bukit Maskumambang Kota Kediri, dipercaya sebagai makam Maling Gentiri atau Ki Boncolono.

Dibanding Maling Aguno, akses menuju situs Maling Gentiri lebih bagus. Sejak tahun 2004, jalan menuju situs telah berubah beton dengan 555 anak tangga serta pegangan besi panjang. Di lokasi situs berdiri gapura pintu masuk. Sebuah prasasti berada di sebelahnya.

Keberadaan prasati untuk memperingati penyerahan resmi situs makam Maling Gentiri oleh keturunan Maling Gentiri kepada pemerintah kota Kediri. Japto Soerjosoemarno selaku kepala keluarga besar Maling Gentiri, yang menandatangani prasasti. Japto merupakan petinggi ormas Pemuda Pancasila.

Pak Japto adalah keturunan Boncolono angkatan ketujuh,” ujar Heri Suworo juru kunci situs Maling Gentiri seperti tertulis dalam buku Wali Berandal Tanah Jawa. Sama halnya dengan Maling Aguno. Maling Gentiri juga dicintai rakyat. Hasil jarahan harta orang-orang kaya antek Kompeni Belanda, juga ia bagi-bagikan kepada rakyat jelata.

Maling Gentiri melawan kebijakan tanam paksa yang timbul paska Perang Jawa (1825-1830) dengan caranya sendiri. Ia marah melihat hak-hak petani dan buruh perkebunan dirampas. Tercatat pada tahun 1891, terjadi ketimpangan parah antara gaji priyayi dengan upah buruh.

Bupati menerima gaji f600 sebulan. Penewu dan mantri masing-masing menerima f50 dan f35. Bupati masih menerima tanah apanage. Sedangkan buruh hanya diupah 12,5 sen dan diberi makan sekali. Situasi yang menjadi alasan seorang berandal budiman beraksi.

Wong cilik hanya makan nasi dan lauk gereh dan uang pun tidak pernah ada di tangan,” demikian yang tertulis dalam Bandit-bandit Pedesaan di Jawa, Studi Historis 1850-1942 (1993).

Yang dilakukan Maling Gentiri sama dengan aksi penjarahan Maling Aguno di Blitar, Maling Cluring di Jombang, dan Berandal Lokajaya di Tuban. Serupa juga dengan Robin Hood di Inggris, Diego Carrientes di Spanyol atau Janosik di Slovakia.

Aksi perbanditan yang dilakukan Maling Gentiri merupakan resistensi terhadap kemiskinan, tekanan pajak, kerja wajib dan tekanan sosio politik. Namun maling atau pencuri dan begal, meskipun sering dilakukan lebih dari seseorang, masih digolongkan resistensi individu.

James .C. Scott dalam buku Perlawanan Kaum Tani menyebut, kegiatan tersebut tidak memerlukan organisasi formal. “Mereka tidak mempunyai pendukung yang secara terbuka bersedia memikul tanggung jawabnya,” tulisnya.

Gangguan ekonomi yang terjadi berkali-kali itu pada akhirnya membuat kompeni Belanda terganggu dan memburu Maling Gentiri. Namun berandal budiman itu tak mudah ditangkap, apalagi dihabisi. Ajian rawa rontek atau pancasona melindunginya dari ajal. Setiap dibunuh, asal ada bagian tubuh menyentuh tanah, Maling Gentiri hidup lagi.

Dalam portal Kediri Raya disebutkan, dengan menyuap jawara-jawara pribumi, Belanda akhirnya berhasil menemukan pengapesan Maling Gentiri. Kepala maling budiman itu dipenggal dan diletakkan di tempat yang dipisahkan Sungai Brantas. Situs di atas bukit Maskumambang diyakini sebagai makam tubuh Maling Gentiri.

Situs itu berada pada sisi barat Sungai Brantas. Kolonial Belanda menempatkan kepala Maling Gentiri di sebuah tempat di Jalan Joyoboyo Kota Kediri. Situs yang diyakini sebagai makam kepala Maling Gentiri itu bernama Punden Ringin Sirah. Lokasi ini berada pada sisi timur Sungai Brantas.

Sama dengan situs di bukit Maskumambang. Pada hari-hari tertentu banyak peziarah yang mendatanginya. Dalam Wali Berandal Tanah Jawa, George Quinn menuliskan pemisahan kepala dan tubuh Maling Gentiri adalah simbol dari cara kolonial Belanda melumpuhkan perlawanan rakyat.

Ketika Belanda memenggal kepala Maling Gentiri dan menanam dua bagian tubuh pada sisi Sungai Brantas yang berseberangan, seolah-olah telah memisahkan pemimpin, yakni kepala dari pengikutnya (badan). “Dengan cara begitu mereka melumpuhkan rakyat Indonesia”.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI