Makna dan Filosofi Wayang Punakawan dalam Misi Syiar Islam
- Maret 2, 2022
- 8:54 pm

Wayang menjadi salah satu media dakwah Wali Songo dalam syiar Islam di Jawa. Demi keperluan itu, para Wali menciptakan tokoh atau karakter dan lakon wayang juga tembang yang disisipi dengan ajaran Islam. Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong menjadi salah satu karakter wayang yang konon merupakan hasil gubahan para Wali, utamanya Sunan Kalijaga.
Berbagai karakter serta tema cerita yang diangkat dalam pementasan wayang biasanya berasal dari kisah Mahabharata dan Ramayana, dua epos legendaris India kuno. Ketika wayang digunakan sebagai media dakwah Islam di Jawa, para Wali berstrategi agar ajaran Islam dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat, termasuk dengan menciptakan karakter atau lakon khusus.
Punakawan menjadi bukti betapa cerdasnya para Wali dalam menyerap unsur-unsur lokal yang justru dijadikan sebagai sarana Islamisasi yang manjur dan efektif. Punakawan tidak ada dalam cerita asli Mahabharata maupun Ramayana, namun berhasil mendapatkan tempat tersendiri bagi penikmat pertunjukan wayang, hingga saat ini.
Kemunculan Punakawan dalam pementasan wayang biasanya terjadi saat segmen Goro-goro, yakni di tengah-tengah cerita untuk memberikan suasana yang menyenangkan bagi penonton setelah sebelumnya mencermati kisah yang serius.
Jalannya lakon pementasan wayang dihentikan sejenak untuk memberikan tempat kepada para Punakawan yang hadir dengan kesegaran baru. Sang dalang dengan kecakapannya akan menampilkan para Punakawan dengan nuansa humor dan amat menghibur. Di sinilah pesan-pesan moral, termasuk ajaran Islam, dapat tersampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Memaknai Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong
Sejatinya, Punakawan tidak hanya terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong saja. Ada beberapa karakter Punakawan lainnya seperti Togog, Mbilung, atau Cangik kendati tidak sepopuler dan tidak sesering kemunculannya ketimbang Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Adapun Semar adalah ayahanda dari Gareng, Petruk, dan Bagong. Samsunu Yuli Nugraha dalam Semar dan Filsafat Ketuhanan (2005) mengungkapkan, dalam cerita pewayangan, kelompok ini berperan sebagai penasihat spiritual, pamong, kadang sebagai teman bercengkerama serta penghibur bagi Pandawa Lima.
Pandawa Lima, yakni Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, merupakan para tokoh utama Mahabharata, namun para Punakawan tidak ada dalam cerita asli epos tersebut. Melalui Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong inilah Sunan Kalijaga menyisipkan karakter Islami sekaligus pesan dakwah untuk masyarakat Jawa.
Berikut ini filosofi karakter Punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam konteks syiar Islam di Jawa yang dirintis oleh Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, pada pengujung abad ke-15 Masehi:
1. Semar
Menurut Sudarto dalam Islam dan Kebudayaan Jawa (2000), Semar berasal dari bahasa Arab yakni Ismar yang artinya “paku”. Fungsi paku adalah sebagai penguat atau pengukuh sesuatu yang terancam goyah.
Maka, Semar ibarat ajaran Islam untuk memperkuat Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa yang kala itu belum lama berdiri. Ini juga sesuai dengan hadis Al Islami Ismaraddunya yang berarti “Islam adalah pengukuh (paku penguat) keselamatan dunia.
Ismar alias Semar, tulis Sigit Sapto Nugroho dalam Punakawan Penuntun Menuju Amar Ma’ruf Nahi Munkar (2020), selalu menjadi sumber petuah dan budi pekerti bagi para ksatria yang sedang kehilangan arah. Ia adalah sosok bijak yang telah mencapai kematangan dalam keilmuan, psikis, maupun emosionalnya.
Artinya, seseorang yang sedang goyah atau hilang arah hendaknya menemui tokoh panutan seperti kiai atau ulama untuk meminta nasihat supaya ditunjukkan jalan yang baik dan ketenangan batin dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan Semar merupakan representasi sosok tersebut dengan segala kematangan dan kekukuhannya.
2. Gareng
Gareng, nama lengkapnya adalah Nala Gareng, dikisahkan sebagai anak pertama Semar. Nala Gareng, sebut Sudarto dalam bukunya, diambil dari bahasa Arab yakni Naal Qariin yang artinya “memperoleh banyak teman”. Dalam konteks dakwah, tugas para Wali sebagai perintis syiar Islam di Jawa adalah untuk mendapatkan kawan sebanyak-banyaknya demi kembali ke jalan Tuhan.
Dikutip dari buku berjudul Semar: Jagad Mistik Jawa (2014) karya Purwadi, Nala Gareng digambarkan dengan sosok yang cacat secara fisik. Filosofinya, Gareng telah mencapai tingkat di atas manusia biasa. Ia sudah meninggalkan hal-hal duniawi, tidak memiliki keinginan untuk memiliki apa pun yang dilihatnya, serta melambangkan kejujuran.
Wujud fisik Gareng yang tidak sempurna –matanya kero (juling), tangannya ceko (bengkok), dan kakinya pincang– justru mengandung makna mendalam. Manusia hendaknya selalu cermat dalam bertindak: tutur kata harus terukur, pandangan mata wajib dijaga, serta melangkahkan kaki dengan hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan.
3. Petruk
Petruk adalah putra kedua Semar atau adik pertama Gareng. Fattahul Alim lewat risetnya bertajuk “Peran Tokoh Punakawan dalam Pewayangan Sebagai Upaya Dakwah Sunan Kalijaga” (2018) mengungkapkan bahwa Petruk berasal dari bahasa Arab yakni fatruk.
Kata fatruk merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi: Fat-ruk kulla man siwallahi, artinya “tinggalkan apa pun selain Allah”, yang kemudian diterapkan oleh para Wali maupun kalangan ulama pada awal dakwah Islam di tanah Jawa.
Petruk digambarkan serba tinggi atau panjang, dari hidung, leher, tangan, badan, hingga kaki. Petruk juga digambarkan sebagai sosok yang santai, tanpa beban, dan selalu ceria. Ciri-ciri fisik dan sifat inilah yang kemudian memunculkan istilah kantong bolong sebagai julukan untuk Petruk.
Filosofi dari kantong bolong adalah bahwa apa yang dimasukkan akan hilang atau jatuh tak berbekas. Artinya, seluruh apa yang kita punya adalah titipan Allah semata, semua tidak akan bertahan lama dan hanya sementara saja.
Dengan filosofi tersebut, sosok Petruk menjadi perlambang manusia yang menjalani kehidupan apa adanya dan penuh keikhlasan. Roman Petruk yang selalu gembira memuat makna bahwa kita hendaknya selalu berusaha membuat orang lain berbahagia.
4. Bagong
Terakhir adalah si bungsu: Bagong. Dinukil dari buku Mengungkap Perjalanan Sunan Kalijaga (2010) yang ditulis oleh Jhony Hady Saputra, Bagong berasal dari bahasa Arab yakni Baghaa, artinya “berontak”. Berontak artinya memberontak terhadap kebatilan atau kemungkaran.
Bagong adalah tokoh penyedap cerita. Ia digambarkan sebagai sosok yang terus-terang, blak-blakan, tidak segan-segan melontarkan kritikan untuk merespons segala sesuatu yang dianggapnya tidak pada tempatnya.
Versi lain dari pemaknaan asal kata Bagong adalah Baqa’, yang bermakna kelanggengan atau keabadian. Filosofinya, kehidupan di dunia hanya sementara saja sedangkan yang kekal adalah kehidupan setelah mati. Maka, manusia hendaknya melakukan segala hal yang baik selama hidup di dunia sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya nanti.
Kedalaman makna filosofi Punakawan menunjukkan bahwa para Wali punya alasan kuat memakai wayang sebagai sarana dakwah. Berkat inilah misi syiar Islam di tanah Jawa berjalan mulus, damai, tanpa paksaan, sekaligus menyenangkan. Hasilnya, ajaran Islam pun menyebar dengan relatif cepat dan mudah diterima oleh rakyat Jawa.
Baca juga
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang