Makam Ulama Timur Tengah di Pinggir Kali, Jejak Tua Islam Ngawi
- Desember 9, 2021
- 7:39 pm

Huru-hara kekuasaan melanda tanah Jawa. Sebagai Raja Majapahit yang berkuasa penuh, Prabu Udara tengah memperluas kekuasaannya (ekspansi). Pengganti Girindrawardhana Dyah Ranawijaya itu bermaksud mengembalikan kejayaan Majapahit yang pudar seiring munculnya Kesultanan Demak.
Sunan Kalijaga melihat hal itu sebagai ancaman bagi Sultan Demak. Dari cerita tutur yang berkembang, Kalijaga kemudian mendatangkan lima orang ulama Islam asal Timur Tengah ke tanah Jawa.
Mereka adalah Syekh Maulana Mansyur al-Misri dan empat muridnya, yakni Syekh Maulana Sahid al-Mukti, Syekh Maulana Sahid al-Bakir, Syekh Maulana al-Ngalawi dan Syekh Maulana Ahmad Muhammad. Begitu menjejakkan kaki di tanah Jawa, kelima ulama yang memiliki keahlian berperang itu diminta mengamankan wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Kekuasaan Demak harus terlindungi.
Melalui kekuatan ulama asal Timur Tengah tersebut, Sunan Kalijaga berusaha menahan operasi militer Prabu Udara yang terus merangsek maju dari Jawa sebelah timur ke bagian tengah yang mendekati pusat kesultanan Demak. Secara geografis, Ngawi berada tidak jauh dari wilayah Kediri dan berdekatan dengan Sragen, Jawa Tengah. “Kelima ulama tersebut merupakan pasukan khusus dari Mesir,” demikian cerita tutur yang berkembang.
Sebelum menduduki tahta Majapahit, Prabu Udara merupakan Patih Kediri. Pada tahun 1478 M, ia memimpin penyerbuan pasukan Kediri ke Majapahit. Akibat serbuan itu kekuasaan Bhre Kertabumi atau Brawijaya Kertabumi (1468 -1478 Masehi), tumbang. Raja Majapahit yang kesebelas itu terbunuh. Raja Kediri Girindrawardhana yang merasa sebagai pewaris sah, lantas menaiki tahta Majapahit.
Dalam risetnya, Sejarawan asing B.J.O. Schrieke menulis, penyerbuan Bhattara Ring Dahanapura kepada Majapahit mendapat sokongan raja-raja di kawasan pesisir pantai utara. Penyerbuan berlangsung tahun 1468. Bhattara Ring Dahanapura tak lain Bhattara i Klin atau Girindrawardhana.
Saat berkuasa Girindrawardhana mendapat gelar “Sri Maharaja Sri Wilwatikta”. Ia juga banyak mendirikan bangunan suci bercorak hindu di lereng Gunung Penanggungan. “Bahwa sampai tahun 1521 Majapahit masih berdiri,” tulis N.J Krom dalam “Het jaar van den val van Majapahit”.
Sumber lain menyebut, pada tahun 1498 Patih Udara menggulingkan Raja Girindrawardhana. Sebagai Raja Majapahit yang baru, ia menggelari diri Prabu Udara. Sumber Eropa pada 1512-1518 menulis : Prabu Udara atau Pate (Patih) Udara sebagai Raja Majapahit yang terakhir.
Babad Tanah Jawi membeberkan genealogi Prabu Udara sebagai anak Patih Wahan, yakni seorang Rakryan Mahapatih Majapahit pada masa Raja Girindrawardhana.
Sejarawan Italia Antonio Pigafetta dalam buku Primo viaggio intorno al mondo tahun 1522 menyebut, Prabu Udara memiliki kekuasaan yang menonjol. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan Gubernur Jendral Portugis Albuquerque yang pada tahun 1511 berhasil menaklukkan Malaka. Tidak banyak sumber yang menyebutkan bagaimana lima ulama Islam asal Mesir mempertahankan wilayah Ngawi dari ekspansi Prabu Udara.
Di tengah misi menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa, mereka itu juga mengemban tugas mengamankan kekuasaan politik Kesultanan Demak. Demak merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Pada tahun 1517, pasukan Demak menyerbu Majapahit. Majapahit yang tak lagi memiliki hubungan harmonis dengan kawasan pesisir pantai utara, membuat ekonominya melemah. Dalam pertempuran dahsyat itu, Majapahit tumbang. Berdasarkan sejumlah sumber, dalam peperangan itu pasukan Demak dipimpin Adipati Unus. Kesultanan Demak kemudian mengambil alih pusat Kerajaan Majapahit.
Semua kebesaran Majapahit diangkut ke Demak Bintoro. Sementara Prabu Udara dan para pengikut setianya meninggalkan kerajaan. Mereka tercerai berai. Ada yang melarikan diri ke Bali, Pasuruan dan Blambangan (Banyuwangi). Sementara itu tidak diketahui pasti kapan kelima orang ulama asal Mesir itu wafat.
Dari cerita tutur yang berkembang. Seorang kiai Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang yang pertama kali menemukan kelima makam ulama asal Mesir tersebut. Lokasi kuburan yang berada di tepi sungai Desa Guyung, Kecamatan Gerih, sebelumnya diketahui sebagai gundukan tanah. Warga setempat sudah lama mengetahui gundukan tersebut, namun tidak tahu kalau di bawahnya bersemayam jasad para waliyullah.
Hingga saat ini para peziarah yang berdoa di depan pusara lima orang ulama asal Mesir itu terus berdatangan. Tidak hanya dari wilayah Ngawi. Sebagian besar peziarah justru berasal dari luar kota, yang terutama datang pada malam Jumat.
Baca juga
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden