Kuasa Sultan Hadiwijaya & Bergesernya Pusat Islam-Jawa ke Pajang
- Desember 26, 2021
- 1:00 pm

Kekuasaan Islam di Kesultanan Demak yang bertahan selama puluhan tahun terguncang dengan munculnya Jaka Tingkir. Sosok yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya inilah yang menggeser pusat Islam-Jawa dari Demak dengan mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Pajang pada 1549 M.
Sejak didirikan oleh Raden Patah dengan dukungan Wali Songo pada 1475 M, Kesultanan Demak langsung merengkuh masa kejayaan. Para wali menggalakkan syiar Islam di Jawa dengan cukup masif. Hasilnya, ajaran Islam berkembang pesat di Jawa dengan Demak sebagai episentrumnya.
Wafatnya Raden Patah pada 1517 M membuat kemapanan Kesultanan Demak mulai terguncang. Penerusnya, yakni Pati Unus yang merupakan menantu Raden Patah, hanya beberapa tahun bertakhta lantaran gugur dalam perang melawan Portugis di Malaka pada 1521 M.
Sebagai pengganti Pati Unus adalah adik iparnya yang bergelar Sunan Trenggana. Kekuasaan Sultan Trenggana di Demak cukup lama, yakni lebih dari dua dekade. Sepeninggal Sultan Trenggana yang wafat pada 1545 M, terjadi pergolakan internal ihwal keberlanjutan kekuasaan di Demak.
Hingga akhirnya, Jaka Tingkir muncul sebagai penyelamat takhta sekaligus pemungkas era Islam di Demak dengan menggesernya ke Pajang. Pada 1549 M, Jaka Tingkir menyatakan berdirinya Kesultanan Pajang, menyandang gelar Sultan Hadiwijaya, sekaligus menjadikan Demak sebagai kadipaten yang tunduk di bawah kekuasaannya.
Manuver Jaka Tingkir di Kesultanan Demak
Jaka Tingkir hadir di Demak pada masa kepemimpinan Sultan Trenggana (1521-1545 M). Ayahnya, Ki Ageng Pengging, tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005), pernah dituding membangkang terhadap Raden Patah (1475-1517 M), pendiri Kesultanan Demak, dan dihukum mati.
Saat peristiwa itu terjadi, Jaka Tingkir masih berusia 10 tahun. Ia kemudian diangkat anak oleh istri sahabat ayahnya dan berguru kepada tokoh-tokoh besar seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Banyubiru, dan lainnya.
Setelah dewasa, Jaka Tingkir mencari peruntungan di Demak dan bekerja di masjid milik kerajaan. Pada suatu ketika, Sultan Trenggana melihat kecakapan Jaka Tingkir dan menunjuknya sebagai salah satu kepala prajurit di kemiliteran Kesultanan Demak.
Karier Jaka Tingkir melaju pesat dan membuat Sultan Trenggana semakin takjub atas kemampuan pemuda dari Pengging itu. Dikutip dari buku Demak Bintoro (2020) karya Ferry Taufiq, Jaka Tingkir menikahi putri Sultan Trenggana yang bernama Dewi Cempaka dan diberikan jabatan adipati di Pajang (dekat Surakarta) dengan gelar Adipati Hadiwijaya.
Tahun 1546, Sultan Trenggana gugur dalam peperangan di Pasuruan, Jawa Timur. Kesultanan Demak mengalami keguncangan karena Sunan Prawoto, raja berikutnya, dibunuh oleh orang suruhan Arya Penangsang yang kala itu menjabat sebagai Adipati Jipang (daerah Blora sekarang).
Pembunuhan tersebut merupakan aksi balas dendam karena ayah Arya Penangsang, yakni Pangeran Surowiyoto, sebelumnya dihabisi oleh Sunan Prawoto. Istri Pangeran Surowiyoto yang tidak lain adalah ibunda Arya Penangsang juga ikut terbunuh dalam peristiwa itu.
Pangeran Surowiyoto –dikenal juga sebagai Pangeran Sekar atau Raden Kikin– sejatinya adalah putra mahkota Kesultanan Demak karena ia anak laki-laki tertua Raden Patah. Namun, yang menduduki takhta Demak setelah Raden Patah wafat justru menantunya, Pati Unus. Sultan Trenggana, ayah Sunan Prawoto, adalah adik ipar Pati Unus.
Jika dirunut dari silsilah, Arya Penangsang berhak bertakhta di Kesultanan Demak lantaran ia adalah cucu Raden Patah dan anak dari putra mahkota yang dibunuh, yakni Pangeran Surowiyoto. Beberapa alasan itulah yang membuat Arya Penangsang melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Demak.
Sultan Hadiwijaya Pendiri Kesultanan Pajang
Sejumlah pihak dari keluarga Kesultanan Demak meminta Jaka Tingkir atau Adipati Hadiwijaya untuk menumpas pemberontakan itu. Jaka Tingkir semula kurang berkenan karena Arya Penangsang adalah rekan seperguruannya saat menimba ilmu kepada Sunan Kudus.
Namun, atas permintaan khusus dari Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, Jaka Tingkir akhirnya bersedia. Terlebih, suami Ratu Kalinyamat yakni Pangeran Hadiri, juga dibunuh oleh Arya Penangsang.
Kendati begitu, Jaka Tingkir tetap merasa tidak enak jika langsung menghadapi Arya Penangsang. Maka, ia menggelar sayembara yang disanggupi oleh Ki Juru Martani, Ki Panjawi, dan Ki Ageng Pemanahan yang membawa serta putranya, Danang Sutawijaya.
Slamet Muljana dalam bukunya menyebutkan, jika misi memberantas pemberontakan Arya Penangsang tersebut berhasil dilakukan, mereka akan dihadiahi tanah di Mataram (Yogyakarta) dan Pati.
Ki Juru Martani, Ki Panjawi, dan Ki Ageng Pemanahan adalah kawan seperguruan sekaligus para saudara angkat Jaka Tingkir ketika berguru kepada Ki Ageng Sela. Misi tersebut berhasil. Arya Penangsang tewas di tangan Danang Sutawijaya. Jaka Tingkir, yang saat itu belum memiliki putra, kemudian mengangkat Danang Sutawijaya sebagai anak.
Setelah Arya Penangsang diberantas, Jaka Tingkir alias Adipati Hadiwijaya dianggap layak untuk naik singgasana. Selain sebagai penyelamat takhta Demak dan telah meninggalnya Sunan Prawoto selaku putra mahkota atau raja terakhir, Adipati Hadiwijaya juga merupakan menantu dari Sultan Trenggana.
Adipati Hadiwijaya sadar bahwa kekuasaan sudah ada dalam genggamannya. Namun, ia tidak bersemayam di Demak. Dikutip dari Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (2015), Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan ke kadipaten yang selama ini dipimpinnya, yakni Pajang (terletak di Sukoharjo, dekat Surakarta).
Tahun 1549 itu, Jaka Tingkir alias Adipati Hadiwijaya mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Pajang. Ia bertakhta sebagai raja pertama dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Adapun Demak dijadikan sebagai kadipaten yang bernaung di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang.
Perpindahan pusat kekuasaan sekaligus pusat Islam di Jawa dari Demak ke Pajang sempat menuai pro dan kontra. Salah satu orang yang awalnya menentang adalah Sunan Kudus. Menurut Sunan Kudus, sebagian masyarakat Pajang masih menganut aliran kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, Sultan Hadiwijaya tetap melakukan niatnya itu. Dampaknya, syiar agama Islam di Jawa yang sebelumnya berpusat di Demak mengalami perubahan besar selama masa Kesultanan Pajang.
Dalam Bunga Rampai Sejarah dan Destinasi Wisata Malo Bojonegoro (2021) yang disusun Puguh Budiarto dan kawan-kawan dituliskan, ajaran makrifat kembali berkembang pesat, sementara syariat yang menjadi fokus utama pada era Demak, mulai dikesampingkan.
Sultan Hadiwijaya bertakhta cukup lama di Kesultanan Pajang dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Jawa bagian timur. Kelak, setelah Sultan Hadiwijaya mangkat pada 1582, keguncangan terjadi di Kesultanan Pajang, seperti yang pernah dialami Kesultanan Demak sebelumnya.
Pusat kekuasaan politik dan ajaran Islam di Jawa berpindah lagi, kali ini ke Mataram atau Yogyakarta. Berdirinya Kesultanan Mataram Islam yang dideklarasikan oleh putra angkat Sultan Hadiwijaya, yakni Danang Sutawijaya, memungkasi riwayat Kesultanan Pajang.
Baca juga
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang