Kondisi Kabupaten Magetan Saat Terlibat Dalam Pemerintahan Belanda di Mataram

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Magetan,Belanda,Mataram,Raden Tumenggung Yoso Negoro,Bupati,santrikertonyono,tokoh,sejarah
Gaya para Bupati Magetan yang anti Belanda /Foto: historia.com

SANTRI KERTONYONO – Raden Tumenggung Yoso Negoro yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Kabupaten Magetan berhasil mengantarkan wilayahnya menjadi daerah yang asri, damai, dan memiliki perekonomian yang baik. Semakin lama, perkembangan dan kemajuan pemerintahan hampir terjadi di semua lini saat Yoso Negoro menduduki takhta.

Sebagai sosok yang dikenal sangat bijaksana dan mempunyai pemikiran yang matang, Yoso Negoro tak serta merta mengikuiti aturan Belanda. Ia merasa tidak rela, apabila wilayah kekuasaannya di jajah begitu saja, lebih-lebih jika Belanda hanya ingin menguras kekayaan alam dan tenaga warga di Magetan.

Selama memerintah, Yoso Negoro hanya fokus dengan apa yang terjadi di Kabupaten Magetan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya pada kesejahteraan masyarakat, serta sistem pertahanan daerah Magetan untuk berjaga-jaga apabila Belanda atau pasukan dari daerah lain hendak menyerang.

Setelah beberapa tahun berjalan, Kabupaten Magetan tiba-tiba dilanda musim paceklik. Hampir seluruh kecamatan kekurangan pasokan bahan makanan. Banyak terjadi aksi-aksi perampokan, pencurian serta ketimpangan sosial di masyarakat.

Yoso Negoro langsung meminta bantuan kepada Mataram, yang tak lain adalah tanah kelahirannya sendiri. Bantuan dari pusat pemerintahan Mataram akhirnya mampu mengatasi permasalahan perekomonian dan keamanan di Magetan, hingga Kabupaten Magetan berhasil pulih kembali.

Namun, tak selang lama, pada tahun 1703 Bupati Yoso Negoro wafat. Menurut beberapa literatur sejarah, Yoso Negoro dan istrinya dimakamkan di pemakaman Setono Gedong yang terletak di Kelurahan Tambran, Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan.

Setelah Bupati Yoso Negoro wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Raden Ronggo Galih Tirtokusumo. Model pemerintahannya tak berbeda jauh dengan sang ayah, Raden Ronggo Galih memerintah Kabupaten Magetan mulai tahun 1703 hingga 1709.

Kepemimpinan Empat Bupati Magetan dalam Menghadapi Belanda

Pada 11 September 1705, Pangeran Puger atau Pakubuwana I berhasil menguasai Kartasura berkat bantuan dari kompeni Belanda yang dipimpin Herman de Wilde. Keberhasilan Pangeran Puger sendiri dalam merebut kekuasaan di Mataram setelah kesuksesannya menggulingkan Sunan Amangkurat Emas. Pangeran Puger langsung naik takhta dengan menyandang gelar Sunan Pakubuwono I.

Sunan Amangkurat Emas tak lama setelah itu berhasil melarikan diri ke daerah Ponorogo, dan memutuskan untuk tinggal disana dalam jangka waktu yang cukup lama. Sedangkan untuk menghindari kejaran dari pasukan Mataram dan VOC, Sultan Amangkurat Emas kembali melarikan diri ke Kediri dan mendapatkan bantuan perlindungan dari pasukan pengikut Untung Suropati.

Dalam perjalanannya melarikan diri ke Kediri, beberapa pasukan dari wilayah lain juga turut bergabung seperti pengikut dari Mataram Tumenggung Surobronto asal Ponorogo, Pangeran Mangkunegara asal Madiun, Demang Tampingan asal Caruban, serta Kiai Ronggo Pamagetan yang kemungkinan adalah Raden Ronggo Galih yang tak lain adalah Bupati Magetan.

Pada tahun 1708, Sunan Amangkurat Emas memilih untuk menyerahkan diri kepada VOC yang bermarkas di pegunungan Malang. Di akhir hayatnya, ia harus rela dibuang ke Sri Lanka. Masih di tahun yang sama, Untung Suropati tertembak hingga meninggal dunia.

Lalu, Sunan Pakubuwono I memutuskan untuk mengangkat Raden Mangkunrono yang notabene seorang perwira tentara mataram sebagai Bupati Magetan pada tahun 1709, untuk menggantikan Raden Ronggo Galih Tirtokusumo yang kala itu ikut memihak aksi pemberontakan yang dilakukan oleh Untung Suropati.

Setelah turun dari jabatannya, Raden Ronggo Galih lebih memilih untuk menetap di Desa Durenan. Di desa itulah, ia menghabiskan sisa usianya. Saat meninggal dunia pun, jasad Raden Ronggo Galih juga dimakamkan di desa tersebut.

Selanjutnya kekuasaan Kabupaten Magetan dipegang oleh Raden Mangunrono yang memerintah pada tahun 1709 hingga 1730. Sejak Sunan Amangkurat Emas di buang ke Sri Lanka pada tauhun 1708, kekuasaan VOC semakin bertambah dan semakin kuat di wilayah Mataram.

Pada tahun 1709, konferensi mulai digelar di Kartosuro dengan mengundang 43 Bupati yang bertugas di wilayah Mataram, tak terkecuali Bupati Magetan. Meksipun konferensi ini diundang dan dipimpin oleh Sunan Pakubuwono I, namun peran VOC banyak mengambil peran dalam acara tersebut.

Pasalnya, beberapa hasil bumi yang wajib disetorkan ke VOC dianggap sebagai hutang Mataram yang sudah dibantu dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan yang telah dilakukan oleh Trunojoyo, Untung Suropati, dan Sunan Amangkurat Emas.

Dalam konferensi tersebut, lahirlah sebuah penetapan bahwa Bupati Magetan harus menyerahkan beberapa bahan pakan atau hasil peternakan. Diantaranya seperti sejumlah beras, kulit kerbau, dan kacang, yang merupakan produksi utama dari daerah Magetan pada saat itu.

Kursi kepemimpinan sebagai Bupati Magetan selanjutnya diserahkan kepada Tumenggung Citrodiwiryo yang menjabat pada tahun 1930 hingga 1943. Menurut beberapa catatan sejarah, Tumenggung Citrodiwiryo merupakan orang asli Magetan yang pada masa pemerintahannya banyak terjadi pergeseran kekuatan di pusat Mataram.

Hal tersebut bermula pada tahun 1714, dimana terjadi keributan antara orang China di Batavia. Ratusan hingga ribuan orang China berbondong-bondong keluar dari Batavia dengan melakukan serangan-serangan kepada para pasukan VOC yang bermarkas di beberapa pos-pos militer.

Kala itu, masyarakat Jawa yang sudah lama memendam kebencian kepada VOC, terlebih sejak perlawanan Trunojoyo, Untung Suropati, dan Sunan Amangkurat Emas mencoba mencuri kesempatan dengan meraih simpati pada keributan yang ditimbulkan oleh orang China tersebut.

Tak sedikit wilayah yang akhirnya terkena dampak, seperti Semarang, Rembang, dan Ibukota Kartosuro larut dalam penyerangan. Benteng-benteng VOC dibakar, para pasukan dan pembesar Belanda terbunuh dengan sia-sia. Kala itu, pasukan China banyak yang bergabung dengan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi, yang masih satu keluarga dengan bangsawan Mataram.

Pemberontakan Trunojoyo

Tragedi peperangan yang di pimpin oleh Trunojoyo semakin lama semakin besar dan meluas, apalagi pemberontakan ini turut mendapat dukungan dari orang-orang Makassar dan para pengikut Sunan Giri. Satu per satu daerah di Mataram berhasil jatuh ke tangan Trunjoyo, mulai dari Madura Suropringgo atau Surabaya, dan beberapa daerah yang berada di pesisir utara pulau Jawa.

Tak perlu menunggu waktu lama, pusat pemerintahan Mataram yang berada di Plered atau tepatnya di sebelah selatan Yogyakarta juga dengan mudah jatuh ke tangan Trunojoyo, tepat pada 2 Juli 1677. Sultan Amangkurat I lantas melarikan diri dan wafat di daerah Tegalwangi yang kini berada di Kabupaten Tegal Jawa Tengah.

Seluruh benda-benda penting yang sebelumnya digunakan sebagai alat upacara kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur. Di bawah kepemimpinan Trunojoyo, pusat kerajaan Mataram juga ikut dipindahkan ke Kediri. Disisi lain, takhta Sultan Amangkurat I digantikan oleh putranya sendiri yang bergelar Amangkurat II.

Pemberontakan Trunojoyo berhasil dipadamkan dengan bantuan kompeni Belanda, Trunojoyo pun berhasil di tangkap dan dibunuh. Alhasil, pusat Keraton Mataram untuk sekian kalinya pindah ke Kartosuro pada tahun 1681. Setelah itu, keadaan Keraton Mataram belum benar-benar tenang.

Pasalnya, pada tahun 1684, kembali terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Untung Suropati kepada Mataram, yang memusatkan seluruh tentaranya di wilayah Pasuruan. Pemberontakan ini dipicu oleh sikap Sultan Amangkurat III yang dinilai radikal dan anti dengan kompeni Belanda, yang kala itu memiliki kuasa di pemerintahan Mataram.

Sikap Sultan Amangkurat III yang demikian menyebabkan beberapa bangsawan keraton menjadi gundah. Pasalnya, mereka lebih memilih untuk mengangkat Pangeran Puger sebagai raja Mataram. Niat ini pun disampaikan kepada Belanda, sekaligus meminta bantuannya di Semarang.

Pihak kompeni Belanda menyanggupi, ia mengirimkan bantuan dari Cilacap dan Madura sebelah Timur yang merupakan daerah Mancanegara Mataram untuk selanjutnya diserahkan kepada Belanda. Lantas, pusat pemerintahan Mataram diserang oleh kompeni Belanda bersama tentara dari Pangeran Puger.

Sunan Amangkurat III memutuskan untuk melarikan diri keluar dari wilayahnya Kartosuro ke Pasuruan Jawa Timur dan memilih bergabung dengan Untung Suropati.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI