Kisah Kiai Nawawi, Bekas Laskar Diponegoro Pendiri Pesantren Ringinagung Kediri
- Juni 29, 2022
- 4:35 pm

Kiai Imam Nawawi dan keluarganya memutuskan meninggalkan kawedanan Bangil, Pasuruan dan memilih hidup di Kediri dengan mendirikan pondok pesantren. Pilihannya jatuh pada alas simpenan, yakni kawasan hutan belantara di wilayah Desa Keling, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Alas Simpenan dikenal sebagai kawasan hutan yang angker. Jangankan menjadikannya tempat tinggal, memasuki hutan saja tak semua orang memiliki keberanian. Peristiwa itu berlangsung tahun 1870. Saat proses pembukaan lahan, kendala pun bermunculan. Sebuah pohon beringin berukuran paling besar, sulit ditebang.
Berbagai cara untuk merobohkan sudah dilakukan. Namun anehnya beringin tua itu bergeming, tetap berdiri dengan kokohnya. Sementara kayu-kayu yang berasal dari pepohonan lain juga tak bisa dipakai untuk kayu bakar. Walau sudah kering, kayu tak bisa disulut api. Mendapat laporan santrinya, Kiai Nawawi mendatangi pohon beringin raksasa tersebut.

Ia bermunajat kepada Allah Swt dengan melangitkan shalawat Allahumma shalli ‘alaa muhammadin wa sallim sebanyak-banyaknya. Walhasil, beringin besar itu pun tumbang. “Beringin besar inilah tampaknya melahirkan nama Ringinagung. Karena kata yang disebut terakhir ini berasal dari ringin yang berarti “beringin” dan agung yang berarti besar,” kata M Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh, Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Pondok pesantren dan masjid berdiri pada tahun 1870. Saat pendirian Kiai Nawawi tidak memberi nama apapun. Nama Ringinagung justru muncul dari masyarakat sekitar yang merujuk pada peristiwa pohon beringin raksasa yang ditebang. Namun kelak dalam perjalanannya Pesantren Ringinagung memiliki nama Mahir ar-Riyadl.
Kehadiran pesantren yang didirikan Kiai Nawawi mengundang perhatian masyarakat. Sambutan positif sebagai pendidikan alternatif tandingan sekolah yang didirikan kolonial Belanda sontak berdatangan. Hal itu mengingat tidak semua warga bisa belajar di sekolah yang didirikan kolonial Belanda. Apalagi Kiai Nawawi tidak memungut biaya kepada santrinya-santrinya.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, para santri membantu bercocok tanam di sawah. Ada juga yang bekerja kepada warga di sekitar pesantren. Kiai Nawawi membolehkan santri bekerja asalkan tidak menganggu kegiatannya mengaji. Prinsipnya, pesantren berusaha membantu kebutuhan santri selama mereka mendalami ilmu agama di pesantren. “Pendek kata, Kiai Nawawi mendirikan pesantren dengan tujuan ikhlas untuk menyebarkan ilmu sebagai amanah dari Allah Swt”.
Siapa Kiai Nawawi?
Kiai Nawawi merupakan menantu Wedana Bangil, Pasuruan. Dari pernikahannya dengan Dewi Landep, ia dikaruniai tiga orang anak, yakni Burhan, Murah dan Sapurah. Kiai Nawawi terlahir dengan nama Raden Sepukuh pada tahun 1818. Ayahnya, Raden Bustaman adalah pejabat penghulu keraton Surakarta.
Pada usia 17 tahun, Kiai Nawawi konon sudah dipercaya menjadi penghulu keraton sebagaimana jabatan ayahnya. Sumber lain menyebut, Kiai Nawawi lahir pada tahun 1810. Ayahnya yang bernama Raden Soeryani merupakan Bupati Pati, Jawa Tengah. Saat Perang Jawa (1825-1830) meletus, Kiai Nawawi termasuk barisan laskar pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut melawan kolonial Belanda.
Begitu Pangeran Diponegoro ditangkap dan Perang Jawa berakhir, ia termasuk para pengikut (Pangeran Diponegoro) yang harus meninggalkan kawasan Jawa Tengah. Untuk menghindari kejaran pasukan Belanda, ia hijrah ke Jawa Timur. Pada tahun 1835, Kiai Nawawi nyantri di Pesantren Siwalanpanji, Sidoarjo. “Di pesantren ini Raden Sepukuh mulai dikenal dengan nama Imam Nawawi,” demikian sejumlah sumber menyebutkan.
Kiai Nawawi dikenal sebagai santri yang alim dan tekun. Keinginannya untuk mendalami agama Islam begitu tinggi, yang itu membuatnya terlambat menikah. Kemampuan Kiai Nawawi mengaji kitab kuning melebihi santri-santri lainnya. Setelah dua tahun hidup di tempat mertuanya Wedana Bangil, Kiai Nawawi memutuskan pindah ke Kediri. Ia beralasan ingin hidup mandiri.
Di Pesantren Ringinagung, Kiai Nawawi dikenal sebagai ulama yang ahli tirakat. Konon, ia pernah berpuasa lima tahun lamanya tanpa putus dan hanya berbuka dengan dua potong ketela dan secangkir air yang diseduh daun kopi. Kepada santri-santrinya Kiai Nawawi selalu menganjurkan memperbanyak membaca sholawat Ringinagung. Yakni sholawat yang dibaca Kiai Nawawi saat menumbangkan pohon beringin besar.
Kiai Imam Nawawi wafat pada tahun 1910 dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ringinagung. Sepeninggal Kiai Nawawi, para santri terus melestarikan sholawat Ringinagung yang biasa dibaca rutin usai salat maghrib setiap malam Jumat.
Berkembang di Tangan Para Dzuriyah
Pondok Pesantren Ringinagung dalam perjalanannya kemudian bernama Pesantren Mahir ar-Riyadl. Mahir dalam bahasa Arab diterjemahkan pandai. Ada yang mengatakan Mahir sebagai akronim dari Ma’had Islam Ringinagung. Namun ada pula yang menyebut Mahir ar-Riyadl terinspirasi dari nama sebuah taman di Kerajaan Rumania.
“Sekitar tahun 1964-1965, ditambahkan kata ar-Riyadl dibelakang mahir,” tulis M Solahudin dalam Napak Tilas Masyayikh, Biografi 25 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura.
Sepeninggal Kiai Nawawi, kepemimpinan pesantren dilanjutkan Kiai Imam Mu’thi, suami dari Nyai Murah dan Kiai Imam Bajuri, suami Nyai Sapurah. Kedua wanita tersebut merupakan putri Kiai Nawawi. Namun kepemimpinan keduanya tidak berlangsung lama karena kemudian wafat.
Estafet kepemimpinan diteruskan para cucu Kiai Nawawi, yakni Kiai Jambur, Kiai Abdur Rohim, Kiai Abu Manshur, Kiai Abdul Majid, Kiai Musthofa, Kiai Ulama, Kiai Makhun, Kiai Almuharrom, Kiai Masrom, dan Kiai Humaidi. Mereka semua merupakan para dzuriyah (keturunan) generasi ketiga.
Pesantren berkembang pesat. Perkembangan pesantren semakin meningkat saat dipegang para dzuriyah generasi kelima. Kendati demikian, pola pendidikan sorogan, bandongan dan wetonan, tetap dipertahankan mutlak. Para kiai Pesantren Ringinagung tidak mengenal sistem madrasah.
Kebijakan itu terkait dengan wasiat Kiai Nawawi. Sebagai ulama pejuang yang anti kolonial Belanda, Kiai Nawawi tidak menginginkan adanya sistem madrasah di pesantrennya. “Menurutnya mendirikan madrasah sama dengan mengikuti Belanda”.
Sebagai solusi, santri Pesantren Ringinagung tidak dilarang mengikuti Madrasah Bukaan di Pesantren Sabilil Huda yang lokasinya tidak jauh. Santri juga dibolehkan mengikuti madrasah diniyah di Pesantren Sumbersari. Pada tahun 1959, sistem pendidikan madrasah akhirnya berlaku di Pesantren Ringinagung. Munculnya sistem madrasah merupakan hasil kesepakatan para dzuriyah. Diantaranya Kiai Maisur, Kiai Jali, Kiai Anwaruddin, Kiai Zaid, Kiai Muawwam, Kiai Hasyim, Kiai Khazin, dan Kiai Murtaji.
Madrasah yang diberi nama Al-Asna ini memiliki sejumlah jenjang pendidikan mulai Sekolah Persiapan (SP) sampai Madrasah Aliyah (MA). Dikutip dari laduni.id, Madrasah Al-Asna itu berada di bawah naungan Pesantren Mahir ar-Riyadl.
Kendati demikian sistem salafiyah yang menjadi ciri pesantren sejak awal berdiri, tetap dipertahankan. Terdapat kelas Musyawirin yang menjadi tempat para santri mendalami kitab kuning. Kemudian juga ruang untuk kegiatan bahtsul masail, khitabah (pidato) dan qiraah (seni baca Al-Qur’an).
“Untuk menyesuaikan kemajuan jaman, di Pesantren Ringinagung juga didirikan lembaga pendidikan formal, yaitu TK Kusuma Mulia, MI Taufiqiyatul Asna, Mts Taufiqiyatul Asna, dan MA Maarif,” demikian dalam perkembangannya
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara