Kisah Adipati Rangga Jumena dalam Mempertahakan Madiun dari Serangan Mataram
- September 29, 2022
- 5:18 pm

Santrikertonyono – Pangeran Timur atau Adipati Rangga Adipati Jumena yang memiliki gelar Panembahan Mediyun tak lain merupakan putra keenam dari Sultan Trenggana yang kemudian diangkat menjadi Adipati di Madiun. Sebelum bernama Madiun, kota ini lebih dikenal dengan sebutan Kota Miring.
Sosok Pangeran Timur ini nyatanya memiliki keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan bupati-bupati dari daerah lain. Terlebih saat menghadap ke Kerajaan Pajang, maka Pangeran Timur ini akan diperkenankan untuk duduk bersanding bersama dengan Gusti Sultan Pajang.
Oleh karena itu, sikap Pangeran Timur mendapat sebutan madi yang ayun. Ngayun berarti cara mengahadap Pangeran Timur yang notabene lebih maju daripada bupati yang lain. Sedangkan madya berarti kedudukan Pangeran Timur yang sudah dianggap bak setengah raja.
Dari kata tersebut yakni madi yang ayun, Kota Miring berangsur-angsur berubah penyebutan menjadi Madiyun, yang selanjutnya diperintah oleh seorang bupati dengan gelar Panembahan Senapati Madiyun.
Menurut sejarah, Panembahan Madiyun mempunyai dua orang anak, masing-masing A-jeng Retna Dumilah yang merupakan anak sulung dengan paras yang cantik. Bahkan saat ia menginjak dewasa, kecantikannya semakin terpancar hingga menjadi buah bibir masyarakat dari dalam maupun luar Kadipaten Madiyun. Dan anak yang kedua bernama Raden Lontang.

Seiring berjalannya waktu, Demak mulai mendekati keruntuhan dan Pajang menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Pajang sempat mengalami goncangan, terlebih saat Arya Penangsang melakukan pemberontakan dan berhasil dibunuh oleh Sutawijaya.
Dilansir dari Babad Madiyun milik Disperpusip Provinsi Jawa Timur, Pajang pun semakin tak karuan dan semakin suram, hingga berakibat pada berpindahnya wahyu kerajaan dari Pajang ke Mataram. Sutawijaya yang kala itu bergelar Ngabei Loring Pasar akhirnya memegang pandu pemerintahan Mataram. Tak butuh waktu lama, hampir seluruh bupati mulai takluk kepada Mataram.
Namun, lain cerita dengan yang terjadi di Kabupaten Madiyun. Madiyun tetap berdiri kokoh dengan pemerintahannya sendiri. Ia tak takluk dengan Mataram, karena masih membela kematian Arya Penangsang. Disisi lain, ada Adipati Jipang dengan gelar Panembahan Rangga Jumena yang ternyata masih berkerabat dengan Panembahan Madiyun.
Saat itu, Adipati Pati Wasis Jayakusuma atau Ki Penjawi yang telah menjadi bawahan Mataram menyuruh seorang utusan ke Maospati, utusannya tersebut pun di terima baik oleh Bupati Rangga Keniten. Meskipun tak dijelaskan begitu detail apa inti pembicaraannya, konon dua orang ini tak menemui kesepatan.
Akhirnya terjadilah perang yang cukup ramai dan gaduh antara para utusan dan punggawa di Maospati. Bahkan, peperangan yang cukup besar ini hingga melibatkan beberapa prajurit dari Kadipaten Madiun. Peristiwa inilah yang membawa peperangan antara Madiun dan Mataram.
Pecahnya Peperangan Madiun dan Mataram
Kabupaten Madiun yang tetap bersikukuh tidak mau menghadap ke Mataram, membuat Wasis Jayakusuma merasa sangat malu. Disisi lain, Danang Sutawijaya juga merasa diremehkan oleh Panembahan Rangga Jumena atau Panembahan Madiyun. Merasa tak dihormati, Gusti Sultan langsung mengerahkan bala tentaranya untuk mengepung Kadipaten Madiun.
Menyaksikan peperangan yang terjadi antara Madiun dan Mataram seketika membuat Sunan Giri ikut turun ke medan pertempuran, semata-mata untuk menjaga agar perang tersebut tidak berkepanjangan. Sunan Giri melakukan sebuah teka-teki yang lantas harus dipilih oleh Madiun.
Teka-teki tersebut terbilang cukup unik, dimana ada sebuah kalimat yang berbunyi “dunia ini dua macam isinya” yakni terdiri dari wadah atau bentuk dan isi. Karena menurut urutan darah, Madiun lebih tua, maka Madiun diperkenankan untuk memilih terlebih dahulu.
Tanpa berlama-lama, Panembahan Madiyun langsung memilih isi. Pertimbangannya cukup singkat, bahwa isi lebih utama dan penting. Karena Madiun sudah lebih dulu memilih isi, maka tentu saja Mataram tak mempunyai pilihan, ia mendapatkan bentuk atau wadahnya.
Saat teka-teki selesai digelar, bersamaan dengan itu peperangan pun juga dihentikan. Kericuhan akibat perang dua wilayah besar antara Madiun dan Mataram akhirnya menemui titik perdamaian. Utusan mataram memutuskan pulang dan melaporkan hasil dari perdamaian tersebut.
Setibanya di Mataram, sang Raja murka mendengar kabar perdamaian tersebut. Menurutnya, peperangan tetaplah peperangan yang harus diteruskan, terlebih untuk memukul mundur keberadaan Madiun. Hal itu diperparah dengan teka-teki dari Sunan Giri yang juga menyulut kemarahan raja.
Ki Juru Martani yang menjabat sebagai penasehat kerajaan mencoba meredam amarah Panembahan Senopati. Dengan berbagai saran dan masukan, bahwa teka-teki yang diberikan oleh Sunan Giri tentulah tanpa sebab dan tujuan. Menurutnya, dua teka-teki yang terdiri dari isi dan wadah mempunyai maksud tersendiri.
Menurut Ki Juru Martani, Madiun yang memilih isi mencerminkan sikap yang tamak, sombong dan selalu mengagung-agungkan dirinya sendiri. Namun apalah nilai isi jika tanpa wadah. Sementara, saat utusan Mataram memilih wadah pun juga tidak masalah. Hal itu bak menegaskan bahwa wahyu tetap berada di Kerajaan Mataram.
Sebagai penasehat kerajaan, ia memberi saran agar Mataram selalu waspada dan berhati-hati. Hal itu dikarenakan Madiun memiliki sebuah keris sakti bernama keris Tundung Mediyun yang terkenal sangat ampuh. Maka perlu strategi yang hebat untuk menembus pertahanan Madiun.
Taktik Perang Mataram dengan Mengutus Seorang Perempuan
Kerajaan Mataram lantas mengirimkan Nyai Riya Adisara yakni bibi putri Pembanyun dari Ki Ageng Mangir Wanabaya untuk mempersembahkan bunga setaman. Bunga setaman yang nantinya akan digunakan untuk mencuci kaki Panembahan Madiyun tak lebih hanya untuk alat agar memperoleh kemenangan saat melawan Madiun.
Keberangkatan Nyai Riya Adisara ke Madiun hanya dikawal sedikit prajurit. Namun, petugas-petugas sandi pilihan terbaik yang dimiliki Mataram telah disebar dan mengepung Kadipaten Madiyun dalam bentuk tapal kuda. Prajurit yang lain juga telah bersiap dari luar kota Kadipaten Madiyun.
Jauh sebelumnya, prajurit Madiyun telah mendengar kabar utusan yang akan dikirim oleh Mataram sebagai tanda takluk. Tak serta merta percaya begitu saja, rombongan prajurit ini pun berhari-hari memantau keadaan Mataram untuk memastikan utusan yang telah di kirim tersebut.
Kedatangan utusan dari Mataram benar adanya, bahkan disambut dengan upacara yang cukup meriah dan langsung dihadapkan kepada Adipati Rangga Jumena. Awalnya ia curiga dengan utusan yang dikirim oleh Mataram, namun setelah melihat kecantikan Nyai Riya lengkap dengan membawa segala macam persembahan, timbullah rasa percaya di benak Adipati Rangga Jumena.
Raden Nyai Riya datang menghadap sang Adipati dengan membawa bokor berisi air dan bunga setaman. Ia pun bersembah dan mengaku utusan Mataram yang bertugas untuk mencuci kaki sang Adipati. Setelah upacara selesai, Raden Nyai Riya mohon pamit kembali ke Mataram dan meluruskan tujuannya bahwa air bekas kaki Adipati Rangga akan digunakan untuk mencuci rambut Panembahan Senopati.
Tanpa menaruh curiga sedikitpun, Adipati Rangga melepaskan kepergian Raden Nyai Riya pulang kembali ke Mataram. Kepulangannya ternyata menjadi sinyal bagi para prajurit Mataram yang telah bersiap langsung menyerbu Kadipaten Madiun dari segala penjuru.
Kadipaten Madiun kacau balau dengan satu kali serangan mendadak dari prajurit Mataram. Para prajurit Madiun yang tidak mempunyai persiapan apapun tiba-tiba berhasil dipukul mundur tanpa perlawanan. Pertahanan Madiun pun jebol porak-poranda.
Panembahan Rangga Jumena murka mendengar serangan tersebut, prajuritnya banyak yang kalah dan kalang kabut. Ia pun menyerahkan keris Tundung Mediyun kepada putrinya Raden Ayu Retna Dumilah untuk menebus para prajurit Mataram yang dinilai lancang masuk ke wilayah kekuasaannya.
Tanpa banyak bertanya, Raden Ayu langsung memimpin perang bersama prajurit wanitanya untuk menghadapi prajurit Mataram. Melihat ketangguhan laskar wanita yang dipimpin Raden Ayu membuat Panembahan Senapati merasa terhina.
Berkat saran dari Ki Juru Martani, Panembahan Senapati merayu Raden Ayu. Rayuannya pun sangat manjur, Raden Ayu mendadak lemas tak berdaya hingga keris Tudung Mediyun berhasil jatuh ke tangan Panembahan Senapati. Lantas, Raden Ayu pun diboyong ke Mataram dan dijadikan istri oleh Panembahan Senapati.
Sejak saat itulah Kadipaten Madiyun menjadi bagian dari Kerajaan Mataram. Namun, sejak pecahnya peperangan di Madiun, Panembahan Rangga Jumena menghilang. Konon, ia sempat melarikan diri melalui pintu belakang kerajaan.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan