Ki Ageng Ngaliman, Ulama Pelawan Kompeni Belanda dari Lereng Wilis

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Pintu masuk Makam Ki Ageng Ngaliman, berlokasi di Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur /Foto: Googlemap-Trisno Ary Budi

 “Ulah” Ki Ageng Ngaliman membuat mata pasukan Belanda terbelalak. Setiap kendaraan tempur yang mencoba menerobos area Kraton Surakarta, seketika luluh lantak.

Ki Ageng Ngaliman adalah seorang ulama Islam yang linuwih. Ia juga senopati perang Kraton Surakarta yang terkenal dengan nama Suroyudo. Tahu pasukan Belanda datang menyerbu, Ki Ageng Ngaliman bergegas mengucuri batas area Kraton dengan air.

Tak disangka, jatuhnya air yang melingkari kawasan kraton menjelma menjadi pagar gaib. Setiap kendaraan musuh yang nekat masuk, hancur berantakan. Begitu juga dengan serdadu Belanda yang berhasil masuk. Ki Ageng Ngaliman “menggarapnya”. Di dalam kraton mereka seolah berada di tengah sarang angkrang (semut besar). Angkrang ada di mana-mana dan merubungnya. Pasukan Belanda pun kocar-kacir lari tunggang-langgang.

“Konon Ki Ageng Ngaliman ditemui Nabi Khidir dan diminta menemui saudaranya yang berada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto,” demikian menurut cerita tutur yang berkembang. Pasukan Belanda berhasil menguasai kraton Surakarta. Terutama mulai berlakunya perjanjian Giyanti(1755).

Dalam “Giyanti 1755” Anton Satyo Hendriatmo menuliskan sejumlah intervensi kolonial Belanda. Penentuan, pengangkatan dan pemberhentian Pepatih Dalem harus mendapatkan persetujuan dari Kompeni (Belanda). Kemudian seluruh daerah pantai utara Jawa dengan kota-kota pentingnya, terkecuali Semarang, diserahkan kepada Kompeni.

“Di sinilah awal dari terciptanya dwi loyalitas dari pepatih dalem yang merupakan pelaksana roda pemerintahan kerajaan. Di satu sisi kedudukannya adalah sebagai penerima amanat Susuhunan dalam menjalankan pemerintahan, sementara di sisi lain kedudukannya adalah juga sebagai pegawai Kompeni,” demikian poin perjanjian Giyanti.

Perjanjian itu mendapat banyak tentangan dari para bangsawan kraton, salah satunya Pangeran Mangkubumi. Intervensi Belanda membuat pusat kerajaan di Surakarta sangat lemah. Saking lemahnya kekuasaan dalam mengontrol daerah luar, Babad Nitik Ngayogya menyindir : hanya tinggal saiyubing payung (sebatas daun payung). Ki Ageng Ngaliman memilih hijrah ke wilayah Sedudo, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Nganjuk masih bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram.

Di sebuah padepokan yang didirikan di Gunung Wilis, ia menggembleng pasukan perang yang siap melawan penjajah Belanda. “Para prajurit menjalani pelatihan fisik dan mental di Padepokan atau Sedepok yang letaknya di puncak Gunung Wilis,” tutur Kiai Qolyubi tokoh ulama Mangundikaran seperti dikutip dari berbagai sumber.

Di sebuah kawasan lereng Gunung Wilis itulah, saat terjadi peperangan melawan penjajah Belanda, Ki Ageng Ngaliman tak berhenti menyebarkan agama Islam. Kendati demikian ia tetap menyembunyikan statusnya sebagai Senopati Suroyudo.Berdasarkan cerita tutur, siapa saja yang saat di Gunung Wilis berani membuka identitas Ki Ageng Ngaliman, maka hewan buas akan memangsanya.

“Sebab memang dirahasiakan namanya agar tidak diketahui Kesultanan Solo,” demikian cerita tutur yang bergetok tular. Ki Ageng Ngaliman memiliki sejumlah pusaka keris dan tombak yang dipercayai bertuah. Diantaranya Kiai Srabat, Kiai Endel, Kiai Trisula, Kiai Kembar dan Kiai Berjonggopati. Kemudian pusaka yang berbentuk wayang serta perkakasnya.

Setelah meninggal dunia, Ki Ageng Ngaliman bermakam di area  kawasan wisata air terjun Sedudo, Nganjuk. Pada setiap penanggalan Jawa bulan Suro, masyarakat Desa Ngliman menjamas dan mengirab pusaka Ki Ageng Ngaliman.

Warga mengaraknya berkeliling desa. Hingga saat ini pusaka peninggalan Ki Ageng Ngaliman yang masih ada, tersimpan di gedung penyimpanan pusaka yang berlokasi di depan Masjid Ngliman.

Dua Makam Ki Ageng Ngaliman

Pada pintu makam Ki Ageng Ngaliman berhias ukiran gambar yang sampai kini belum diketahui apa tafsirnya. Setiap peziarah yang datang akan melihat gambar bintang, kinjeng (capung), ketonggeng (kalajengking), burung dan bunga teratai.

Yang menarik, di Desa Ngliman terdapat dua makam Ki Ageng Ngaliman. Menurut KH Huseini Ilyas, Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon bernama Nur Ngaliman atau Senopati Suroyudo.

Berdasarkan silsilahnya, Ki Ageng Ngaliman yang berasal dari Surakarta berdzuriyah (keturunan) kepada Ronggowarsito. “Ronggowarsito, Nur Fatah, Nur Ibrahim, Syekh Yasin Surakarta, Nur Ngaliman atau Senopati Suroyudo, Musyiah, dan Ilyas,” demikian silsilahnya.

Sumber lain menambahkan, Ki Ageng Ngaliman Surakarta  merupakan ulama berketurunan Timur Tengah (Arab). Dari perkawinannya ia dikarunia 21 anak.

Salah satu dzuriyah Ki Ageng Ngaliman adalah KH Huseini Ilyas, seorang ulama Trowulan, Mojokerto. Sementara berjarak sekitar 100 meter dari Kantor Desa Ngliman, terdapat sebuah makam tua yang juga bernama Ki Ageng Ngaliman. Untuk membedakan dengan makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Kulon, para peziarah menyebutnya makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan. Dari cerita tutur, Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan merupakan ulama yang berasal dari Giri atau Gresik.

Saat Sunan Giri Mrapen menobatkan Raja Mataram Panembahan Senopati sebagai Raja Jawa  menggantikan Kesultanan Pajang, Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan termasuk bagian keluarga yang tidak setuju dan menyingkir. Mereka menginginkan tahta Kerajaan Jawa tetap diduduki keturunan langsung Sultan Demak.

“Mereka kemudian menyingkir ke Ngliman dan menyebarkan agama Islam di Ngliman hingga meninggal dunia,” terang Kiai Qolyubi yang dikutip dari berbagai sumber.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI