Ketika H.O.S. Tjokroaminoto Dipuja-puji Seperti Imam Mahdi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Hos Tjokroaminoto /Foto : Sampul Buku Hos Tjokroaminoto-penerbit Anak Hebat Indonesia

Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto merupakan salah satu sosok yang sangat berpengaruh pada era pergerakan nasional. Ia adalah pemimpin Sarekat Islam (SI) yang kala itu menjadi organisasi massa-politik Islam terbesar di tanah air. Tidak sedikit rakyat Jawa dan Indonesia saat itu yang bahkan menganggap Tjokroaminoto sebagai wali, juru selamat, Imam Mahdi, atau Ratu Adil.

Anggapan itu bukan isapan jempol belaka. Haji Agus Salim, tokoh nasional yang pernah bersama-sama dengan Tjokroaminoto memimpin Sarekat Islam, memberikan kesaksiannya. Suatu ketika, Agus Salim mendampingi Tjokroaminoto ke Bondowoso, Jawa Timur. Di sana, ribuan orang sudah menantikan kehadirannya.

“Pada waktu Tjokroaminoto berjalan melewati orang-orang itu, mereka berjongkok di tanah dan mencium kakinya, sambil mengatakan pujaan yang tidak saya senangi,” kenang Haji Agus Salim dalam buku bertajuk 100 Tahun Haji Agus Salim (1996).

Tak hanya menghamburkan puja-puji dan mencium kaki Tjokroaminoto, banyak orang yang memeluk bahkan mengaturkan sikap sembah kepada sang pemimpin besar Sarekat Islam itu. Haji Agus Salim meyakini, orang-orang itu bukan hanya anggota SI, melainkan juga mereka yang sengaja datang untuk mengais berkah dan karomah dari Tjokroaminoto yang mereka anggap sebagai wali.

“Mereka bukan anggota SI tetapi hanya peminat yang jumlahnya melebihi jumlah anggota. Walaupun sudah dilarang untuk berjabatan tangan dengan Tjokroaminoto, tetapi orang-orang tetap berdesak-desakan. Orang ingin melihat wajah sang pemimpin,” kata Haji Agus Salim seperti yang dikutip dari buku Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? (1985) yang ditulis A.P.E. Korver.

“Sia-sia kami terangkan bahwa kami dan Tjokroaminoto adalah pemimpin SI, bukan juru selamat yang mereka tunggu,” imbuhnya.

Sebagai catatan, Sarekat Islam pada periode kepemimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto yang berlangsung sejak tahun 1914 hingga wafatnya pada 1934 disebut-sebut sebagai organisasi sosial-politik terbesar di Indonesia.

Kardiyat Wiharyanto dalam buku Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara (1996) mencatat, jumlah anggota SI pada 1919 bahkan menembus angka 2,5 juta orang. Maka tidak heran jika Belanda menjuluki Tjokroaminoto sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota”.

Ramalan Munculnya Prabu Heru Tjokro

Oemar Said Tjokroaminoto lahir di sebuah desa yang terletak di Madiun, Jawa Timur, yakni Desa Bakur, tanggal 16 Agustus 1882. Tjokroaminoto berdarah ningrat, masih bertalian darah dari Raja Surakarta, Susuhunan Pakubuwana II. Tjokroaminoto sebenarnya menyandang gelar Raden Mas meskipun gelar bangsawan Jawa kelas atas tersebut tidak pernah ia gunakan.

Dituliskan Soedarjo Tjokrosisworo dalam buku H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya (1952) karya Amelz, Tjokroaminoto adalah keturunan dari K.H. Hasan Besari, ulama legendaris pendiri Pondok Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar di Ponorogo. Asal-usul inilah yang membuat orang-orang percaya bahwa Tjokroaminoto bukanlah orang biasa.

Setiap kali Tjokroaminoto berkunjung ke daerah-daerah, kerap terdengar orang-orang berseru: “Wisnu kami! Wisnu kami!” Kala itu, nuansa kejawen yang terafiliasi dengan ajaran Hindu masih cukup kental dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dewa Wisnu adalah salah satu dewa tertinggi dalam kepercayaan umat Hindu, dewa pelindung.

Sebagian orang Jawa meyakini bahwa Tjokroaminoto adalah titisan Dewa Wisnu yang hadir sebagai Mesias atau juru selamat untuk melindungi mereka dari segala macam marabahaya maupun penindasan dalam kehidupan kolonial Hindia Belanda pada masa itu.

Penghormatan kepada Tjokroaminoto juga tidak terlepas dari adanya mitos Prabu Heru Tjokro, sosok Ratu Adil atau juru selamat yang muncul dari nubuat Jayabaya. Terlebih pula, nama Tjokroaminoto amat mirip dengan sang Mesias yang telah lama dinanti kemunculannya tersebut.

“Mungkinkah ia (Tjokroaminoto) adalah Prabu Heru Tjokro, Ratu Adil tradisional yang sudah lama dinanti-nantikan? Ia datang dan diterima atas nama Tjokro. Di dalam suatu dunia yang sudah diresapi hubungan-hubungan dan kepercayaan mistik, persamaan nama itu bukan suatu kebetulan,” tulis Bernard Dahm dalam buku Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987).

Berdasarkan ramalan, lanjut Bernard Dahm, kedatangan Mesias akan ditandai dengan munculnya bencana alam. Entah kebetulan atau tidak, ketika Tjokroaminoto lahir tahun 1882, Gunung Krakatau mulai menunjukkan gelagat erupsi dan mencapai puncaknya pada 1883 yang disebut-sebut sebagai letusan gunung api terkuat sepanjang sejarah.

Tjokroaminoto Bukan Ratu Adil

Sebelum Tjokroaminoto, anggapan sosok Prabu Heru Tjokro juga pernah disematkan kepada Pangeran Diponegoro. Saat memimpin Perang Jawa melawan Belanda pada 1825-1830, Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan nama Sultan Heru Tjokro.

Sukarno yang merupakan salah satu murid langsung dari Tjokroaminoto, sempat pula dianggap sebagai titisan Prabu Heru Tjokro atau Mesias yang telah menyelamatkan rakyat Jawa dan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Seperti kata Haji Agus Salim, mereka yang mengelu-elukan Tjokroaminoto bukan hanya dari massa Sarekat Islam yang punya anggota jutaan orang, melainkan juga dari orang-orang lain yang benar-benar mengagumi sosok yang mereka anggap sebagai titisan Prabu Heru Tjokro tersebut.

Beruntung Tjokroaminoto punya sahabat seperti Agus Salim yang selalu mengingatkan agar tidak ia terlena dengan puja-puji dan anggapan suci dari banyak orang itu.

Agus Salim mengingatkan, Tjokroaminoto adalah pemimpin umat Islam yang seharusnya tidak terperdaya kepada hal-hal mistik yang bisa mendekatkan kepada tindakan kufur.

“Tjokro, saya harap kamu tidak menjadi pongah. Memang berat menjadi pemimpin rakyat yang begitu fanatik,” kata Haji Agus Salim kepada Tjokroaminoto suatu kali, dikutip dari buku Zainut Tauhid Sa’adi berjudul Islam, Nasionalisme, dan Masa Depan Negara-Bangsa Indonesia (2011).

“Ratu Adil adalah gerakan yang sangat berbahaya karena merupakan kekuatan yang berada di luar dan tidak dapat diawasi. Konsep Ratu Adil merupakan sisa-sisa paham animisme dan mistik yang harus ditindas dalam kalangan Islam di Indonesia,” tegas Haji Agus Salim.

(N.R. Akbar)

 

 

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI