Kesenian Wacinwa, Perpaduan Budaya China-Jawa di Dalam Masyarakat Nusantara

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
kesenian Wacinwa, Pertunjukan wayang china
Pertunjukan Wacinwa pada Pekan Budaya Tiong-hoa Yogyakarta (PBTY) /Foto: radarjogja.jawapos.com

SANTRI KERTONYONO – Perjalanan sejarah Wayang China-Jawa atau Wacinwa berawal dari akulturasi dua budaya yang berbeda. Kesenian Wacinwa mulai populer pada tahun 1920-an.  Seorang seniman peranakan China bernama Gan Thwan Sing yang mempopulerkannya.

Meski hasil akulturasi budaya Jawa, Wacinwa lebih kerap mengangkat cerita legenda klasik Tiongkok. Pada kisaran tahun 1925 – 1960 M, Wacinwa dimainkan secara massif dan selalu tampil dalam pertunjukan seni pedalangan.

“Kini, Wacinwa tidak lagi dimainkan, dan telah berubah menjadi koleksi bersejarah.,” ungkap Setyawan Sahli Kepala Museum Sonobudoyo dilansir dari artikel Akulturasi Budaya China dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta. “Koleksi pertama Wacinwa tersimpan di Art Gallery, Universitas Yale Amerika Serikat. Sedangkan koleksi kedua tersimpan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta,” tambahnya.

Dalam masyarakat Yogyakarta, seni pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa dikenal dengan sebuatn wayang thithi. Kata thithi  merujuk pada suara alat musik yang terbuat kayu berlubang, di mana saat  dipukul memperdengarkan suara thek…thek…thek…thek. Pada telinga orang Jawa, suara tersebut lebih terdengar gemerincing thi…thi…thi…thi.

Sebagai seniman, Gan Thwang Sing juga menulis lakon cerita wayangnya sendiri. Buku-buku lakon tersebut ia tulis dalam bahasa aksara Jawa. Kendati demikian sumbernya berasal dari cerita China kuno. Salah satu lakon yang pernah dimainkan adalah Thig Jing Nga Ha Ping She: Rabenipun raja Thig Jing atau pernikahan Raja Thig Jing.

Mulai nama tokoh yang diperankan, hingga negara serta kerajaan ditulis sesuai nama aslinya. Sementara sebagian besar istilah kepangkatan, jabatan dan gelar mengambil istilah Jawa. Di antaranya sebutan narendra, pangeran, patih, adipate, bupati, dan tumenggung.

Menurut Dwi Woro R. Mastuti dalam Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, buku lakon tersebut diawali dengan lokasi adegan. Kemudian berlanjut dengan nama-nama tokoh wayang, dan berakhir dengan uraian kisah.

Selama proses pagelaran, seluruh aspek yang digunakan tetap mempertahankan idiom-idiom pendalangan Jawa, yakni mulai janturan, suluk, maupun kandha.

Inti Pertunjukan Wayang Mirip Pedalangan Jawa

Proses pagelaran wayang Wacinwa sangat menyerupai tradisi yang biasanya dilakukan para dalang Jawa. Setiap pertunjukan akan diawali dengan membakar dupa pada anglo, lantas disusul dengan rapalan mantra yang di pimpin oleh dalang.

“Kemiripan prosesi dengan wayang Jawa ini memang sengaja dimunculkan oleh Gan Thwan Sing agar lebih berkesan dan menguatkan suasana sakral bagi penontonnya. Terlebih jika wayang China tersebut dipertunjukkan sesuai upacara religius di klenteng,” ungkap B. Soelarto dan S. Ilmi Albiladiyah dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta.

Begitu juga dengan perkakas yang dipakai selama pagelaran wayang China berlangsung. Juga serupa dengan wayang kulit Jawa, termasuk juga cara menggunakannya. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk wayang. Gan Thwan Sing menciptakan wayang bercorak China lengkap dengan wajah, tata busana serta ragam hiasnya.

Dalam Wayang Kulit Tionghoa atau Wayang Kulit Cina Jawa Tinggal Kenangan, Soelarto menyebut ragam hias yang ditemukan pada wayang China beberapa di antaranya menggunakan ragam corak Jawa. Bentuk alat penguat kerangka wayang serta bentuk alat pemegang tangan juga serupa dengan wayang kulit Jawa.

Pertunjukkan Wacina juga menggunakan pakem yang sama dengan wayang kulit Jawa. Seperti penggunaan kelir, kotak, cempolo, kepyak, blencong, gedebog pisang, serta alunan gamelan yang mengiringi selama pertunjukan Wacina.

“Gamelan yang biasanya digunakan adalah gamelan slendro dan pelog. Selain itu juga terdapat suluk dalam pagelaran wayang purwa Jawa yang digunakan sebagai simbol bahwa pagelaran Wacina telah dimulai,” tulis Hanggar Budi Prasetya dalam Wacinwa: Silang Budaya Cina-Jawa Koleksi Museum Negeri Sonobudoyo.

Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan wayang kulit Jawa, Wacinwa ini memiliki satu keunikan yang tidak dimiliki wayang lainnya. Yakni badan dan kepala wayang dibuat terpisah. Setiap wayang bisa berubah nama apabila kepala dan badannya diganti. Namun, koleksi Wacinwa dengan kepala terpisah ini hanya bisa ditemukan di Yogyakarta.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI