Keris Pusaka dan Kisah Budaya Nusantara yang Terlupa

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Keris Kiai Kanjeng Nogo Siluman milik Pangeran Dipongero yang dipamerkan di Museum Keris Solo mulai dari tanggal 20-25 November 2021 kemarin. Keris ini sempat dinyatakan hilang selama 150 tahun. /Foto: jateng.tribunnews.com

santrikertonyonoTelinga Fauzi, lelaki asal Kabupaten Blitar itu, awalnya hanya sering mendengar istilah-istilah seputar dunia keris. Dapur, Tangguh, Pamor, Pancer, Ganja, Pesi dan Yoni. Ketika mendiang kakeknya masih ada, sempat terdengar pula istilah keris kamardikan, yang itu membuat Fauzi jadi mengerti: tak semua keris menyandang sebutan pusaka.

“Dari situ tahu, tidak semua keris bisa disebut pusaka,” tutur Fauzi. Mendiang kakeknya nyaris tak pernah absen satu kali pun. Tiap menjelang bulan Suro (penanggalan Jawa), selalu mengingatkan: jangan lupa kerisnya dijamas. “Keris kepunyaan simbah kemudian diwariskan kepada anak-anaknya,” kata Fauzi yang bekerja sebagai perangkat desa.

Yang semula tak tahu, Fauzi kemudian terbiasa dan lalu menjadi mengerti. Apa itu ritual jamas, air kelapa, buah bentis, keceran jeruk nipis yang bercampur “rempah-rempah” ubo rampe jamasan. Ia jadi tahu manfaat warangan yang dioles-oleskan pada bilah-bilah keris yang usai dijamas.

“Katanya untuk menjaga ketahanan logam pusaka,” ungkapnya. Karena berminat dengan keris pusaka, Fauzi lantas berusaha mencari tahu lebih jauh. Ia bahkan akhirnya mendapat keris pusakanya sendiri. “Proses memperolehnya tergolong ganjil,” ungkapnya.

Keris pusaka itu dibawa seorang laki-laki tua, yang tiba-tiba bertamu ke rumahnya. Fauzi merasa tak pernah kenal. Laki-laki itu mengenakan baju yang lusuh, dengan sepeda angin sebagai tunggangannya.

”Mengaku dari Tulungagung dan tiba-tiba menyerahkan keris yang ia bawa,” kenang Fauzi. “Saya sempat bingung. Tak mengerti, apa maksudnya?,” tambahnya.

Laki-laki tua itu tak bersuara apapun saat Fauzi bertanya, “Berapa uang yang musti saya berikan?”. Ia memilih menghisap rokoknya dalam-dalam. Di sela asap rokok yang lepas dari bibirnya, laki-laki itu lantas berucap, kalau dirinya tak sedang berdagang.

Intinya, ia sukarela menyerahkan keris pusakanya. Keris tersebut jenis tangguh Mataram. Bentuknya ramping, panjang dan katanya telah berjodoh dengan Fauzi, dan karenanya harus diantarkan kepada pemilik barunya. Fauzi tak kuasa menolak. Ia ingat petuah mendiang kakeknya: laki-laki Jawa itu harus memiliki keris pusaka. Kemudian juga memelihara burung perkutut, dan seekor kuda .

“Dan memang kategori pusaka beryoni. Saya bisa merasakan getarannya,” ungkap Fauzi yang sebelumnya sempat bertanya kepada sejumlah ahli perkerisan . Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri Imam Mubarok mengatakan, yoni itu semacam energi. Gus Barok demikian akrab disapa menjelaskan, sebilah keris pusaka mengandung dua unsur: eksoteris dan esoteris.

Eksoteris, kata Gus Barok menyangkut estetika keris, yakni terkait pamor dan dapur, keelokan keris secara fisik. Sedangkan esoteris terkait dengan energi atau yoni yang tersimpan di dalamnya. Menurut Gus Barok, setiap manusia terdapat gelombang elektromagnetik dalam tubuhnya. Pada keris yang memilki yoni, gelombang itu akan bereaksi, yang berupa rasa getaran.

Tingkat kepekaan yang berbeda-beda, yang membuat satu sama lain tak sama dalam merasakan getaran energi keris pusaka. “Kalau yang terbiasa bergaul dengan keris pusaka tentunya akan lebih mudah merasakannya,” kata Gus Barok yang dikenal sebagai kolektor berbagai macam keris pusaka.

Pengunjung melihat keris Kiai Kanjeng Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro di Museum Keris Solo. /Foto: Ayo Semarang

Bukan Sekedar Senjata Tikam

Bambang Harsinuksmo dalam Ensiklopedi Keris (tahun 2004) menyebut empat kriteria sebilah keris layak disebut keris. Setiap keris bisa dinamai keris bila memiliki bilah (termasuk pesi) dan ganja, sebab keduanya merupakan unsur utama.

Bilah dan pesi melambangkan wujud lingga. “Sedangkan bagian ganja melambangkan ujud yoni,” tulisnya. Dalam falsafah Jawa, penyatuan lingga dan yoni ditafsirkan sebagai harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian) dan kekuatan.

Unsur kedua keris bisa disebut keris apabila bilah keris memiliki sudut tertentu terhadap Ganja, dan tidak tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong ini diperlambangkan sebagai sifat orang Jawa. Bahwa seseorang apapun pangkat dan kedudukannya harus senantiasa tunduk dan hormat.

“Bukan saja pada Sang Pencipta, tapi juga pada sesamanya”. Unsur yang ketiga lebih menyangkut pada ukuran keris. Lazimnya bilah keris memiliki panjang 33-38 cm. Yang terpendek adalah 16-18 cm, yakni misalnya keris Buda dan keris ciptaan Nyi Sombro Pajajaran.

Namun ada juga yang berukurkan 12 cm atau bahkan lebih kecil dari ukuran bolpoin. Pada prinsipnya, sebuah keris mungil tidak dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat yang berbentuk keris.

Unsur yang keempat adalah, sebuah keris bisa disebut keris yang baik apabila mengandung minimal dua atau tiga anasir , yakni besi, baja, dan bahan pamor, serta melalui proses penempaan. Namun adapula keris tua macam keris Buda yang tidak menggunakan baja.

Linus Suryadi dalam buku Regol Megal Megol, Fenomena Kosmogoni Jawa menuliskan, apabila seseorang hendak mengoleksi sebuah keris pusaka, diharapkan memperhatikan tiga hal utama: Tangguh, Sepuh dan Wutuh.

Tangguh menjelaskan asal-usul keris pusaka. Kemudian Sepuh terkait dengan usia keris. Keris yang berumur tua, yakni dalam hitungan abad atau puluhan abad menjadi pertimbangan penting. Sedangkan Wutuh menjelaskan wujud fisik keris pusaka masih utuh, tidak cacat atau rusak.

Para ahli budaya dalam Ensiklopedi Keris menyebut keris sebagai budaya Nusantara. Keris pertama kali dibuat pada abad ke-6 atau ke-7 di tanah Jawa. Keris pada masa awal-awal itu memiliki sebutan keris Buda.

Di lingkungan dunia tosa aji, nama Empu Ramahadi pembuat keris pancer Pasopati (jaman Jawa Kandha) dan Empu Windudibya pembuat pancer Sabukinten (Kerajaan Kediri), disebut sebagai empu-empu era awal.

Sebagian peneliti Barat menggolongkan keris sebagai senjata tikam yang bertujuan untuk menghabisi atau membunuh. Bambang Harsinuksmo menyangkal persepsi itu, dengan mengatakan keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Sifat senjata pada keris lebih pada pengertian simbolik, yakni dalam artian spiritual. “Untuk sipat kandel, kata orang Jawa”.

Karenanya tak heran sebagian orang percaya, keris tertentu dapat menambah keberanian dan rasa percaya diri pemiliknya. Singkat kata, sebagian orang meyakini keris memiliki tuah dan tuah itu dapat dimanfaatkan. Fauzi, warga Kabupaten Blitar membenarkan hal itu, meski ia enggan menjelaskan secara rinci.

Pada situasi tertentu, ia mengaku merasa lebih percaya diri, bahkan kelewat berani ketika sudah memegang keris pusaka pemberian orang Tulungagung tersebut. “Ada perasaan tak lagi takut dengan siapapun. Dan itu tak bisa dijelaskan,” katanya.

Pendapat keris bukan semata senjata tikam dikuatkan oleh laporan Fa Huan dalam berita Cina. Disebutkan bahwa anak-anak kecil di sekitar keraton Majapahit suka bermain perang-perangan dengan mengenakan keris. ”Menjadi indikator kuat bahwa keris pusaka menjadi pakaian sehari-hari rakyat kerajaan itu”.

Kendati demikian, sejarah mencatat, keris pusaka Kanjeng Kiai Balabar milik Pangeran Puger digunakan sebagai alat membunuh. Pada abad ke- 18, Sunan Amangkurat Amral pernah memakai keris berdapur Pasopati itu untuk menghukum mati Trunojoyo di alun-alun Kartasura.

Sunan Giri juga memakai keris Kalamunyeng untuk mengobrak-abrik pasukan Majapahit yang berusaha menaklukkan wilayah Giri Kedaton. Digambarkan dalam “Serat Centhini I, Kisah Pelarian Putra-putri Sunan Giri Menjelajah Nusa Jawa”. Keris itu berputar-putar sendiri melukai tentara Majapahit yang berusaha mendekat.

“Banyak prajurit Majapahit yang tewas, tidak sedikit yang terluka, sebagian lainnya lari terbirit-birit mencari selamat,” tulis Agus Wahyudi. Keris Empu Gandring dipakai Ken Arok untuk mengambil alih kekuasaan akuwu Tumapel dengan cara menikam Tunggul Ametung hingga tewas.

Keris pusaka Kiai Setan Kober dipakai Adipati Jipang Aryo Penangsang untuk berperang melawan Danang Sutawijaya pada awal berdirinya Kerajaan Pajang.

Kemudian Pangeran Diponegoro juga memakai keris pusaka Kiai Bondoyudho untuk memerangi pasukan kompeni Belanda. Keris Bondoyudho merupakan pusaka tangguh Mageti buatan empu pengamal tarekat Syattariyah.

Sebagai warisan budaya asli Nusantara, khususnya Jawa, eksistensi keris dan empu pembuatnya terus memudar. Budaya keris dan tosan aji pernah berkembang pesat pada era Kerajaan Mataram Islam (1582-1749). Di jaman pemerintahan Sultan Agung, muncul sejumlah dapur baru, diantaranya Nagasasra.

Para empu yang terkenal di masa itu adalah Empu Ki Nom, Legi dan Empu Guling. “Pada masa itu pula tumbuh budaya kinatah pada keris, di antaranya kinatah kamarogan dan gajah-singa,” tulis Bambang Harsinuksmo dalam Ensiklopedi Keris.

Budaya keris berkembang lagi pada masa Kasunanan Surakarta, yakni era pemerintahan Pakubuwono VII, IX dan X. Para empu yang terkenal diantaranya Empu Brajaguna, Singawijaya, Brajasetika dan Japan. Setelah itu, orang Jawa tidak lagi mengapresiasi budaya keris pusaka dan tosan aji.

Umar Kayam dalam “Keris Dalam Konteks Budaya Jawa”, Citra Yogya, No. 10 Juli-Agustus 1989 Tahun Ke II menyebut ada empat aspek yang menyebabkan keris kemudian jauh dari apresiasi. Diantaranya disebabkan adanya pergeseran sistem kepercayaan lama orang Jawa.

Kemudian pergeseran sistem nilai priyayi ke sistem urban elite, orientasi kuat generasi muda kepada cita rasa kultur dunia. “Dan penghayatan generasi muda Jawa yang semakin tipis terhadap bahasa dan susastra Jawa serta kelengkapan tata krama dari gaya hidup priyayi Jawa”.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI