Karomah Mbah Dimyati Selopuro Blitar

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
mbah-dimyati
Mbah Dimyati, sumber foto /Istimewa

Kiai Dimyati, Baran Selopuro, Kabupaten Blitar Jawa Timur merupakan waliyullah yang tanda karomahnya muncul sejak masih nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Setiap peziarah yang berdoa di depan pusara Mbah Dimyati, selalu ingat kisah insiden granat meledak.

Suatu hari santri Dimyati menemukan sebutir granat nanas di lingkungan pesantren Lirboyo. Ditengarai sisa amunisi pada masa perang kemerdekaan. Umumnya bocah. Rasa ingin tahu santri Dimyati terhadap barang yang ia jumput, begitu tinggi.

Granat yang digembol masuk ke dalam bilik pesantren itu, ia kulik-kulik. Untuk memastikan apa isinya, permukaannya dicongkel-congkel. Tiba-tiba duarrrr!. Granat itu meledak dengan dahsyat. Bangunan bilik pesantren Lirboyo beserta isinya, lumat berkeping-keping. Bagaimana dengan santri Dimyati?

Bocah itu tidak beranjak dari tempatnya. Pada tubuhnya tidak ada luka. Bahkan tergores pada kulit pun, tidak. “Atas peristiwa tersebut, semua santri Pondok Pesantren Lirboyo terkagum-kagum,” kata Muhammad Kurniansyah seperti dikutip dari berbagai sumber.

Mbah Dimyati mulai mondok di Pesantren Lirboyo seusai tamat sekolah rakyat. Sebelas tahun ia berguru langsung kepada Mbah Manab, pendiri Pesantren Lirboyo. Apa yang menjadi wejangan gurunya, ia laksanakan dengan patuh. Berbagai sumber menyebut, Dimyati merupakan santri kinasih Mbah Manab atau Kiai Abdul Karim.

Setiap Mbah Manab wiridan, santri Dimyati selalu berada di belakangnya. Ia ikut wirid sampai sang guru kelar berdizikir. Setiap subuh, Dimyati juga yang menyiapkan dampar untuk mengaji. Lampu ruangan ia yang menyalakan, lalu dengan tekun menunggu Mbah Manab tiba.

Dimyati tidak akan meninggalkan lokasi sampai gurunya balik lagi ke ndalem. Kiai Mahurin dari Nganjuk pernah cerita. Santri Dimyati sering tiba-tiba menyuguhkan makanan, lengkap dengan lauk pauknya. Para santri menilai semua itu tidak masuk akal. Mengingat hari sudah larut malam.

Setiap menerima kiriman dari rumah, Dimyati juga memiliki kebiasaan membelanjakan semua uang saku untuk makanan santri lain. Mungkin bagian dari riyadohnya (tirakat). Selama berhari-hari kemudian, Dimyati memilih bertahan dengan minum air putih.

Trah Sunan Geseng

Kiai Dimyati lahir pada tahun 1921 di Dusun Baran, Desa Ploso Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar. Ayahnya bernama Kiai Hasbulloh. Selain dikenal sebagai ulama, Kiai Hasbulloh pernah menjabat Kepala Desa Ploso serta anggota legislatif. Karenanya, banyak yang menyebut Mbah Hasbullah sebagai Kiai Nalindra.

Dari berbagai sumber, Kiai Hasbulloh berdzuriyah (keturunan) kepada Ki Cakrajaya atau lebih dikenal sebagai Sunan Geseng. Seorang waliyullah murid Sunan Kalijogo yang berasal dari Kali Watubumi, Bedug Butuh, Begelen, Purworejo, Jawa Tengah. Sunan Geseng kesohor memiliki karomah tak bisa terbakar api.

Sayang, tidak banyak sumber terkait silsilah tersebut, yang bisa diperoleh. Sumber lain menyebut, kakek buyut Mbah Dimyati adalah Mbah Ekomedjo. Seorang lurah pertama Desa Purwokerto, Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar. Makam Mbah Ekomedjo berada di daerah Domot, Desa Purwokerto, Kecamatan Srengat.

Sementara itu, pernikahan Kiai Hasbulloh dengan Nyai Maryam dikaruniai tujuh anak. Pada garis darah itu, Mbah Dimyati merupakan putra yang keempat. Dari berbagai cerita tutur. Berawal dari pemberian tanah hibah dari Mbah Syamsuddin, Gading, Kiai Hasbulloh mendirikan pondok pesantren di Dusun Baran.

Sejumlah santri Kiai Hasbulloh, kelak menjadi kiai yang sekaligus pendiri pondok pesantren. Salah satunya Kiai Shodiq Damanhuri, pendiri Pesantren Sanan Gondang, Gandusari, Kabupaten Blitar. Sebagai putra kiai, sejak kecil Dimyati tumbuh di lingkungan santri.

Dimyati tumbuh sebagai bocah yang pendiam sekaligus penyendiri. Tirakat dan uzlah menjadi kebiasaannya. Sejak muda ia gemar berziarah ke makam-makam auliya. Terutama saat berada di rumah kakek buyutnya di Desa Purwokerto, Kecamatan Srengat. Mbah Dimyati rutin menziarahi makam auliya Mbrebesmili Santren.

Di makam tersebut terdapat enam makam tokoh ulama. Selain nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, Mbah Dimyati juga pernah berguru kepada Mbah Kasan Munajat atau Mbah Kasan Munojo, Kesamben Blitar. Pernikahan Mbah Dimyati dengan Nyai Rufiah Mondo dikaruniai seorang putra. Pernikahan yang kedua dengan Nyai Muawanah dikaruniai empat anak.

Selain Umi Mukaromah, ketiga anak Mbah Dimyati yang lain telah mendahuluinya (meninggal dunia). Mbah Dimyati yang menjalani hidup zuhud dikenal sebagai ulama yang santun sekaligus dermawan. Sedekahnya selalu ia rahasiakan rapat-rapat. Ia juga tidak pernah menolak tamu yang datang ke tempatnya.

Semua yang sowan kepadanya ia terima dengan tangan terbuka. Tidak terkecuali orang-orang yang di lingkungan sosial dianggap sebagai sampah masyarakat. Mbah Dimyati mengawali karir sebagai ulama dengan mengajar ngaji Alquran dan kitab. Di desanya ia juga mengajar sekolah diniyah.

Dalam mengajar kitab, Mbah Dimyati tidak memakai metode menjelaskan makna ayat pada setiap bab. Namun memilih melakukan pendekatan ruhaniyah. Mbah Dimyati memberikan isyaroh kepada santri yang tengah membaca bab yang ada dalam kitab.

Misalnya santri diminta seorang diri berada di kolam yang sunyi dan diminta merenungi perjalanan hidupnya. Begitu mengerti, santri dinyatakan telah lulus. Mbah Dimyati juga dikenal sebagai ulama pengamal kitab Dalail al-Khairat karya sufi Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli.

Ia pernah mengijazahi salawat Dalail al-Khairat di pondok pesantren Miftakhul Huda, Sekadardangan, Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro. Pada tahun 1989 Mbah Dimyati tutup usia dan dimakamkan di Baran Selopuro.

Mbah Dimyati wafat pada usia 68 tahun. Para santri dan pengagumnya yang tergabung dalam Majelis Dzikir Kanzul Jannah (Jumpa Sehat) setiap hari Kamis Legi malam Jumat Pahing menggelar dzikir akbar di pusaranya.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI