“Kampung Madinah”, Cerita tentang Masyarakat Temboro Magetan
- November 13, 2022
- 3:53 pm

SANTRI KERTONYONO – Lahirnya sebutan Kampung Madinah di Desa Temboro Kecamatan Karas Kabupaten Magetan, Jawa Timur memang belum diketahui kapan pastinya.
Namun yang pasti, sebutan Kampung Madinah itu sudah berlangsung lama. Banyak masyarakat yang menduplikasikan Kota Madinah kepada salah satu tempat di Desa Temboro tersebut.
Kendati demikian warga di sekitar Desa Temboro masih banyak yang tidak mengetahui sebutan Kampung Madinah. Sebagian tahu setelah konten tentang Kampung Madinah viral di media sosial.
Yang diketahui, sebagian besar warga Temboro dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Keberadaan Pondok Pesantren Al-Fatah ikut membawa pengaruh kuat itu. Tidak hanya pada sisi keagamaan, tapi juga perilaku sosial, termasuk perekonomian masyarakat sekitar.
Pondok pesantren berusaha menciptakan kebiasaan santri seperti suasana di Kota Madinah. Dan itu berlaku dalam kehidupan santri sehari-hari dan lama-kelamaan memunculkan sebutan Kampung Madinah.
Kebiasaan yang awalnya berkutat di dalam lingkungan pondok, perlahan menyebar ke luar. Semisal saat adzan berkumandang. Suasana Desa Temboro yang semula ramai dengan aktifitas ekonomi, tiba-tiba berubah sepi.

Warga pada berbondong-bondong ke masjid atau langgar terdekat untuk menunaikan ibadah salat fardu. “Bahkan jejeran pertokoan akan ditutup, dan akan di buka kembali setelah selesai menunaikan ibadah sholat”.
Dalam berpenampilan sebagian besar warga Desa Temboro selalu berpakaian sunnah. Seperti halnya pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebagian besar kaum lelaki memakai baju gamis, sedangkan yang perempuan mengenakan baju muslim lengkap dengan cadar sebagai penutup wajah.
Dalam jurnal “Living Hadis Di Kampung Madinah, Temboro, Magetan”, Muhammad Rasyied Awabien menyebut Kampung Madinah sebagai komunitas sub-kultur dengan nilai-nilai eksklusif yang dianutnya.
Hal itu sekaligus bentuk dukungan sekaligus hubungan harmonis antara para kiai, pengasuh pesantren, serta para jamaah yang lebih dikenal dengan Jamaah Tabligh. Komunitas sub-kultur Kampung Madinah ini juga terbentuk karena adanya empat tahapan dakwah, yakni ta’aruf, ta’alluq, targib, dan tasykil. Dimana, ideologi mereka menduduki peran sebagai sumber pengaruh dari komunitas sub-kultur Desa Temboro.
Secara garis besar, ideolagi yang mereka anut adalah salah satu alasan utama mengapa komunitas Kampung Madinah ini bisa terbentuk. “Kiai pengasuh pondok mampu memberikan pengaruh besar dalam komunitas, pola dari orientasinya pun juga bergantung dari pengasuh pondok”.
Jamaah Tabligh Akbar dan Kampung Madinah
Jamaah Tabligh didirikan Maulana Muhammad Ilyas yang lahir 1303 H/1885 M di Kandhla India. Jamaah Tabligh merupakan salah satu komunitas yang menawarkan cara untuk mencapai kebahagiaan. Komunitas ini mengklaim netral, baik dari segi bermazhab, ormas, maupun politik.
Yang mereka tonjolkan adalah aktivitas keagamaan secara rill, salah satunya dengan mempengaruhi orang lain untuk melakukan praktik keagamaan seperti tertib mendirikan salat berjamaah. Bahkan, mereka juga menyatakan sebagai kelompok ahlus sunnah wal jama’ah.
Jamaah Tabligh Akbar menekankan pada prinsip mendorong manusia agar lebih banyak memikirkan kehidupan akhiratnya daripada memikirkan duniawi. Dari realitas prinsip tersebut, akhirnya membuat suatu daerah ataupun suatu kelompok menjadi bergantung dan hidup dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya dengan benar.
Hal itu melekat kuat pada Desa Temboro, yang kemudian mendapat sebutan Kampung Madinah. Mayoritas warga yang beragama Islam berafiliasi dengan organisasi dakwah Jamaah Tabligh.
Nama Temboro sendiri diyakini berasal dari istilah Jawa “ombo oro-orone”, yakni kawasan lapang atau jembar. Soal pakaian. Meski sebagian besar warga Temboro berpakaian khas ala penduduk Arab Saudi, mereka bukan golongan mereka yang dicap garis keras.
Manhaj ibadah mereka lebih condong kepada organisasi Nahdlatul Ulama di Indonesia. Disisi lain, Desa Temboro merupakan sebuah representasi dari keberhasilan Jamaah Tabligh sejak awal kehadirannya di Indonesia.
Keberadaan Pondok Pesantren Al Fatah dikabarkan menjadi cikal bakal berdirinya komunitas atau perkumpulan ini.
Rutin setiap hari Senin malam Selasa, terdapat program gerakan dakwah keliling. Gerakan ini mengajak para warga yang bertempat tinggal di sekitar masjid untuk bersama-mama menguatkan amalan Islam.
Kemudian pada setiap Kamis, malam Jum’at, menggelar bayan umum yang mengundang seluruh masyarakat. Lokasi bertempat di bertempat di Masjid Darus Salam Trangkil.
Kehadiran Pondok Pesantren Al-Fatah dan Jamaah Tabligh membawa banyak kemajuan warga masyarakat. Desa yang dulunya kawasan miskin serta berekonomi rendah, kini berubah lebih baik.
Perjalanan Pondok Pesantren Al Fatah di Desa Temboro
Pondok Pesantren Al Fatah didirikan oleh Kiai Mahmud bersama dengan saudara kandungnya yakni KH. Ahmad Shodiq. Ponpes berdiri pada tahun 1950 dengan menganut konsep aswaja dan sistem tradisional yang dimasukkan ke dalam kurikulumnya.
Dalam segi orientasi keagamaannya, pesantren Al-Fatah ini menganut sistem pengajaran seperti layaknya pesantren di lingkungan nahdliyin lainnya. Pesantren ini lebih memadukan konsep tabligh (dakwah) dengan konsep pesantren.
Mahmud sendiri adalah ulama yang banyak menimba ilmu di beberapa pondok pesantren di Pulau Jawa. Salah satunya kepada hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Setelah selesai mondok, Kiai Mahmud pulang kampong, yakni Desa Temboro. Ia mendirikan masjid dan menggelar beberapa kegiatan pengajian.
Kiai Mahmud kemudian memutuskan mengubah warna pesantren asuhannya menjadi sebuah pondok pembinaan Jamaah Tabligh. Kiah Mahmud menilai, pergerakan Jama’ah Tabligh merupakan pergerakan Islam yang sangat sesuai dengan apa yang diajarkan Walisongo jaman dahulu.
Keputusan untuk mengadopsi amalan-amalan tabligh langsung direspon positif masyarakat Temboro. Mereka antusias menghidupkan kembali musala sekaligus membantu perkembangan Jama’ah Tabligh menuju kesuksesan.
Masyarakat Temboro bersama para santri bersama-sama mengaungkan dakwah Islam dengan cara mengikuti arahan-arahan dari sang Kiai, salah satunya hal berpakaian.
Seorang wanita diwajibkan memakai burko’ atau penutup wajah dan laki-laki diharuskan memakai jubah serta pakaian-pakaian panjang namun tidak melebihi mata kaki.
Antusiasme masyarakat tak hanya berhenti disitu. Mereka tak segan mengeluarkan uang, meminjamkan tanah atau rumah mereka untuk kegiatan-kegiatan Jama’ah Tabligh. Bahkan tak sedikit yang menjual tanah dengan harga murah semata demi berkembangnya Jama’ah Tabligh.
Melalui semarak beragama inilah lantas nilai-nilai Islam dapat terinternalisasidan menjadi gaya hidup warga Desa Temboro. Di antaranya kebiasaan tolong menolong, sikap sederhana, dan penuh khidmah dalam beragama. Cerminan sikap sederhana terlihat dari pola pikir mereka yang selalu berpenampilan sederhana.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden