Jejak-Jejak Sejarah Dua Kerajaan Besar di Magetan
- September 28, 2022
- 7:00 pm

Santrikertonyono – Kabupaten Magetan memiliki 19 kecamatan yang menyimpan banyak jejak-jejak sejarah besar di beberapa wilayahnya. Peninggalan sejarah itu seperti petilasan bangunan purbakala atau bahkan petilasan bekas pusat pemerintahan dahulu kala.
Beberapa diantaranya seperti petilasan makam Empu Supo di Dukuh Malang, Desa Plumpung, Kecamatan Plaosan yang berupa Pawon Sewu atau punden berundak, Argo Dalem, dan Sendang Drajad. Sedangkan di puncak Gunung Lawu juga ditemukan punden berundak dan sisa-sisa bangunan yang telah runtuh.
Unsur bangunan yang telah runtuh itu seperti batu lumpang, ambang tangga dengan pahatan kepala naga, tantri, kala makara, serta fragmen batu yang bertuliskan dengan huruf kwadran. Konon, peninggalan ini diperkirakan berasal dari akhir zaman Kerajaan Majapahit.
Dilansir dari jurnal ilmiah yang berjudul “Tradisi Ledug (Lesung Bedug) Sura dalam Perspektif Strategi Kenusantaraan di Magetan” (2022) oleh Dea Lunny Primamona, pembentukan Magetan bermula dari adanya kegiatan babad hutan yakni membuka lahan baru dengan membakar atau menebang pohon-pohon untuk dijadikan wilayah yang layak huni.
Beberapa data sejarah menyebutkan kegiatan babad hutan tersebut berlokasi di timur Gunung Lawu oleh seorang laki-laki bernama Ki Buyut Suro yang bergelar Ki Ageng Getas. Babad hutan itupun tak serta merta dilakukan tanpa aba-aba, dimana pelaksanaannya atas dasar perintah Ki Ageng Mageti.
Konon, Ki Ageng Mageti berasal dari Kerajaan Mataram pada masa Mataram Islam yang kala itu berpusat di Kutha Gedhe. Sekitar pada abad ke-16, Ki Ageng Mageti memutuskan pindah ke daerah yang telah siap untuk huni untuk selanjutnya mendirikan dan mengembangkan padepokan Mondrogiri. Bahkan, beberapa tokoh Kerajaan Mataram bermunculan dari padepokan ini.
Saat padepokan dalam proses berkembang, Kerajaan Mataram mengalami gejolak. Ditandai dengan perpindahan ibu kota dari Kutha Gedhe ke Plered pada masa pemerintahan Amangkurat I pada tahun 1647. Lalu, pada tahun 1680 berpindah lagi ke Kartasura dan pada tahun 1745 untuk terakhir kalinya berpindah ke Surakarta.
Setelah berjalannya waktu, kurang lebih 1 tahun setelah sepeninggalan Ki Ageng Mageti, Padepokan Mondrogiri atau Kademangan Mondrogiri akhirnya disahkan menjadi Magetan oleh Patih Nrangkusumo atas restu dari Sinuwun Amangkurat Tegal Arum yang saat itu menjabat sebagai Raja Mataram terhitung mulai tanggal 12 Oktober 1674.
Pengesahan Magetan terjadi tepat pada saat masa-masa krisis kekuasaan Kerajaan Mataram yang disebabkan oleh adanya keberpihakan sebagian kerabat keraton dengan pihak kompeni. Tak lain, pengesahan ini sebentuk bentuk hormat atas jasa-jasa Ki Ageng Mageti yang telah melahirkan cikal bakal Kabupaten Magetan.
Namun, cikal bakal itu tak serta merta langsung bernama Magetan. Jauh sebelumnya, Magetan telah mengalami beberapa pergantian nama. Kabupaten ini awalnya bernama Mageti atau Magetian, yang akhirnya resmi dan berubah menjadi Magetan seperti yang dikenal hingga saat ini.

Petilasan Kerajaan Majapahit
Pada kurun waktu tahun 1478 atau tahun 1400 saka hingga tahun 1527, tepatnya pada masa akhir zaman Kerajaan Majapahit, tak sedikit rakyat atau bahkan kalangan keluarga keraton yang akhirnya meninggalkan pusat kerajaan. Banyak dari mereka berpencar, mencari wilayah yang lebih aman untuk berlindung.
Beberapa diantaranya ada yang pergi ke gunung-gunung, sekedar untuk memperjuangkan dan mempertahankan kebudayaan agama Hindu. Dan sebagiannya lagi memutuskan untuk pergi ke Gunung Lawu di Kabupaten Magetan dan daerah-daerah sekitarnya.
Hal itu pernah diceritakan dalam Babad Demak yang berisi “Bahwa Pangeran Gugur putra Brawijaya Pamungkas (yang oleh masyarakat Magetan disebut sebagai Sunan Lawu) bermukim di wilayah Gunung Lawu, yang batasannya sebelah selatan Pacitan, sebelah timur Benawi Madiun, sebelah utara Benawi (Bengawan Solo Ngawi dan Bojonegoro)”.
Banya bukti yang akhirnya menguatkan keberadaan Kerajaan Majapahit di Magetan, mulai dari berbagai peristiwa sejarah dan peninggalan-peninggalannya. Banyak dari sejarawan yang menilai bahwa petilasan-petilasan itu bisa dibedakan berdasarkan tipenya, yang bisa diperkirakan peninggalan sebelum dan sesudah eksistensi masa Kerajaan Majapahit.
Menurut Rustopo dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Indonesia I” (2012), Salah satu ciri yang bisa dikenali yakni adanya peninggalan Kerajaan Majapahit yang sebagian besar berasal dari bahan dasar batu merah, tentu ini sangat berbeda dengan masa sebelumnya yang lebih sering menggunakan batu andesit.
Seperti peninggalan berupa makam yang membujur ke utara selatan lengkap dengan batu nisan yang terbuat dari batu andesit berukuran lebar 34 cm, tebal 26 cm, serta tinggi 66 cm di Sonokeling Desa Kepolorejo Kecamatan Magetan. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Punden Kepolorejo atau Makam Sonokeling.
Pada salah satu bidang makamnya terdapat sebua tulisan Jawa Kuno dan bertuliskan huruf kwadran, serta terdapat pahatan padmasana. Padmasana sendiri merupakan tempat duduk berbentuk teratai yang diyakini sebagai simbol kesucian dalam agama Hindu dan Budha.
Sedangkan huruf kwadran tertulis diduga kuat juga digunakan pada masa Kerajaan Kediri pada tahun 1100 hingga 1220, biasa dikenal dengan sebutan Kadiri Quadratic Script. Huruf ini juga digunakan sebagai dekorasi di prasasti singkat, diatas pintu masuk goa serta dibelakang arca.
Beberapa literatur menyebutkan kebudayaan mengalami puncak kejayaannya saat masa Kerajaan Majapahit. Namun, saat Majapahit runtuh, kebudayaan kembali mengarah pada bentuk-bentuk budaya sebelum zaman Majapahit. Hal itu diperkuat dengan peninggalan-peninggalan sejarah yang memiliki unsur dan materialnya yang berbeda.
Keberadaan Kerajaan Mataram di Magetan
Dalam sebuah pupuh tembang Dhandanggula di Babad Tanah Jawi, Kerajaan Mataram memiliki pamor yang cukup tinggi di Magetan. Dari Babad Tanah Jawi inilah, sebuah karya sastra mampu merepresentasikan peristiwa tertentu di masa-masa yang telah lalu.
Masih dilansir dari jurnal yang sama, tertulis sebuah pupuh dengan beberapa bait yang telah di terjemahkan oleh Soetarjono, tokoh sejarawan dari Magetan.
Pupuh 3
Anging arine raneki
Sang dipati tan purun ngalihno
Dene patedan Sang Raji
Pandji sureng raneku
Duk sang nata aneng samawis
Mangkana Kartojudo
Ing raka tinuduh
Anggetjah mantjanegoro ponorogo, madiun lan saesragi
Kaduwang ka magetan
Yang berarti “Raja tidak menyetujui panji pindah nama dan Kartojudo diperintahkan untuk menyerang Mancanegara: Ponorogo, Madiun, Saesragi, Kaduwang, Ka Magetan.”
Pupuh 5
Saking nagari ing Surawesti
Wus sijaga sedja magut ing prang
Mring demang Kartojudone
Ing pranaraga ngumpul
Ka Magetan kaduwung sami
Tuwin ing Jagaraga
Pepak neng Madiun
Sampun ageng barisira
Sira demang Kartojudo budal saking
Caruban saha bala
Yang berarti “Dari Sulawesti Kartojudo beserta bala tentara berangkat dari Caruban akan ke Pranaraga, Magetan, Kaduwung, serta ke Jagaraga dan Madiun.”
Pupuh 8
Sira demang Kartojudo aglis
Budal saking Madiun negara
Mring Jagaraga kersane
Dene ingkang tinuduh
Mring kaduwang mantri kekalih
Ngabehi Tambakbojo
Lawan Wirantanu
Angirid prajurit samas
Mantri kalih ing kaduwang sampun prapti
Mandek barisira
Yang berarti “Kartojudo berangkat dari Madiun ke Jagaraga, sedang yang ke Kaduwang ialah mantri berdua, Nagbehi Tambakbojo dan Wirantanu.”
Dari beberapa pupuh tersebut maka bisa disimpulkan bahwa kala itu Magetan benar-benar daerah Mancanegara atau daerah-daerah yang berada di luar Mataram atau biasa disebut daerah taklukan Kerajaan Mataram. Magetan pada kenyataannya juga menjadi tempat berkumpulnya para prajurit Mancanegara untuk melakukan penyerangan ke pusat pemerintahan Mataram yang pada saat itu berada di bawah pengaruh Belanda.
Kekacauan terjadi dimana-mana dan berlangsung cukup lama di pusat pemerintahan Mataram. Kekacauan yang lebih dikenal dengan perang mahkota ini akhirnya berimbas pada daerah-daerah di sekitarnya. Akibatnya, tak sedikit leluhur Mataram yang wafat dan dimakamkan di daerah Magetan
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang