Islam dan Jawa di Maospati Nyawiji Melawan Kolonial Belanda
- Oktober 22, 2022
- 5:51 am

SANTRI KERTONYONO – Salah satu yang mencuri perhatian dari Maospati Kabupaten Magetan Jawa Timur adalah keberadaan Pangkalan TNI AU Iswahyudi. Maklum, lokasi kawasan militer yang berdiri sejak 1940 itu, berada di pinggir jalan raya umum Maospati. Setiap pengguna jalan yang melintas bisa melihatnya dengan mudah.
Selain luas, jalan raya Maospati yang terletak di kawasan pangkalan TNI AU Iswahyudi, juga panjang. Bentang jalan Maospati menghubungkan antara wilayah Kota Madiun, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi. Kendati lebar, setiap pengendara yang melintasi Maospati tak bisa sekehendak hati. Mereka wajib memperhatikan rambu peringatan.
Rambu yang ditujukan kepada para pengendara itu terpasang di beberapa ruas jalan. Tertulis: memasuki kawasan TNI AU dan kecepatan hendaknya dikurangi. Pengumuman yang lugas. Maka yang tampak sehari-hari, setiap mobil pribadi, bus, truk, hingga sepeda motor yang melewati Maospati, melaju perlahan.
Laju kendaraan seperti pelari yang sedang jogging sembari merundukkan kepala. Kecepatan 40 km/jam adalah laju maksimal. Alhasil, semua kendaraan yang melintas senantiasa berbaris rapi. Jangan harap bisa menyaksikan pemandangan seperti di jalan tol, di mana pengemudi tergesa –gesa mendahului kendaraan lain.

Lalu, bagaimana kalau rambu-rambu itu dilanggar? Entah, apa yang terjadi. Sejauh ini belum ada cerita nasib buruk apa yang menimpa para pengendara ugal-ugalan. Mungkin juga pernah terjadi. Namun sejauh ini kabar tentang adanya pengguna jalan yang nekat itu, belum terdengar.
“Kabarnya, peringatan itu (mengurangi kecepatan) muncul setelah adanya insiden kecelakaan yang menimpa keluarga TNI AU. Peristiwa itu berlangsung tahun 90-an lalu,” tutur Fathoni salah seorang warga Maospati, Magetan.
Maospati secara etimologis terdiri dari dua suku kata, yakni maos dan pati. Maos dalam bahasa Jawa krama berarti membaca. Sedangkan Pati mengandung arti hilangnya nyawa atau kematian.
Dalam Kamus Kawi-Jawa karangan C.F. Winter Sr dan R.Ng. Ranggawarsita, selain kematian, Pati juga mengandung arti ageng (besar), sanget (sangat), langkung (lewat), parentah (perintah) dan ratu (penguasa). Secara bebas bisa jadi Maospati bermakna kebesaran yang terbaca.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (HB I), Maospati adalah kawasan Mancanagara Timur. Secara adiministrasi berada dalam wilayah karsidenan Madiun. Status sebagai Mancanagara Timur atau wilayah timur jauh Yogya itu, terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan HB II (1750-1828).
Sultan menunjuk seorang Bupati Wedana sebagai penguasa tertinggi karsidenan Madiun. Yang ditunjuk adalah Kiai Wirosentiko asal Maospati yang bergelar Raden Ronggo Prawirodirjo I (1717-1784). Antara Kiai Wirosentiko dengan Sultan sudah lama terjalin kedekatan. Pada masa Perjanjian Giyanti (1755) Kiai Wirosentiko merupakan panglima perang Pangeran Mangkubumi.
Jabatan Bupati Wedana Madiun kemudian berlanjut kepada putranya, Raden Ronggo Prawirodirjo II, dan terus berlanjut kepada cucunya, yakni Raden Ronggo Prawirodirjo III (1795-1810).
Istri Raden Ronggo III, yakni Gusti Bendoro Ayu Maduretno atau Ratu Maduretno yang bermakam di Gunung Bancak Magetan, adalah putri Sultan HB II. Selain menantu, Raden Ronggo atau Eyang Ronggo juga dikenal sebagai penasehat Sultan HB II.
Sentot Ali Basah Prawirodirjo merupakan putra Raden Ronggo III. Sedangkan Pangeran Diponegoro adalah menantunya. Diponegoro menikahi putri Raden Ronggo III yang juga bernama Ratu Maduretno.
Pada masa pemerintahan Raden Ronggo III, nama Maospati tersohor. Pada Oktober 1810, terdorong semangat membebaskan Jawa dari penindasan kolonial Belanda, Raden Ronggo III menyiapkan pemberontakan. Dalam suratnya, Raden Ronggo menyebut Belanda telah menyengsarakan orang Jawa.
“Menghancurkan mereka yang terus menerus menipu orang Jawa,” begitu tulisnya kepada Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat.
Pada tembok kediaman Raden Ronggo di Maospati, bersiaga bambu runcing. Kediaman yang serupa keraton tersebut juga ditempatkan meriam. Raden Ronggo sengaja memusatkan pasukannya di Maospati. Sebab dalam konteks spiritual Maospati merupakan wilayah yang penting.
Dalam Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Maospati disebut bernama kuno Kuta Petik. Kuta diterjemahkan sebagai makutha yang berarti pangangge atau mahkota. Sedangkan Petik mengandung arti wisik (bisikan) atau isyarat.
“Tempat yang dipilih (Maospati) oleh para ahli nujum atau ahli perbintangan sebagai tempat yang paling menguntungkan sebagai ndalem baru bagi Ronggo ketika ia bergerak dari Madiun,” tulis Peter Carey.
Sebelumnya Raden Ronggo keluar dari keraton Yogya dan pamit pulang ke Madiun sampai bulan ramadan berakhir. Ia pergi dengan membawa serta 300 orang prajurit pengikutnya. Hal di luar kebiasaan yang mengejutkan kolonial Belanda.
Di Maospati dan wilayah karsidenan Madiun lainnya, Raden Ronggo menghimpun kekuatan. Raden Ronggo memiliki relasi yang kuat dengan komunitas-komunitas Islam-Jawa lokal. Selain hafal Al-Quran, ia sendiri juga dikenal sebagai penganut tarekat syatariah yang taat. Tarekat yang kelak juga menjadi amaliah Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya.

Pandangan Raden Ronggo terhadap Islam dan Jawa sebagai dua buah entitas yang harus berjalan bersama. Islam dan Jawa adalah nyawiji, yakni saling melebur. Juru kunci pesarean Raden Ronggo Prawirodirjo III di gunung Bancak, Heri Nurwanto mengatakan, oleh Raden Ronggo Islam dan Jawa diibaratkan dua tangan.
“Kalau Islam atau agama itu tangan kanan, maka tangan kirinya adalah Jawa,” tutur Heri kepada Santri Kertonyono. Berpusat di Maospati, Raden Ronggo mengobarkan panji-panji Islam Jawa dengan semangat mesianis Ratu Adil.
Pemberontakan Raden Ronggo terjadi pada tahun Wawu, yakni tahun ketujuh dari putaran siklus Jawa delapan tahunan yang sarat makna. Dalam perhitungan Jawa diyakini sebagai waktu yang tepat bagi kemunculan Ratu Adil.
Ia memakai gelar Kangjeng Susuhunan Prabu Ingologo Ingkang Anggrenggani Kraton Pinarjurit Ing Maospati (Yang Mulia Paduka Raja , penguasa dalam perang dari istana ratu pinarjurit di Maospati yang sedang mengembara memimpin perang).
Untuk mendapatkan bayang-bayang kewibawaan Sultan HB I, Raden Ronggo memakai ungkapan: berkah para leluhur yang merupakan ratu pinarjurit. Seluruh bupati bawahan serta para kolega dan sahabat juga ia kordinasikan menjadi satu kekuatan bersama.
Ia membungkus perlawanan terhadap kolonial Belanda dengan jargon – jargon pembelaan kepada wong cilik. “Ronggo mendeklarasikan dirinya sebagai pengayom dari semua orang Jawa dan orang Tionghoa yang telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah (Eropa),” tulis Peter Carey.
Pemberontakan berhasil dipadamkan dalam waktu singkat, yakni Raden Ronggo terbunuh pada 17 Desember 1810 di Sekaran, Bojonegoro, Jawa Timur. Namun meleburnya Islam-Jawa di Maospati sebagai satu kekuatan sosial politik terbukti telah menakutkan kolonial Belanda.
Kolonial Belanda terus berusaha untuk membelah, yang puncaknya dilakukan pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Pasca pemberontakan Maospati, Kolonial Belanda melakukan perubahan besar pada bekas daerah kekuasaan Raden Ronggo III di karsidenan Madiun.
“Kediamannya yang bergaya keraton di Maospati diratakan dengan tanah dan kursi bupati wedana dikembalikan ke Madiun,” demikian dikutip dari Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Baca juga
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan