Geger Pacinan, Cerita Pakubuwono II Mencari Suaka ke Ponorogo (1)

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
geger pecinan
Orang Tionghoa di zaman Hindia-Belanda /Foto: voi.id

SANTRI KERTONYONO – Peristiwa Geger Pacinan memaksa Pakubuwono II meninggalkan tahta dan sekaligus melarikan diri ke luar dari wilayah kekuasaannya.  Peristiwa itu terjadi pada periode waktu 9-12 Oktober 1740. Bersama rombongan pengikutnya, penguasa keraton Kartasura itu menuju Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Perjalanan menyelamatkan diri itu berlangsung panjang. Karena penat, di sejumlah tempat, Pakubuwono II memutuskan untuk singgah. Saat sedang melepas lelah, Pakubuwono II mendapat suguhan badeg atau air ketan dari warga setempat. Kelak daerah tempat beristirahat raja Jawa itu dikenal dengan nama Badegan.

Selama pelarian di Ponorogo, Pakubuwono II memakai gelar Panembahan Brawijaya. Ia memberi isyarat bahwa dirinya masih dzuriyah (keturunan) Sunan Lawu, putra Prabu Brawijaya V, penguasa Kerajaan Majapahit terakhir.

Perjalanan Pakubuwono II juga melintasi daerah perkampungan dan alun-alun yang tertata rapi. Ia berhenti sejenak untuk bertemu sesepuh setempat, yakni Jayengrana.

Oleh Jayengrana ditawari menginap di kediamannya. Pakubuwono II meyakini Jayengrana berasal dari silsilah orang besar. Orang Jawa menyebutnya thedaking kusumu rembesing madu. Ia pun mengajak Jayenggrana bergabung bersama rombongan yang tengah menuju Ponorogo.

Jayengrana bahkan mendapat tempat khusus. Selama di Ponorogo ia ditunjuk menjadi pendamping sekaligus penunjuk arah bagi Pakubuwuno II.

“Saat melewati hutan lebat, Pakubuwuno II memutuskan untuk singgah untuk beristirahat dan bertapa. Tepat diatas sebuah batu berbentuk pipih nan lebar, Pakubuwuno II memulai pertapaannya,” tulis Heru Budi Suseno dalam “Konsep Kepemimpinan Islam-Jawa dalam Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro dan Relevansinya dengan Kepemimpinan Publik di Indonesia” (2022).

Lokasi tempat bertapa di wilayah Kelurahan Mangkujayan Kecamatan Ponorogo itu kemudian dikenal dengan nama Pertapan. Sementara  batu yang dipakai alas duduk Pakubuwono II disimpan di Pemakaman Tamanarum.

Babad Alas  Ponorogo

Setiba di Kabupaten Ponorogo, Pakubuwono II tak pernah merasa sendiri. Banyak pengikutnya yang turut bertempat tinggal menetap. Salah satunya Wonodikromo yang memutuskan melakukan babad alas Ponorogo.

Hutan yang telah dibuka berubah menjadi permukiman warga. Desa baru itu semakin ramai dengan kehadiran rombongan Pajang yang berjumlah 6 keluarga. Mereka adalah Sumodriyo, Surosentono, Surodiharjo, Kromodrono, Mangundriyo, dan Singomarto.

Selain Wonodikromo, pengikut Pakubuwono II yang memutuskan tinggal di Kabupaten Ponorogo adalah Joko Pitono. Ia melakukan babad alas di kawasan pinggir sungai yang kini dikenal bernama Kelurahan Pinggirsari.

Pengikut Pakubuwono II lainnya adalah Raden Tumenggung Mangkuwijoyo. Ia yang menemani Pakubuwono II saat Raja Jawa itu bertapa di hutan.

Kemudian Elang Lawet atau Pronojoyo, Senopati prajurit Kartasura yang menempati wilayah Mangkujayan bagian barat bersama pasukannya. Seiring berjalannya waktu, kehadiran Pakubuwono II tercium Adipati Ponorogo Raden Surabrata.

Ia meminta Pakubuwono II untuk singgah ke Pendopo Ponorogo, namun ditolak.

Untuk mengusir rasa bosan, selama di Ponorogo Pakubuwono II melakukan kegiatan berburu atau bebedag. Tempat perburuan itu kemudian dikenal dengan nama Dusun Bedagan Desa Pulung.

Kiai Sera, pengikut Pakubuwono II yang ingin hidup sendiri memutuskan menetap di Dusun Bedagan. Ada peristiwa menarik saat menjelang malam.

Pakubuwono II tanpa sengaja menyaksikan kilat cahaya yang jatuh dari langit. Cahaya itu lenyap di kawasan bangunan tua yang konon dipercaya sebagai padepokan.

Pakubuwuno II penasaran. Ia lantas mendatangi Empu Salembu, pemilik padepokan. Empu Salembu mengatakan cahaya yang dilihat Pakubuwono II menyelinap masuk ke dalam kota kayu.

Atas seizin tuan rumah, Jayenggrana diminta Pakubuwono II membuka kotak kayu itu. Saat tutup terbuka, terlihat sebilah pedang pusaka yang ternyata milik Empu Salemba. Empu Salemba memberikan pedang pusaka itu kepada Pakubuwono II. Pusaka berbentuk pedang itu diyakini memiliki kekuatan yang mampu menjaga ketentraman negara.

 

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI