Gebrakan Haji Misbach dan Kontroversi Pemikirannya

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Penggalan salah satu artikel Haji Misbach pada surat kabar Medan-Moeslimin /Foto: panjimasyarakat.com

Melalui artikel dalam surat kabar Soeara Moeslimin terbitan tahun 1926, Haji Misbach menulis: “Komunisme mengajarkan untuk menentang kapitalisme, itu tercakup di dalam Islam. Saya menerangkan hal itu sebagai (seorang) muslim dan komunis.”

Apa yang disampaikan Haji Misbach tersebut bukan sesuatu yang mudah diterima kalangan tertentu dan cenderung memantik kontroversi. Islam dan komunis yang kerap dipertentangkan, oleh Haji Misbach justru dipadukan menjadi pemikiran yang menurutnya bisa seiring-sejalan.

Inilah dia, Mohammad Misbach, muslim kelahiran Surakarta bertitel haji yang dikenal dengan karakter kerasnya. Dengan pemikiran yang barangkali tidak umum itu, gebrakan Haji Misbach turut mewarnai dinamika era pergerakan nasional di Jawa dalam sejarah Indonesia.

Haji Misbach Penggerak Sarekat Islam (SI) Merah

Dilahirkan dengan nama Ahmad, ia berasal dari lingkungan muslim di Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ahmad lahir di Kauman, Solo, tahun 1876. Berawal dari pedagang batik yang sukses, Ahmad kemudian lebih dikenal dengan nama Haji Mohammad Misbach setelah menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Haji Misbach kemudian turut menceburkan diri ke arena pergerakan nasional yang mulai marak di Hindia Belanda (Indonesia) sejak abad ke-20. Ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) yang dimotori oleh Haji Samanhudi di Solo pada 1912.

Ketika K.H. Ahmad Dahlan mendeklarasikan berdirinya Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun yang sama, Haji Misbach sempat menjadi anggotanya. Namun, kelak Misbach justru melawan SI dan Muhammadiyah ketika ia memilih ikut gerbong SI Merah alias Sarekat Rakyat yang merupakan cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).

Selain terlibat dalam arus pergerakan nasional melalui organisasi, Haji Misbach juga bergerak lewat ranah jurnalistik. Budiawan melalui buku Mematahkan Pewarisan Ingatan (2004) menuliskan, pada 1914 Haji Misbach menjadi anggota Inlandsche Journalisten Bond (IJB).

IJB atau perkumpulan jurnalis bumiputera didirikan oleh beberapa tokoh pejuang pergerakan yang cukup familier seperti Tjipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara, Mas Marco Kartodikromo, juga Raden Mas Sosrokartono yang merupakan kakak kandung R.A. Kartini.

Dari ranah itulah upaya “syiar” Islam dengan cara yang tidak biasa digerakkan oleh Haji Misbach. Ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, membangun beberapa sekolah Islam, serta mencetuskan gagasan pengembangan Islam yang boleh dibilang selangkah lebih maju dari kebiasaan pada masa itu.

Sepak-Terjang dan Kontroversi Haji Merah

Haji Misbach berdiri di jajaran terdepan saat Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto mendeklarasikan Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) pada 1918. TKNM adalah gerakan umat Islam yang ditujukan untuk memprotes dugaan penistaan agama yang terjadi kala itu.

Bahkan, Haji Misbach kemudian membentuk dan memimpin gerakan bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV) sebagai pendamping TKNM. Tanggal 24 Februari 1918, seperti yang dicatat oleh Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), TKNM dan SATV menggelar pertemuan besar di lapangan Sriwedari Solo yang melibatkan lebih dari 20 ribu orang.

Haji Misbach memang dikenal sebagai sosok berwatak keras yang tidak bisa menerima segala bentuk penistaan terhadap Islam. “Barangsiapa yang merampas agama Islam, itulah yang wajib kita binasakan!” tulisnya di surat kabar Medan Moeslimin pada 1918.

Ketika Sarekat Islam mengalami perpecahan menjelang tahun 1920, Haji Misbach memilih gerbong yang diawaki oleh orang-orang bernaluri kiri. Sarekat Islam pun terpecah menjadi 2 kubu, yakni SI Putih di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim serta SI Merah yang dimotori oleh Semaoen, Alimin, Darsono, Haji Misbach, dan lainnya.

Pada akhirnya, SI Merah berganti nama Sarekat Rakyat, kemudian menjelma menjadi Partai Komunis Hindia atau Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926. Namun, sebelum SI Merah diresmikan sebagai PKI, Haji Misbach sudah tidak ada di dalamnya lantaran diasingkan ke luar Jawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dengan karakternya yang keras, Haji Misbach sering memunculkan kontroversi. Nor Hiqmah dalam buku berjudul H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya (2000) menyebutkan bahwa menurut pengakuan Haji Misbach, pemikirannya sebagai orang Islam kian terbuka setelah ia mendalami komunisme.

Bagi Haji Misbach, Islam adalah cara hidup, bukan sekadar ritual agama. Maka, sebagai muslim yang sesungguhnya, ia harus berjuang menyelamatkan dunia dari kezaliman dan ulah orang-orang munafik serta kapitalis. Dan prinsip-prinsip komunisme, menurut Haji Misbach, sejalan dengan misi tersebut.

Haji Misbach memilih cara revolusioner untuk bergerak, menentang kapitalisme, dan melawan praktik penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia sangat sepakat dengan prinsip sama rata sama rasa ala komunisme karena semua manusia itu punya derajat yang sama.

Pemahaman seperti inilah yang diterapkan Haji Misbach dalam pergerakannya yang kontra dengan pemerintah kolonial. Terjadilah rentetan aksi teror terhadap para pejabat pemerintah Jawa yang diduga dimotori oleh Haji Misbach. Akibatnya, Haji Misbach ditangkap pada 20 Oktober 1923.

Setelah dipenjarakan di Semarang selama beberapa bulan, pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan bahwa Haji Misbach akan menjalani hukuman pengasingan ke Manokwari, Papua. Hukuman itu pun dilaksanakan tak lama kemudian. Tanggal 24 Mei 1926, Haji Misbach meninggal dunia di tanah pembuangan lantaran terjangkit malaria.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI