Eksistensi Kesusastraan Jawa dan Jejak-Jejak Ajaran Islam

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
Bagian Serat Kandha yang merupakan Kesusastraan Islam di Keraton Yogyakarta /Foto: kratonjogja.id

santrikertonyonoSejarah peradaban manusia memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan karya sastra yang menjadi salah satu bagian saksi penting dalam perjalanannya. Karya sastra tak hanya terbatas pada kisah yang tengah terjadi pada zaman tersebut.

Lebih dari itu, sebuah karya sastra mempunyai nilai tinggi dengan menjadi sarana meluapkan rasa dan ekspresi diri. Tak jarang karya sastra juga dijadikan pelindung seorang raja untuk mempertahankan kekuasaannya atau bisa saja sebaliknya, yakni sebuah karya sastra bisa menjadi jembatan untuk melempar kritik kepada pemerintahan.

Bait demi bait kata dirangkai apik hingga menghasilkan kalimat yang mempunyai jiwa hingga para pembacanya mampu menafisirkan makna didalam naskah. Bak ensiklopedia, gambaran- gambaran perjalanan hidup manusia mulai dari sosial, intelektual, budaya, ekonomi hingga politik dibahas secara lengkap dan cukup rinci.

Khususnya karya sastra Jawa sendiri diketahui mengalami masa-masa kejayaan pada abad ke 18 dan abad ke 19. Dimana, karya-karya tersebut ditulis dan bahkan sesekali dilakukan pengubahan oleh para pujangga kerajaan di wilayah keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Sebenarnya, pesatnya perkembangan kesusastraan Jawa pada masa itu tak lepas dari peran istana atau kerajaan yang kala itu tengah mengalami kemerosotan dalam bidang ekonomi dan politik. Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa kemunduran bidang ekonomi dan politik itu diakibatkan dari kehadiran Belanda yang semakin menggeser beberapa posisi penting di wilayah kerajaan.

Hingga akhirnya, kerajaan-kerajaan yang berdiri di tanah Jawa seperti kehilangan peran di mata masyarakat. Puncak krisisnya dimana kerajaan-kerajaan ini hanya bisa memberikan sumbangsih dan perannya sebagai pusat kesenian atau kesusastraan daripada menjadi pusat politik.

Melihat kondisi yang tak lagi kondusif, para pujangga inilah yang membuka tabir baru bahwa sebagai seorang pujangga kerajaan harus bisa menggugah dirinya sendiri dan berusaha menegakkan kembali nilai dan norma Jawa yang dulu telah diwariskan oleh leluhur dan nenek moyang.

Terlepas dari itu semua, pada masa kejayaannya itulah banyak karya sastra yang bermunculan, tentunya dengan berbagai macam jenis tak terkecuali karya sastra yang kental akan muatan ajaran Islam. Dari beberapa yang naskah yang memuat tentang tradisi Islam, sebagian besar nampak naskah-nasah yang lebih dominan tentang mistik.

Kisah-kisah itu seperti dimuat dalam karya sastra manunggaling kawula gusti atau bahkan ilmu kasunyatan yang hampir cukup mudah untuk ditemukan, namun, juga ada karya sastra yang berisi tentang ajarang piwulang. Selain itu, beberapa karya sastra ini juga ditulis sesuai dengan cerminan dan pandangan hidup sebagai dampak dari beberapa krisis kondisi yang tengah terjadi.

Fenomena Unik dalam Peradaban Sastra Jawa

Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat minat literasi dan intelektualitas suatu bangsa bisa dilihat dari warisan kesusastraan yang telah menjadi satu bagian dari perjalanan sejarah kebudayaan, kebudayaan Jawa khususnya. Dimana, karya sastra ini merupakan produk dari pikiran serta rasa yang secara langsung bisa menggambarkan kedalaman jiwa serta akal manusia.

Dalam jurnal “Islam dan Kesusastraan Jawa Telaah Kepustakaan Jawa pada Masa Mataram” (2008) Sururin dan Moh. Muslim mengungkapkan, terdapat beberapa fenomena menarik dalam kebudayaan Islam di Jawa. secara umum, kebudayaan Jawa ini mempunyai karakteristik tersendiri yang khusus dan khas.

Seperti halnya gelar-gelar Islam yang disandang oleh sebagian besar penguasa, banyaknya simbol-simbol keislaman yang dilekatkan pada pengiring raja, serta atribut-atribut Islam yang mayoritas di tempelkan pada baju kebesaran raja atau para pengiring.

Selain itu, adanya pandangan terhadap sosok “kiai tradisional’ yang dianggap sebanding dengan penggambaran terhadap para penguasa atau raja tersebut. Seperti sifat intuitif, personal dan mistis dan nampak begitu kuat bayangan tradisi saat masa sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.

Kesusastraan Serat-Menak-Amir-Hamza
Kesusastraan: Serat Menak Amir Hamza /Foto: kratonjogja.id

Alhasil, tak mengherankan apabila banyak bermunculan istilah agama Islam Jawa yang kini lebih dikenal dengan istilah Islam Kejawen. Istilah Islam Kejawen ini digunakan untuk menggambarkan atau menyebutkan agama Islam yang telah mengalami perkembangan di Jawa, khususnya di wilayah lingkungan keraton.

Sementara, menurut Ahwan Fanani dalam bukunya “Jejak Islam dalam Kebudayaan Jawa” (2020), karya sastra Jawa sendiri sebagian besar berbentuk puisi maupun prosa. Dimana, ada awal perkembangannya banyak karya sastra yang bergenre prosa, namun lambat laun karya sastra dalam genre puisi semakin banyak digunakan.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan karya sastra berupa puisi ini melahirkan beberapa bentuk sasta Jawa seperti kakawin, kidung, macapat, parikan, wangsalan, singir, guritan, dan juga geguritan, namun tetap perlu digarisbawahi bahwa berbagai bentuk puisi ini berbeda dalam persajakan atau kaidah-kaidah pembaitan dan cara bacanya.

Secara garis besar, karya sastra Jawa dapat dibagi menjadi tiga periode. Menurut beberapa sejarawan, ketiga periode tersebut masing-masing sastra Jawa Kuno, sastra Jawa Tengahan, dan sastra Jawa Baru. Dimana pengkategorian ini bisa terlihat dari perkembangan bahasa, kebudayaan dan aspek perubahan sosial pada waktu itu.

Jika dijabarkan akan nampak bahwa sastra Jawa Kuno sangat dipengaruhi oleh budaya India, tak lepas dari tradisi Hindu yang ikut dibawanya. Lalu, sastra Jawa Tengahan mulai masuk saat menurunnya pengaruh India dan tradisi Hindu, uniknya sastra ini banyak berkembang di wilayah Bali.

Yang terakhir yakni sastra Jawa Baru, sastra ini notabene sudah mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran Islam. Hal itu terlihat pada masuknya bahasa Arab ke dalam kosa kata bahasa Jawa yang sebelumnya lebih banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Meskipun begitu, perjalanan sastra ini merupakan hasl evolusi dari sastra-sastra sebelumnya.

Karya-karya sastra yang hingga kini masih sangat dikenal nyatanya tak hanya dilahirkan oleh para pujangga, ada pula beberapa karya sastra Islam yang juga mengalami perkembangan sekedar untuk memenuhi kebutuhan proses pengajaran agama.

Dalam sebuah karya yang berjudul “Synopsis of Javanese Literature 900-1900” (1967), Theodore Th. Pigeaud mengklasifikasikan mengenai beberapa karya keislaman yang pernah ditemukan saat ia berkunjung ke pulau Jawa. dimana, kurang lebih terdapat enam karya yang dimuat dalam bukunya tersebut.

Dimulai dari penemuan karya-karya mistik di Jawa yang erat hubungannya dengan berbagai topik seperti halnya membahsa tentang wali dan peninggalan kebudayaannya. Lalu, terdapat beberapa koleksi doa dan mantra, risalah Jawa mengenai teologi, ibadah serta ritual. Ada pula buku dikdatik yang membahas tentang etika dan eskatologi.

Lebih dari itu, Theodore juga menemukan beberapa karya sastra Islam dari luar Jawa, masing-masing berasal dari Bali serta Lombok. Dan tak ketinggalan banyaknya teks-teks moral yang berkaitan dengan ajaran Islam meskipun sebenarnya tidak berkaitan langsung masa-masa Islam itu sendiri.

Muatan Islam dalam Bait-Bait Kalimat Jawa

Bukan perkara mudah bagi para pujangga untuk menyusun suatu karya hingga menghasilkan karya yang bermakna dan memiliki pesan mendalam. Sebagian dari mereka sebelumnya akan melakukan semedi, dimana semedi dianggap sebagai salah satu perangkat paling penting bagi sejarawan khususnya sastrawan Jawa.

Semedi disini bahkan dianggap sebagai sumber ilham dan alat untuk mengisi kesenjangan dalam menulis sebuah catatan sejarah. Maka dari itu tidak mengejutkan apabila posisi dan eksistensi pujangga di wilayah kerajaan ataupun keraton sangat diperhitungkan dan begitu dihormati.

Sesuai dengan epistimologi Jawa yang mengungkap bahwa informasi yang diperoleh melalui proses semedi lebih dipercaya hasilnya dibandingkan dengan karya sastra yang disusun dari beberapa tradisi dan tulis. Hal yang sama pun juga dilakukan oleh para pujangga dari masa kerajaan Mataram.

Sementara, dalam kepustakaan Jawa sendiri, ajaran Islam terlihat sangat dominan dan kental akan unsur sufinya, terkhusus pada bidang mistik. Meskipun begitu, wacana-wacan fiqh yang sempat populer pada masanya bukan berarti tak ada. Ajaran-ajaran fiqh ini secara detail bisa dilihat pada bagian serat Centini, serta beberapa karya dari Haji Rafi’I yang merupakan tokoh dibalik serat Cebolek.

Muatan-muatan Islam dalam karya sastra Jawa sebenarnya bisa terlihat dari sastra primbon pada abad ke 16. Primbon ini dianggap sebagai naskah tertua tentang agama Islam yang ada di Jawa, karya sastra ini lebih memuat tentang ajaran-ajaran etika dan keyakinan Islam dengan lebih menekankan pada dimensi spriritualitas.

Lalu, juga ada muatan suluk Bonang atau lebih dikenal dengan istilah nasehat/ajaran Seh Bari yang berisi tentang ajaran usul suluk atau kaidah dalam menapaki tangga spiritualisme. Umumnya, Suluk Bonang ini berisi beberapa uraian tentang dimensi keyakinan dalam tasawuf. Serta polemik dengan pandangan atau keyakinan yang dinilai tidak sejalan.

Beberapa karya sastra Jawa lain yang memiliki nafas Islam adalah ajaran Suluk Wijil yang mengisahkan tentang hakikat atau ilmu kebenaran kepada Sunan Bonang. Lalu ada muatan Serat Cabolek, salah satu dari wajah perkembangan Islam di abad 16 serta muatan Serat Wirid Hidayat yang kala itu digubah oleh salah satu pujangga Surakarta yakni Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI