Direstui Paku Alam VI, Jamu Ginggang Bisa Dinikmati Rakyat Jelata
- Desember 27, 2022
- 10:16 pm

SANTRI KERTONYONO – Jamu tradisional adalah minuman masa lampau. Sudah sejak dulu jamu dikenal sebagai minuman yang mengandung khasiat sebagai penyembuh. Mulai otot kaku, pegal-pegal, panas dingin, hingga salah urat atau kesleo, jamu bisa menjadi solusi.
“Kalau otot badanmu kaku-kaku, minum jamulah dulu, lalu buat tidur, nanti akan bugar kembali”. Di sebagian masyarakat Jawa pedesaan, saran itu kerap terdengar. Jaman memang boleh berubah, tapi jamu tetap ada. Sebagai minuman alternatif kesehatan, jamu tetap memiliki pelanggan.
Masih banyak orang yang gandrung dengan efek yang ditimbulkan bahan-bahan alam yang menjadi dasar jamu. Salah satu di antaranya adalah Jamu Ginggang Yogyakarta. Berdiri sejak tahun 1950, warung Jamu Ginggang menjadi pelopor industri (jamu), terutama di wilayah Yogyakarta.
Keberadaan warung jamu di Jalan Masjid 32 Pakualaman Yogyakarta ini tak lepas dari sosok Kanjeng Ratu Sri Pakualam VI. Peraciknya adalah Mbah Joyo, abdi dalem Pakualaman yang juga orang kepercayaan Sri Pakualaman VI.
Hebatnya Mbah Joyo juga menuliskan resep jamunya. Mulai bahan, proses pembuatan hingga penyajian, diabadikannya secara detail. Adanya kitab yang membuat cita rasa jamu warisan Mbah Joyo tak pernah berubah. Racikan Jamu Ginggang nyaris bisa dipastikan tetap original hingga kini.

“Warung Jamu Ginggang sendiri mulai dirintis pada tahun 1930 oleh Bilowo yang tak lain adalah Abdi Dalem Puro Pakualaman.,” tulis Rudy Supriyadi penerus Jamu Ginggang generasi ke-5 seperti dikutip dari laman resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta.
Bilowo seorang peracik jamu khusus untuk Kanjeng Sinuwun Paku Alam VII. Atas ijin Paku Alam VII, Bilowo menjual jamu racikannya. Sesuai silsilahnya, perintis jamu ini adalah Mbah Joyo, lalu Mbah Bilowo, dilanjutkan Mbah Puspomadya, dan Ibu Dasiyah. Saat ini merupakan generasi ke-5 di mana Rudy Supriyadi, sebagai penerusnya.
Asal-usul nama Ginggang tak lepas dari Sri Paku Alaman VI. Paku Alaman VI yang memberi nama Ginggang. Awalnya bernama ‘Jamu Asli Tan Ginggang’. Tan Ginggang berasal dari Bahasa Jawa yang berarti selalu akrab, rukun, dan senantiasa bersatu.
Ginggang ini juga diterjemahkan “tansah renggang” yang mencerminkan tidak adanya jarak antara Keraton dengan rakyat atau masyarakat umum. Hal itu dengan diperbolehkannya masyarakat di luar Keraton mengonsumi resep ramuan tradisional Pakualaman.

Racikan Sederhana
Para penikmat jamu Ginggang ini bisa langsung mendatangi lokasi warung. Meski jamu yang diinginkan tidak ada di daftar menu, pengunjung bisa menyebutkan keluhannya kepada penjual. Sebab racikan standar untuk sejumlah keluhan penyakit seperti perut kembung, masuk angin, flu, dan sakit perut, selalu tersedia.
Sejauh ini konsumen Jamu Ginggang terbagi 3 golongan. Pertama, remaja SMP yang biasanya memasuki masa menstruasi pertama. Kedua orang-orang berusia dewasa dan yang ketiga para orang tua. Golongan orang tua ini paling intens bertandang ke Warung Jamu Ginggang.
Jamu paling banyak peminat adalah kunir, beras kencur, temulawak serta empon-empon. Warung jamu ini memulai produksi pukul mulai 05.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB. Rata-rata mampu menjual 200 hingga 300 gelas per hari.
Untuk urusan harga sangat terjangkau. Harga jamu paling murah adalah jamu penawar atau perem cuwer. Segelas hanya Rp 4.000. Jamu biasa dibandrol Rp 6.000, dan jamu komplit yang dicampur madu, telor, dan anggur dibandrol Rp 13.000.
Pada masa kolonial Belanda, konon tidak hanya orang-orang pribumi yang menikmati jamu Ginggang. Yakin dengan efek sehat yang ditimbulkan, tak sedikit orang-orang Belanda yang mengunjungi warung jamu yang bertempat di pinggir jalan itu.
Baca juga
- Ungkapan Anies Baswedan untuk Kondang Sutrisno: Selamat Jalan Pejuang
- Peran Alim Ulama dalam Merekatkan Kembali Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
- Makna Lakon Wayang Kulit Bima Suci Buat Anies Baswedan
- Lahir Rabu Kliwon, Anies Baswedan Masuk Circle Weton Presiden
- Kisah Unik Wan Sehan di Rumah Anies Baswedan