Dipercaya Sebagai Salah Satu Pendakwah Islam, Siapakah Syekh Jambu Karang?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin
syekh-jambu-karang
Makam syekh jambu karang digunung mandala giri yang terletak di sebelah utara ardi lawet /Foto: youtube-wahyu channel

santrikertonyonoDeretan nama para wali Allah yang mengemban tugas untuk mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa memang sudah banyak dikenal oleh masyarakat umum. Masing-masing dari mereka mempunyai cara sendiri dalam melakukan pendekatan kepada umat pribumi agar mau memeluk agama Islam tanpa ada paksaan.

Para wali Allah ini dipercaya sebagai salah satu pihak yang mempunyai andil besar dalam penyebaran Islam. Namun, terlepas dari hal itu tentunya juga banyak para tokoh agama yang juga diyakini memiliki andil sebagai penyebar Islam di wilayah pelosok-pelosok Indonesia. Meskipun, nama mereka tak sebesar nama wali-wali Allah yang lain.

Diantara banyaknya para tokoh penyiar Islam, terdapat salah satu nama yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya masyarakat Purbalingga. Beliau adalah Syekh Jambu Karang, sosok penyebar agama Islam di tanah Purbalingga dan sekitarnya.

Sebelum dikenal sebagai sosok yang sangat berjasa, Syekh Jambu Karang pernah mengalami perjalanan hidup yang sangat panjang. Pertemuan-pertemuannya dengan para masyarakat banyak membuat perubahan dalam hidupnya hingga memutuskan untuk memeluk agama Islam yang sebelumnya ia beragama Hindu.

Bagi masyarakat Purbalingga, sosok Syekh Jambu Karang merupakan tokoh yang luar biasa. Cerita yang beredar dari mulut ke mulut menjadikan makam atau petilasannya tidak pernah sepi kedatangan para peziarah, meskipun untuk sampai ke lokasi butuh waktu yang tidak sebentar.

Memutuskan Turun Takhta untuk Bersemedi

Pangeran Wali Syekh Jambu Karang yang tak lain adalah putra dari Prabu Brawijaya seorang Raja Padjajaran yang semasa mudanya mempunyai nama panggilan Adipati Mendang atau Raden Mundingwangi. Sementara, Syekh Jambu Karang sendiri konon juga memiliki seorang adik bernama Mundingsari.

Banyak sumber sejarah yang mengungkapkan bahwa setelah kematian dari Raja Brawijaya Mahesa Tandreman, posisi tersebut langsung digantikan oleh sang putra mahkota tak lain tak bukan yakni Raden Mundingwangi atau Syekh Jambu Karang. Namun, sangat disayangkan bahwa masa pemerintahan di bawah kuasa Raden Mundingwangi tak berlangsung lama.

Kurang lebih hanya dalam kurun waktu 8 bulan ia merasakan lembutnya kursi pemerintahan sebagai seorang raja, lalu ia memilih untuk mengundurkan diri karena mengaku telah mendapatkan ilham dari “Pangeran” untuk bertapa di salah satu gunung didaerah setempat. Masyarakat percaya, bahwa gunung yang dimaksud adalah Gunung Karang.

Tak menunggu lama, berangkatlah sang Raja Mundingwangi ke Gunung Karang untuk bertapa. Salah satu titik lokasi tepat dibawah pohon jambu adalah tempat yang dipilih sang raja untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Itu juga menjadi salah satu alasan Mungingwangi mendapat julukan Pangeran Jambu Karang.

Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tak terasa Syekh Jambu Karang telah melakukan pertapaannya kurang lebih hampir menginjak tahun kedelapan. Sesaat ia tengah bersemedi, ia bak melihat tiga buah cahaya putih yang memancar ke arah langit. Cahaya itu nampaknya berasal dari arah Timur, lantas Syekh Jambu Karang memburu cahaya tersebut.

Dari tempat pertapaannya itu, ia mulai menjelajahi daerah demi daerah hingga melewati hutan untuk menemukan cahaya-cahaya tersebut ke arah Muara Karawang hingga menaiki perahu sampai ke daerah Comal. Sesampainya disana, ia kembali melihat posisi dari cahaya-cahaya itu yang mengarah ke sebelah Barat Daya.

Perjalanan panjangpun kembali dimulai, perjalanan yang kini berubah haluan ke arah Barat Daya pun menuntun kaki Syekh Jambu Karang ke sebuah tempat yang cukup terjal dan mendaki, tempat tersebut bernama daerah Tumbangan.

Langkah kakiknya masih berlanjut lagi dengan menelusuri sebuah lereng dibalik bukit atau orang Jawa biasa menyebutnya dengan nelusup. Lantas, daerah itu yang kini mempunyai nama Panusupan, sebuah desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Karangmocol.

syekh-jambu-karang
Masjid aula (sudah renovasi), tempat pertama kali syech jambu karang menerima ilmu kewaliyan dari syech atas angin /Foto: youtube-wahyu channel

Setelah melalui perjalanan panjang, sampailah Syekh Jambu Karang ke sebuah tempat dimana cahaya-cahaya itu berasal, ia langsung melanjutkan pertapaannya tepat di sumber cahaya. Saat tengah bersemedi, ia didatangi seorang mubalig bernama Syekh Atas Angin yang berasal dari atas garis khatulistiwa tepatnya dari Timur Tengah.

Konon, Syekh Atas Angin sendiri bisa sampai ke tempat tersebut juga dikarenakan memburu cahaya yang ia lihat saat selesai melaksanakan sholat Shubuh. Mengetahui ada Syekh Jambu Karang yang tengah bersemedi, lantas Syekh Atas Angin memberi salam. Di saat itulah terjadi pertemuan dua ahli agama tersebut.

Pertemuan mereka pun bukan pertemuan biasa, pada saat merka saling bertukar kawruh atau pengetahuan satu sama lain. Selama pembicaraan tersebut, Syekh Jambu Karang pun sangat mengakui keunggulan ilmu Syekh Atas Angin. Itu juga yang menjadi salah satu alasan akhirnya Syekh Jambu Karang kemudian mau masuk ke agama Islam.

Namun, saat diminta mengucap kalimat syahadat, ia menolak. Pasalnya, Syekh Jambu Karang sendiri baru mau mengucapkan kalimat sakral itu di Gunung Lawet. Tak saling berbasa-basi, Syekh Atas Angin pun langsung memenuhi permintaannya, mereka berdua pun lantas bersama-sama melakukan perjalanan ke arah Gunung Lawet.

Sesampainya di gunung, ia langsung melafadzkan kalimat syahadat dengan didampingi Syekh Atas Angin. Pelan tapi pasti, akhirnya Syekh Jambu Karang memeluk agama Islam dan memberi sebuah wasiat yang berisikan “Di tempat ini aku melafalkan syahadat untuk masuk Islam, dan kelak saat matiku aku minta dikubur pula dengan hormat.”

Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi disini adalah saat Syekh Jambu Karang akhirnya memutuskan mualaf merupakan bukan masa masuknya Islam pertama kali di tanah Jawa. pasalnya, saat itu para wali Allah sedang gencar-gencarnya atau sudah berlangsungnya proses penyebaran Islam.

Tali persaudaraan antara Syekh Jambu Karang dan Syekh Atas Angin tak putus begitu saja, setelah saling bertukar ilmu selama masa pertapaannya, akhirnya Pangeran Jambu Karang menikahkan Syekh Atas Angin dengan salah satu putrinya yang bernama Rubiyah Bekti, tentunya untuk kembali mempererat hubungannya dengan Syekh Atas Angin.

Dari pernikahan itulah lahir lima orang anak yang masing-masing diberi nama Mahdum Khusen, Mahdum Medem, Mahdum Umar, Rubiyah Raja serta Rubiyah Sari. Namun, setelah itu Syekh Atas Angin memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Ampel Denta, menemui anak pertamanya dari hasil pernikahan dengan Ratu dari Campa.

Waktu terus bergulir, Syekh Jambu Karang pun menua. Tak selang lama, tepat di tahun 1130 Masehi akhirnya ia meninggal dunia lalu tampuk syiar agama dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Mahdum Khusen hingga tahun 1243 Masehi.

Terlepas dari perjalanan hidup Syekh Jambu Karang, terdapat satu sejarah kuno Jawa yang memiliki istilah “wiwitane ing jumeneng” dan “akhire jumeneng”. Dimana, jika saling dikaitkan maka akan menghasilkan sebuah keyakinan bahwa Brawijaya Mahesa Tandreman lahir pada tahun 990 Masehi disebut sebagai “wiwitane ing jumeneng”. Sedangkan, saat moment meninggalnya Syekh Jambu Karang pada tahun 1130 Masehi dikenal sebagai “akhire jumeneng”.

Petilasan Sang Pangeran

Petilasan Syekh Jambu Karang memang sedikit unik, jalan setapak dan berundak dengan struktur tanah di sekliling yang curam. Karena letaknya yang berada di dataran tinggi, suasana dan hawanya yang sejuk nan dingin. Didukung dengan pemandangan sekitar yang rimbun akan pepohonan hijau dan rindang.

syekh-jambu-karang
Peristirahan ke 2, makam murid syekh jambu karang, konon masyarakat yang mempercayainya akan mendapatkan keturunan ketika mendapati dan memakan buah babal (nangka kecil) /Foto: youtube-wahyu channel

Lebih tepatnya, petilasan ini terletak di Desa Panusupan Kecamatan Rembang kurang lebih berjarak 30 kilometer sebelah timur laut dari kota Purbalingga. Bukan hal yang mudah untuk mencapai petilasan ini, pasalnya, untuk mencapai puncak petilasan dan Panusupan harus melalui jalan setapak yang mendaki hingga 3 kilometer.

Banyak masyarakat menilai bahwa petilasan tersebut merupakan sebuah tempat yang digunakan Syekh Djambu Karang untuk berkhalwat atau tadabbur mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang berkhalwat di sebuah gua bernama gua Hira.

Kata khalwat sendiri bukanlah kata tanpa makna, dimana kata khalwat merupakan sumber dari nama sebuah gunung yang mempunyai nama Gunung Lawet. Bak saling berkesinambungan, Gunung Lawet mempunyai makna gunung yang biasa digunakan untuk bersemedi, membersihkan hati serta sebagai salah satu jalan mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa.

Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa Syekh Djambu Karang memiliki peran besar selama membangun peradaban di tanah Rembang. Mulai dari melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk syiar Islam hingga sisa jejak-jejak petilasan beliau yang hingga kini masih dirawat dan begitu dihormati oleh masyarakat setempat.

Perjuangan dakwah Islam serta ketentraman warga Rembang pun tak berhenti diperjuangkan oleh Syekh Djambu Karang saja. Pasalnya, salah satu wilayah tanah di Rembang yang mendapat julukan Cahyana ternyata merupakan desa perdikan yang kala itu mendapatkan pembebasan dari kewajiban pajak yang beslitnya pertama kali di cantumkan secara tertulis oleh Kesultanan Demak Bintoro.

Dimana, beslit atau yang lebih dikenal dengan surat keputusan ini mempunyai angka tahun 1403 tahun Saka atau 1418 Masehi. Terlebih beslit yang disebut-sebut sebagai Serat Kekancingan itu ditujukan kepada Syekh Wali Perkosa, keturuan ke-4 dari Syeh Djambu Karang karena jasanya yang telah membantu mendirikan Masjid Agung Demak.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on linkedin

SERING DIBACA

IKUTI KAMI